Mohon tunggu...
Fajry Akbar
Fajry Akbar Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Natural born scientist

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pentingnya Budaya Perusahaan dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan

20 November 2014   18:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:18 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Budaya Perusahaan (Bank) Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan

Mari kita melihat melakukan flashback terhadap krisis keuangan terakhir tahun 2008. Sebelum terjadi krisis tersebut banyak terjadi tindakan curang atau tak etis di dunia perbankan. Sebut saja Mortgage Fraud, dimana terjadi persekongkolan antara peminjam dan pemberi pinjaman untuk memeberikan informasi palsu dalam aplikasi kredit untuk mendapatkan pinjaman atau pinjaman yang lebih besar. Bank pun melanggar prinsip kehatian-hatian dengan memiliki tingkat leverage yang sangat tinggi hasil dari financial engineering (Danielsson, 2011). Begitupula moral hazard too-big-to-fail, yang menyababkan bank besar berani mengambil risiko berlebih dengan harapan diselamatkan oleh bail out saat mereka bangkrut. Di indoensia-pun terjadi hal serupa, kita masih ingat pelanggaran yang dilakukan oleh manajemen Bank Century yang akhirnya membuat bank tersebut di bail out.

sumber: rinf.com

Tindakan curang dan tak etis oleh bank tersebut akhirnya menjadi sumber utama dari gangguan stabilitas sistem keuangan. Akan tetapi, menurut penulis, hal tersebut tidak akan terjadi jikalau bank memiliki budaya yang sehat. Oleh karena itu, menurut penulis, budaya perusahaan yang sehat menjadi “jantung” bagi stabilitas sistem keuangan

Budaya adalah norma yang dijadikan paduan perilaku atau tindakan seseorang saat kondisi ketidakadaan peraturan. Budaya ada pada setiap perusahaan baik disadari ataupun tidak. Budaya merefleksikan sikap dan perilaku perusahaan. Budaya berhubungan dengan “apa yang seharusnya dilakukan” bukan “apa yang bisa dilakukan”. Bagaiamankah budaya yang sehat dapat menjaga stabilitas keuangan ?

Misalkan, proses pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan curang dan tak etis ditentukan oleh dua faktor yaitu expected risk dan expected reward. Expected risk adalah fungsi dari kemungkinan seseorang tertangkap atau menerima konsekuensi perbauatannya seperti tindakan curang. Expected rewards adalah benefit secara finansial maupun fisik hasil dari tindakan yang tak kecurangan jika tidak diketahui. persamaannya,

E(Risk) = E(Reward)

Budaya yang sehat dapat mempengaruhi keseimbangan E(Risk) dan E(Reward) sehingga seseorang cenderung untuk berperilaku baik. Budaya yang sehat meningkatkan rasa tanggung jawab individu untuk  berperilaku baik dan pencegahan oleh individu lain dari perilaku buruk sehingga E(risk) meningkat. Selain itu, Budaya yang sehat mengurangi nilai E(rewards). Budaya yang sehat membuat seseorang yang melakukan tindakan curang atau tidak beretika tidak mendapatkan kepuasan karena tidak mendapatkan apresiasi dari tindakan melawan atau melanggar hukum yang ia lakukan. Dengan begitu budaya yang sehat akan mendorong orang untuk selalu berbuat baik dan menjauhi tindakan ilegal maupun kecurangan. Sehingga persamaannya menjadi,

E(Risk) > E(Reward)

Untuk membangun sebuah budaya yang baik maka harus dimulai dari atas struktur organisasi. Menurut James O’Toole and Warren Bennis, masalah etika dalam organisasi terjadi karena budaya perusahaan. Sedangkan budaya perusahaan itu sendiri dibentuk oleh leadership pada perusahaan. Oleh karena itu memperbaiki budaya perusahan harus berawal dari senior leader.

14164567071635931480
14164567071635931480

sumber: Foreclosurenation.com

Keterangan: Richard Fuld, mantan CEO Lehman Brothers bertanggung jawab terhadap budaya yang buruk  di Lehman Brothers. Richard Fuld dianggap memberikan contoh yang buruk terahadap anak buahnya. Lehman Brohters akhirnya bangkrut pada tahun 2008 dan menyebabkan krisis finansial.

Para senior leader bank harus dapat menjadi contoh yang baik bagi bawahannya. Mereka harus menilai dan memeriksa sikap dan perilaku mereka lalu menilai secara kritis norma pada perusahaan mereka. Mereka juga harus dapat memikirkan solusi dan mengkomunasikan pentingnya budaya perusahaan.

Langkah selanjutnya adalah para senior leader harus memperbaiki manajemen sumber daya manusia mereka. Dimulai dari rekruitmen, pengembangan karir, penilaian performa, dan promosi karyawan. Dalam proses rekruitmen perusahaan harus menekankan faktor integritas personal jangan hanya kemampuan indikator tertentu seperti salesmanship atau berkomunikasi saja.

Perusahan juga dapat menumbuhkan budaya perusahaan yang sehat dalam proses training perusahaan seperti melakukan case study mengenai ethical dilemma dan decision making. Dalam promosi pegawai, misalnya tidak hanya menilai dari berapa target atau penjualan kredit yang dihasilkan tetapi juga kualitas dari penjualan kredit tersebut dan bagaimana mereka mencapainya.

