Akhir-Akhir ini dunia telah digemparkan oleh kecerdasan buatan yang merujuk pada kemampuan canggih komputer yang dirancang khusus untuk berinteraksi dengan manusia, salah satunya yaitu ChatGPT. Sama seperti halnya mesin pencarian Google, ChatGPT kini hadir sebagai kecerdasan buatan yang dirancang khusus untuk berinteraksi dalam bentuk percakapan. Teknologi canggih keluaran OpenAI ini memungkinkan penggunanya dapat mendefinisikan ulang, membuat, dan berinteraksi dengan informasi digital.Â
Sebelum adanya ChatGPT, kita bergantung pada mesin pencarian Google sebagai alat bantu dalam menyelesaikan tugas kepenulisan. Proses ini seringkali memakan waktu dan memerlukan aktivitas scrolling untuk menemukan blog yang tepat dan akurat. Namun, dengan kehadiran ChatGPT, kita tidak perlu lagi bersusah payah melakukan scroll untuk memilih jawaban yang diinginkan.Â
Dengan beragam pendekatan canggih di dalamnya, ChatGPT memudahkan kita untuk mengajukan pertanyaan dengan berbagai jenis bahasa. Jika jawaban dari ChatGPT belum memuaskan, kita hanya perlu mengklik beberapa prompts atau frasa alternatif untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal.
Kemajuan teknologi ini tentu menuai kontroversi hangat yaitu apakah hal ini baik atau buruk? terlebih lagi dalam dunia kepenulisan.
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai baik atau buruknya penggunaan Chat GPT dalam dunia kepenulisan, saya akan membahas terlebih dahulu "apa, sih, ChatGPT itu?"
ChatGPT adalah teknologi kecerdasan buatan yang mampu melakukan percakapan secara otomatis dengan manusia menggunakan bahasa alami. ChatGPT dapat membantu memudahkan pekerjaan manusia yang berhubungan dengan teks atau tulisan seperti menulis surat, membuat jadwal, menambahkan kontak, memberikan saran dalam penulisan esai, memberikan rekomendasi dalam pencarian informasi, dan lain-lain.
Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ChatGPT memiliki dampak positif yang signifikan dalam memperkaya dunia kepenulisan dengan kemampuannya dalam memandu proses penyusunan kata dan memberikan saran dalam penulisan esai. Namun, tantangan muncul terkait kemungkinan dominasi ChatGPT di dunia kepenulisan, yang dapat menimbulkan pertanyaan serius tentang potensi pengurangan keunikan karya sastra dan apakah hal tersebut bisa mengancurkan keorisinilitasan sebuah karya sastra?
Pertanyaan tersebut selalu ada di benak saya. Sampai di mana saya bisa menyimpulkan jawabannya sendiri ketika saya mengikuti lokakarya kepenulisan yang diadakan oleh sebuah komunitas kepenulisan. Di sana pemateri berkata "Saat ini, tidak ada kata malas dalam menulis, karena kita sudah mempunyai teman," Saya pun sangat penasaran siapakah "Teman" tersebut?, lalu pemateri melanjutkan perkataanya "Chat GPT."
Sontak kami semua tertawa ringan. Di saat yang bersamaan saya berpikir ternyata kecanggihan teknologi bukanlah hal yang harus dihindari. Justru dengan adanya teknologi bisa membuat kita tidak mempunyai alasan untuk tidak menulis. Kita bisa menulis di mana pun dan kapan pun dengan semua teknologi yang tersedia. Semua tergantung kesadaran dan kreativitas dalam diri kita.
Maka kembali lagi pada pertanyaan sebelumnya "Apakah ChatGPT berdampak baik atau justru buruk dalam dunia kepenulisan?"
Jawabannya adalah tergantung bagaimana kita dapat menguasai teknologi, bukan dikuasai teknologi