Mohon tunggu...
Melsaanurf
Melsaanurf Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

suka menulis apapun itu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Terjemahan Legenda Sasakala Arca Domas dalam Bahasa Indonesia

7 Januari 2024   22:13 Diperbarui: 7 Januari 2024   22:22 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Perlu kita ketahui bahwasanya Indonesia memiliki berbagai dongeng di dalamnya baik berupa legenda, mite, dan cerita-cerita rakyat lainnya. Cerita-Cerita tersebut disampaikan secara turun-temurun dari mulut ke mulut. Namun, di zaman sekarang ini sudah jarang sekali tersampaikannya legenda-legenda tersebut secara lisan, sehingga diperlukannya penyampaian secara tertulis. Penulisan cerita rakyat sangat amat penting bagi generasi muda agar eksistensi amanat tersurat maupun tersirat dalam cerita rakyat Indonesia tersebut tidak hilang.

Di sini saya akan mencantumkan hasil terjemahan legenda Sasakala Arca Domas yang saya ambil dari situs http://dongeng-uing.blogspot.com/2008/07/sasakala-arca-domas.html yang masih tertulis dalam bahasa Sunda. Berikut hasil terjemahannya:

Di Gunung Cibodas, Kabupaten Bogor, ada banyak patung batu yang disebut Arcadomas. Konon patung batu tersebut berjumlah delapan ratus, diambil dari kata domas yang berarti delapan ratus. Dan katanya pula, yang menjadi patung-patung tersebut adalah orang Pajajaran yang tidak mau menerima ajaran Islam. Asal mula kisahnya seperti ini:

Legenda Sasakala Arca Domas
Alkisah, ada sebuah kerajaan besar yang dikenal sebagai Kerajaan Pajajaran. Kerajaan ini berada di wilayah Bogor. Wilayah kekuasaanya dikelilingi oleh dinding yang sangat kuat. Halamannya tersebar luas di mana-mana, dan setiap halaman dijaga ketat oleh tentara yang kuat senjatanya. Siapa yang ingin memasuki pusat Kerajaan tersebut harus melewati halaman-halaman itu terlebih dahulu.

Yang menjadi raja di Pajajaran saat itu dijuluki dengan panggilan Sang Prabu Siliwangi. Raja Prabu Siliwangi adalah seorang Hindu yang mana merupakan agama yang dipakai orang-orang saat itu. Agama Hindu saat itu bukan hanya tersebar di sekitar pulau Jawa, tetapi juga hampir di seluruh nusantara. Agama itu berasal dari India. Agama tersebut tersebar di wilayah Pajajaran sudah dari zaman dahulu yang dibawa oleh orang India yang datang.

Namun di beberapa tempat, sudah banyak juga yang menganut agama Islam. Sudah banyak ditemukannya kerajaan-kerajan Islam, seperti kerajaan Demak, Cirebon, dan Banten. Begitu juga dengan Pelabuhan Sunda Kelapa, yang telah hilang dari Banten. Ada banyak orang yang mengikuti Islam. Islam sudah menyebar luas karena Wali Sanga. Kerajaan Islam yang bertetangga dengan Pajajaran adalah Kerajaan Banten yang diperintah oleh Sultan Hasanudin. Pusat kota kerajaan tersebut berada di Surosowan, yang letaknya dekat dengan Pantai Banten. Dalam waktu singkat Kerajaan Banten telah berubah menjadi kerajaan besar. Islam dijadikan agama resmi kerajaan.

Sultan Banten memiliki niat, mengislamkan Kerajaan Pajajaran. Hal pertama yang harus dilakukan yaitu mengajak Raja Prabu Siliwangi masuk Islam. Dan jika raja telah memeluk Islam, tentu masyarakat akan mengikuti. Kemudian Sultan Banten mengirimkan seorang utusan. Utusan itu membawa surat untuk Prabu Siliwangi.

Singkat cerita utusan tersebut telah tiba di Pajajaran. Surat tersebut diterima oleh Prabu Siliwangi, kemudian dibaca bersama. Surat itu berisi nasihat agar raja dan rakyatnya bisa menerima agama Islam. Jika tidak, maka pihak Kerajaan Banten akan datang langsung ke Kerajaan Pajajaran. Melihat itu, Raja Prabu Siliwangi tidak keberatan sama sekali. Dia mengerti kalau Kerajaan Banten memiliki senjata yang kuat dan lengkap. Raja yakin bahwa mereka tidak bermusuhan. Tapi di sisi lain, Prabu Siliwangi tak akan goyah dengan agamanya, dan tujuannya adalah untuk mempertahankan iman, bahwa Hindu bukan agama yang salah, nasihat itu dengan suara bulat ditolak olehnya.

Orang yang membawa surat dari Banten itu masih termasuk orang Pajajaran, tapi sudah lama berkelana di Banten, bahkan sudah pernah ke Mekkah dan sudah mengkaji ajaran  Islam yang mendalam. Dia juga termasuk ulama besar, namanya Kan Santang. Termasuk salah satu tokoh Sultan Banten. Sekembalinya Kean Santang, Prabu Siliwangi mengumpulkan para mentri, senapati, dan jabatan lainnya dengan tujuan ingin membicarakan urusan negara terkait penolakan atas nasehat Sultan Banten. Tidak mungkin, kata dia, Banten pasti akan datang ke sini. Meski waktunya tidak pasti, kita harus mempersiapkan sesuatu mulai dari sekarang. Raja memanggil panglima tertinggi yang bernama Norogol untuk mempertahanan benteng. Beberapa panglima perang telah diperintah untuk melindungi jalur gunung, agar musuh tidak bisa masuk ke Kerajaan Pajajaran. Perintah Raja dilaksanakan dan semua bersiap untuk menyerang musuh.


Diceritakan ada seorang bernama Wirakarta yaitu seorang panglima perang muda, dia  merasa tidak enak karena tidak diperintah apapun oleh senapati. Dia berpikir bahwa alasannya yaitu karena dia adalah kakak Kean Santang yang mendapat julukan "Macan Nusa Jawa" karena kehebatannya, keberaniannya, dan keperkasaannya.

Wirakarta sangat penasaran dan merasa memiliki kewajiban untuk mempertahankan kerajaan, dia cepat-cepat datang kepada Raja, meminta untuk diberikan tugas . Walau bagaimanapun juga dia adalah orang Pajajaran. Walaupun terkait persaudaraan dengan Kan Santang, hati kecil wirakarta membela kerajannya.

Raja berunding dengan Senapati Norogol, dan tiba-tiba diperintahkannya Wirakarta untuk melindungi halaman Barat. Tapi saat waktunya awal-awal berjaga, Norogol berpesan untuk menunggu perintah lagi. Wirakarta membungkuk di depan Raja dengan wajah kebingungan. Lalu selesai itu, Wirakarta pulang.

Sampai di rumahnya, Wirakarta tidak senang memanah sampai tidak suka makan dan minum. Hatinya dipenuhi dengan kegembiraan. Di tengah malam dia bertafakur, doa yang luar biasa kepada para dewa agar Raja tidak ragu. Setelah melewatkan tujuh malam, perintah yang diharapkan tidak juga datang, Wirakarta kehilangan kesabaran. Kemudian menulis surat di atas daun lontar, ditulis dengan pisau kemudian dibungkusnya surat tersebut. Lalu Wirakarta memerintah orang kepercayaannya untuk menyampaikan surat itu. Surat tersebut ditujukan untuk Kan Santang di Banten. Setelah menerima surat tersebut, orang suruhan itu pergi cepat-cepat keluar dari Kerajaan Pajajaran. Orang pesuruh itu sudah tahu, bahwa di mana-mana di seluruh penjuru Pajajaran telah dijaga ketat oleh prajuri, prajurit Pajajaran yang memiliki senjata yang sama. Jika surat itu tertangkap, tentu saja dia akan ditangkap, majikannya yaitu Wirakarta juga pasti akan kesal. Mereka akan dianggap pengkhianat kerajaaan, akan dihukum, dan hukuman yang pasti adalah hukuman mati.