Untuk menjamin terjadinya budaya yang sehat di bank, maka para pimpinan harus mengukur progres perubahan tersebut. Pengukuran yang terpenting adalah employee assessment tentang bagaimana budaya bank mereka berkerja. Hal tersebut bisa dilakukan dengan pengembangan cultural survey yang komprehensif. Survey tersebeut nantinya digunakan sebagai benchmarking progres perubahan budaya yang sehat.

Elemen terpenting dari pembentukan budaya organisasi yang sehat adalah penegasan untuk patuh kepada hukum dan regulasi yang ada.  Untuk menegakkan budaya tersebut maka senior leader harus mempromosikan effective self-policing. Para senior leader perbankan harus proaktif terhadap tindakan melawan hukum. Mereka tidak tinggal diam tapi mencari kemungkinan-kemungkinan pelanggaran yang akan terjadi pada bank mereka. Mereka juga aktif melaporkan kegiatan illegal maupun tidak sesuai etika. Dengan begitu, akan tersampaikan “pesan” kepada para karyawan dan regulator tentang kepatuhan bank terhadap hukum.

Selain tindakan proaktif, mereka juga harus membuat fasilitas pengaduan bagi karyawan untuk tindakan curang dan tak etis. Karyawan bisa menjadi kunci dalam mencegah tindakan curang dan tak etis. Karyawan yang mengadukan tindakan tak benar akan mendapat kompensasi. Dengan begitu akan tercipta mekanisme saling mengawasi diantara para karyawan yang akan mencegah tindakan curang dan tak etis secara efisien.

Selain peran dari senior leader, Insentif juga dapat digunakan untuk membangun budaya yang sehat. Insentif ini dapat mendorong setiap unsur didalam bank untuk berperilaku baik. Insentif dibentuk melalui kompensasi.

14164570911342548778
14164570911342548778

Sumber: Entertaimentwallpaper.com

Insentif ini dapat menjadi pendukung kebijakan makroprudensial dalam mengatasi “too-big-to-fail”. Kompensasi akan menjadi alat yang sangat berguna untuk mengatasi pengambilan risiko berlebihan oleh bank besar. Kompensasi dapat digunakan sebagai pelengkap untuk membuat budaya yang sehat didalam bank. Kompensasi akan membuat individu menimbang untung-rugi dari tindakan curang dan ilegal.

Dalam pengunaan kompensasi terdapat dua pertimbangan penting yaitu seberapa besar kompensasi dibayarkan sekarang jika dibandingkan dibayarkan dimasa mendatang. Kedua, bentuk dari kompensasi yang akan dibayarkan nanti apakah berbentuk tunai, saham, atau obligasi. Struktur kompensasi haruslah sesuai dengan apa yang menjadi tujuan seperti mencegah tingakan curang maupun pengambilan risiko berlebih. Kalau kita melihat bahwa tindakan curang atau risiko berlebih di dunia perbankan dampaknya dalam jangka panjang maka defered compensation yang diberikan juga dalam jangka panjang. Deferred compensation jangka panjang yang tepat adalah dalam bentuk obligasi (bond) bertolak belakang dengan saham.

Saat perbaikan budaya perusahaan memerlukan komitmen dari senior leader maka deferred compensation dapat berperan untuk mendapatkan komitmen dari senior leader. Salah satu caranya adalah deferred compesantion yang diberikan oleh senior leader digunakan untuk rekapitalisasi aset bank saat mejadi insolvent. Dengan begitu para senior leader akan menghindari dan mencegah  tindakan curang atau pengambilan risiko berlebih yang menyebabkan bank tersebut menjadi insolvent. Dengan deferred compensation yang bersifat jangka panjang maka para senior leader lebih mementingkan kepentingan jangka panjang perusahaan. Selain itu, dengan deferred compesation yang mark-to-market akan terjadi sebuah mekanisme market dicipiline sehingga para senior leader lebih terdorong untuk memonitor bank lebih baik.

Mekanisme ini juga dapat memperbaiki budya perusahaan jiakalau denda pelanggaran atas tindakan curang dan tak etis dibayarkan sebagian besar dari deferred compenastion. Hal tersebut akan mendorong orang yang memiliki posisi terbaik untuk indentifikasi dini aktivitas curang dan tak etis sehingga orang tersebut terdorong untuk melakukan tindakan pecegahan. Deferred compensation juga menyadari bahwa benefit yang dimilikinya tak hanya bergantung pada dirinya akan tetapi juga orang lain. Karena saat orang lain melakukan pelanggaran maka beenefit dari orang itu berkurang. Oleh karena itu sistem ini nantinya akan mendorong munculnya “whistle blower” dari setiap tindakan illegal maupun pelanggaran.

Referensi:

Danielsson, Jon. 2009. The myth of the riskometer. http://www.voxeu.org/

O’Toole and Bennis. 2009. What’s Needed Next: A Culture of Candor.  Harvard Business Review

William C. Dudley. 2014. Enhancing Financial Stability by Improving Culture in the Financial Services Industry. Workshop on Reforming Culture and Behavior in the Financial Services Industry. Federal Reserve Bank of New York: New York City

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun