Sumber: IMF, International Financial Statistics; Datastream; BIS international debt statistics and locational banking statistics by residence; Dalam McCauley, McGuire, dan Sushko (2015).
"Crash" dalam pasar obligasi memang sangat jarang terjadi dan tidak terlalu mengalami penurunan tajam (anjlok). Â Meski Robert shiller meyakini crash dalam pasar obligasi tidak akan terjadi selama tidak ada shock inflasi maupun tingkat suku bunga tapi dengan kondisi "extraordinay" dalam pasar obligasi yang terjadi kali ini memebuat sulit menebak apa yang akan terjadi dimasa mendatang.
Kita juga masih ingat apa yang mayoritas ekonom ungkapkan tentang rekayasa keuangan sebelum GFC. Mayoritas dari mereka mengungkapkan bahwa rekayasa keuangan akan membuat industri keuangan lebih stabil dan aman dari risiko. Meski kini banyak dari ekonom menyalahkan rekayasa keuangan sebagai biang keladi GFC. Oleh karena itu, kita tidak bisa mengabaikan kondisi "extraordinary" dalam pasar obligasi yang belum pernah terjadi sebelumnya ini meski apa yang kita ketahui tentang obligasi sebagai instrumen yang lebih aman dibandingkan dengan kredit perbankan maupun saham.
Hal tersebut juga diungkapkan dalam laporan BIS oleh Hyun Song Shin (2014), Turner (2013), dan McCauley et al (2015) yang menyatakan Baigaimana kondisi pasar obligasi keuangan sekarang harus menjadi concern dalam menjaga stabilitas sistm keuangan.
Kondisi di atas akan menjadi ancaman stabilitas sistem keuangan di Indonesia jikalau shock spillover dari pasar obligasi International maupun domestik ditransmisikan ke perbankan di Indonesia. Â Kebijakan baru BI yang akan dirilis ini akan meningkatkan eksposur pasar obligasi terhadapperbankan Indonesia. Alhasil perbankan indonesia menjadi lebih rentan melihat kondisi pasar obligasi yang saat kini terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H