Tapi akhirnya, pesuruh itu bisa selamat sampai Banten, dan surat itupun telah dibaca oleh Kan Santang. Kean Santang sangat senang karena tahu surat tersebut dari Wirakarta. Apalagi setelah tahu isinya. Semuanya membuat hati Kean Santang senang. Surat itu berisikan bahwa para petinggi kerajaan Pajajaran, termasuk Prabu Siliwangi, curiga terhadap Wirakarta, sampai-sampai khawatir tentang konsekuensinya. "Maka dari itu", kata Wirakarta menutup surat itu. "Saya harap kamu bisa memberikan kepada saya beberapa saran". Diceritakan lagi kalau Wirakarta bertugas melindungi halaman-halaman Barat.

Kean Santang berkata dalam lubuk hatinya, "Rencana yang bagus ni, saya akan datang ke Pajajaran dengan melewati halaman barat terlebih dahulu. Sekarang halaman itu dijaga oleh saudaraku, maka akan cepat bagi saya untuk masuk." Di saat itu juga, Kean santang membalas surat itu. Wirakarta dibujuk untuk pergi ke Banten, dan akan mendapatkan hadiah dari Sultan: Sultan Banten.

Pada malam Ahad-Legi, Kean Santang dan lima ratus prajurit, tentu sudah berada di Pajajaran halaman Barat saat ayam baru berkokok sekali. Dan jika seseorang sudah mengetuk pintu, maka harus dibuka sesegera mungkin agar rakyat Banten bisa masuk ke keraton. Demikian isi surat balasan dari Kan Santang.

Singkat cerita, yang membawa surat telah kembali ke Pajajaran, dan surat tersebut telah dibuka oleh Wirakarta. Dia bingung, jantungnya berdegup kencang. Hatinya memikirkan sang Raja yang menjadi pemimpin, juga tanah air yang harus dipertahankan. Tapi di sisi lain dia memikirkan dirinya yang tidak aman, dan ingat kepada Kan Santang, saudaranya. Wirakarta tidak cepat mengambil keputusan.

Diceritakan bahwa di tengah malam yang tertulis di surat itu, Wirakarta sudah berada di balik pintu halaman. Ketika ayam berkokok sekali, seseorang mengetuk pintu. Lalu pintu dibuka perlahan, dan Kan Santang masuk perlahan diikuti oleh orang banyak. Saat itu cuaca sedang sangat dingin. Sebagian besar prajurit Pajajaran terlelap tidur dan hanya sedikit yang berjaga, mondar-mandir. Hal ini membuat prajurit Banten berhasil memasuki Kerajaan Pajajaran. Tidak sulit melewati penjaga itu.

Ketika musuh telah berhasil masuk dengan sempurna, para prajurit Pajajaran yang bangun membangunkan prajurit yang tertidur. Buru-Buru diangkatnya senjata tapi percuma, pasukan Banten sudah lebih dulu menghantam dan menyerbu prajurit tersebut. Perang terjadi, dan prajurit Pajajaran yang berhasil lari langsung menuju ke Senapati Norogol. Setelah mendapat pesan tersebut, Norogol segera pergi ke istana. Prabu Siliwangi dibangunkan dan disuruh melarikan diri ke timur karena mereka akan berperang di barat. Pasukan Pajajaran ditempatkan di tempat pertempuran paling depan, melawan pasukan Banten yang dapat menerobos kota. Meskipun sudah terbiasa dengan medan perang, pasukan Pajajaran merasa perlu mendengarkan instruksi Norogol.

Segera Raja melarikan diri bersama istri dan putranya keluar dari Kota Pakuan dan memasuki hutan. Para budak yang mengabdi kepada Siliwangi turut ikut. Seluruh istana tidak memandang kepada malam, meraka menuju cepat ke arah timur. Beberapa prajurit memilih untuk menemani istri-putra raja. Mereka melewati hutan lebat, yang kemudian pergi ke Gunung Cibodas.

Menjelang siang, rombongan orang Banten tiba, jumlahnya banyak dengan senjatanya yang lengkap. Mereka memerangi orang-orang di luar istana. Barangsiapa tidak mau menerima Islam, jangan berharap untuk hidup. Lalu perang senjatapun terjadi. Tidak sedikit masyarakat Pajajaran yang memeluk Islam pada waktu itu. Namun tidak sedikit juga orang yang lolos. Banyak dari mereka pergi ke hutan. Ada yang ikut serta dengan Prabu Siliwangi, ada juga yang berjalan sendirian. Kota Pajajaran mendadak sepi. Istana kosong. Hanya Senapati Norogol yang kuat, dia ingin mengetahui taktik musuh.

Kean Santang datang ke keraton, ia ingin menunjukkan keberaniannya. Begitu sampai, dia melihat Norogol yang tidak gentar dan tak mundur sejengkalpun, tanda seorang prajurit yang memilih untuk berperang. Bukan lawan sembarangan. Setelah itu, Kean Santang menyapa Norogol sambil berkata: "Saya punya tongkat dari Mekkah, akan saya tancapkan di tanah. Silakan cabut. Jika dapat tercabut, maka agama yang kamu anut adalah agama yang benar dan suci, tapi jika tidak, kamu harus mengikuti agama Islam."

Setelah batang ditancapkan, Norogol segera mencabut batang tersebut, karena pilihannya. Alih-Alih tercabut, batang tersebut tidak bergerak juga. Ditarik beberapa kali pun, tongkat itu malah semakin dalam dan dalam. Akhirnya Norogolpun menyerah, dan meyakini islam di depan Kan Santang. Hal ini merupakan kabar baik untuk Kean Santang karena berharap  Prabu Siliwangi akan segera masuk islam. Lalu merakapun berjalan cepat melintasi hutan lebat. Setelah melewati lebatnya hutan, apa yang dicari belum juga ditemukan. Setelah beberapa hari, Raja tak sengaja berpaspasan dengan Norogol, raja hendak mendaki Gunung Cibodas. Setelah itu, Norogol menceritakan tentang perang dari awal sampai akhir, begitu pula halnya dengan Kan Santang. Norogol juga menganjurkan Raja untuk segera menerima Islam. Raja berpikir sejenak, lalu memberitahukan istri dan putranya serta rakyat-rakyatnya:

"Kita tahu bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Atas kehendak Murba Wissa, sekarang agama Islam sudah menyebar di mana-mana. Jika saudara terus berperang sesama saudara maka akan menyebabkan kerusakan pada semua orang."

"Sekarang semuanya terserah kepada kalian semua, kalian bisa memilih agama apapun. Hari ini aku berdoa kepada Mahadewa, minta masuk ke Suralaya."

Saat itu juga Prabu Siliwangi hilang tanpa jejak. Tidak ada yang tahu keberadaannya. Para rakyat menderita, merasa kehilangan. Sebagian orang pergi dari sana mengikuti nalurinya. Dan sebagian lagi tinggal di sana, berharap panutannya yaitu Prabu siliwangi datang kembali. Tapi seperti kehendak Yang Mahakuasa, yang meninggalkan mereka di Gunung Cibodas, semua menjadi patung batu yang sampai sekarang disebut Arcadomas. Seperti yang telah disebutkan, karena jumlah arcanya delapan ratus, maka disebut Arcadomas.

Sebagian orang yang meneruskan perjalan lama-lama tiba di Cibo, bersatu dengan Kanekes yang berasal dari Banten-Kaler, yang ketika itu raja yang dikenal sebagai Pucuk Umun adalah orang Islam. Orang kankes kadang disebut orang Baduy. Padahal mereka lebih suka disebut orang Kanekes saja.

Setelah penduduk Pajajaran memeluk Islam, Kean Santang terus mengajak orang masuk Islam, berjalan melewati pegunungan, terus ke pantai selatan. Mengajarkan Islam di beberapa tempat, jika dianggap selesai, tempat itu akan ditinggalkan, mencari tempat baru, untuk mengislamkan orang yang belum memeluk Islam.

Di dekat Teluk Cilaut-Eureun, di Pesisir Selatan Pameungpeuk, ada batu bekas duduknya Kan Santang, ketika dia menjadi raja di Sancang. Kean Santang dimakamkan di Kampung Godog, tidak jauh dari kota Garut. Selalu banyak peziarah yang datang, terutama pada bulan Maulid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun