Mohon tunggu...
melo
melo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Di Mana Kami Belajar?

9 November 2018   00:20 Diperbarui: 9 November 2018   11:00 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langkah kecil sedang menapaki jalan berbatu, menuruni jalan berbukit dengan hiasan pepohonan kayu putih yang begitu padu dengan tanah merah kering khas Timor. Dari sebelah timur mentari masih setengah di bagian atas pertanda pagi masih di sekira pukul 06.00. 

Kouk, begitu nama bocah lelaki kecil berumur 8 tahun ini dalam perjalanannya menuju sekolah. Dengan sepatu lusuh yang alas bagian depannya mulai terkelupas Kouk masih setia melanjutkan kegiatan rutin dipagi hari, apalagi jika bukan pergi ke sekolah.

Jarak rumah Kouk ke sekolahnya sekitar 10 Km, karena belum ada transportasi yang menghubungkan daerah tempat ia tinggal dengan sekolah maka hanya dengan jalan kaki Kouk bisa sampai ke sekolah. 

Sebenarnya rumah Kouk memanglah yang terjauh dibandingkan pemukiman warga dusun III yang lain. Kouk memang pernah bertanya kepada Kakek dan Nenek mengapa mereka tidak pindah saja ke daerah dekat pemukiman warga dusun III yang lain, namun kakek hanya berkata "Siapa yang mau jaga ternak, dan kebun kita juga di sini". Kouk yang memang tak punya pilihan hanya diam mendengar alasan itu. Di rumah terpencil  beratap daun itu memang hanya ditinggali Kouk bersama Kakek dan neneknya,  ayah dan ibunya sudah pergi merantau ke Malaysia sejak Kouk masih berusia 1 tahun.

"Kouk!", terdengar suara dari sebuah rumah di kanan jalan. Itu Martha teman kelas Kouk yang setiap hari biasanya menunggu Kouk di depan rumahnya. Gadis kecil berambut keriting kering itu sentak mengikuti Kouk sambil sedikit berlari. "Ayo", kata Martha sambil keduanya melanjutkan perjalanannya.

"Kau tidak bawa jambu?", tanya marta.

"Tidak, kemarin ba'I (Kakek) dan nene (Nenek) tidak pergi ambil di hutan", jawab Kouk. Memang hari ini adalah hari Selasa, artinya pasar mingguan di desa Tau. Setiap hari Selasa memang Kouk biasanya membawa hasil kebun atau yang di ambil di hutan untuk dijual di pasar.

"kalau begitu kau bantu saya jual saja, mama ada ke Kupang", sambung Martha berharap Kouk mengiyakan.

"iya tapi kau jual apa ini hari?", tanya Kouk.

"Sayur dengan Jambu saja", jawab Martha.

"ok", jawab Kouk singkat mengiyakan

Hampir pukul 07.30 Kouk dan Martha sudah sampai di gerbang sekolah. Ya seperti biasanya, pagi di hari Selasa memang berbeda. Hari selasa pagi adalah hari dimana kebanyakan siswa akan lebih tempo datang kesekolah. 

Seperti yang Kouk dan Martha lihat di dekat tiang bendera ada Bertus yang sedang seru-serunya berbincang dengan teman laki-laki lain. Mereka memang sedang serius berdiskusi tentang Handphone baru Bertus. 

Walau belum ada akses listrik di desa kami namun seperti biasa kami bisa mendapatkan jasa charge HP di pasar ketika hari pasar, mungkin itu yang membuat bertus bersemangat hari ini.

Di depan pintu kelas tak kalah bersemangat Nona berbincang dengan beberapa teman wanitanya. "ini hari dia pasti datang dari Kupang, minggu lalu kami sudah baku janji", kata Nona yang samar samar terdengar di telingaku. Apakah Nona sudah punya kekasih? Pikirku mungkin saja karena fisiknya yang tinggi besar seperti anak SMP.

Baru sesaat setelah Kouk meletakan kresek hitam berisi 2 atau 3 buku tulis di meja lonceng tanda dimulainya kegiatan KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) berbunyi. Beberapa kelompok-kelompok kecil siswa yang dari tadi sedang asyik berbincang mulai berceraian dan menuju kelas masing-masing.

Namun sepertinya perbincangan tadi belum usai, ternyata kelompok kecil itu berubah menjadi kelompok besar. Seperti biasa, jika belum ada guru yang datang maka yang ada di kelas adalah keributan.

 "We Ria keriting merah", terdengar suara teriakan Jeko mengejek Ria.

"Apa kau hitam arang", balas Ria.

Memang seperti itulah keadaan di kelas kami jika tidak ada guru, bahkan terkadang kami tetap saling mengejek walau ada guru di kelas. Beberapa guru bahkan pada akhirnya hanya membiarkan kami saling mengejek karena capai menegur. Siswa di kelas Kouk memang seperti itu ketika mereka dihadapkan dengan pelajaran yang mengharuskan merekai untuk membaca dan mencatat. 

Bahkan itu sebabnya beberapa teman masih sangat gagap membaca walau sekarang kami sudah duduk di bangku Kelas V. Malah terkadang perkelahian muncul saat kami sedang belajar membaca. 

Satu buku cetak yang dipakai untuk belajar oleh 5 sampai 6 siswa justru menjadi sumber keributan. Beberapa siswa malah memilih tidak focus ke buku saja daripada nanti bisa ikut berkelahi karena saling Tarik menarik untuk melihat gambar di buku. Sepertinya kami memang bermasalah dengan buku yang sedikit.

Di Pasar

Satu jam berlalu, dua jam berlalu, tiga jam berlalu belum terlihat ada tanda-tanda ibu Lia akan masuk. Guru honor yang satu ini memang sedang sakit sejak tiga hari yang lalu. Tak ada kabar jelas sakit apa yang sedang dideritanya, kami mendengar kabar itu dari rumah salah satu teman kami yang tinggal berdekatan dengan rumah ibu Lia.

"Kami duluan e," kata beberapa teman bersiap meninggalkan ruangan kelas.

"Kouk mari sudah kita ke pasar, semua su jalan", ajak Martha .

Tanpa berkata Kouk segera meraih tas sekolah kreseknya dan berjalan menuju ke luar. Seperti sebelum-sebelumnya kebanyakan siswa lebih memilih berada di pasar saat hari pasar tiba.

Beberapa menit kemudian Kouk dan Martha sudah berada di lapak sayur mereka menunggu sayuran mereka untuk dibeli. Seorang pria terlihat mulai menawar harga sayuran Martha dan Kouk,

"Sayur berapa?, tanya si pria.

"Satu ikat 500", jawab Kouk.

Dari dalam tas pinggangnya si pria siap mengeluarkan uang namun ragu lalu berkata,

"Kau mau kasih persen berapa?" tawar si pria.

"25 ikat Sepuluh", kata Kouk cepat.

"Tidak bisa, kau tidak liat dia model begitu?", bisik Martha.

"Kenapa?", tanya Kouk bingunng.

"Dia ini biasa beli abis jual lagi di desa lain langsung di rumah, nanti yang jual sayur di sana tidak laku, kita mungkin bisa kasih di orang lain tapi tidak di dia", jelas Martha.

Kouk hanya terdiam menahan kata-katanya karena pria terus menawarkan sayur padanya. Pria ini pada akhirnya pergi dan mengurungkan niat membeli sayur di lapak Martha karena merasa bahwa ia memang akan menjual lagi sayur yang sudah dibelinya ke desa lain dengan harga yang jauh lebih tinggi dan mematikan harga sayur di desa yang di kunjungi. Bagus benar kemampuan analisis Martha, piker Kouk. 

Kemampuan analisis ini memang sudah diketahui beberapa anak yang berjualan di sini, terkadang tawaran untuk Lombok dan tomat juga sering mereka terima namun karena pengalaman tentang ada pihak yang bisa kendalikan harga maka dengan sendirinya mereka juga tahu. Desa Kouk memang cukup kaya dengan berbagai hasil bumi.

"Martha kau punya sayur berapa?

Tanya ibu Ani kepala sekolah di sekolah Kouk,

"Satu ikat 500 ibu" kata Martha.

Saya beli 5 ribu", kata ibu Ani

Martha memasukan beberapa ikat saur ke kresek lalu memberikannya ke ibu Lia lalu beliau berlalu mencari bahan yang lain. Dan memang begitulah keadaannya, karena memang banyak siswa yang berjualan, para guru telah terbiasa dan membiarkan begitu saja para siswa di pasar karena ini bukan saja karena kegiatan yang harus Kouk dan teman-teman lakukan, ini tanggung jawab mereka untuk membantu orangtua mendapatkan uang.

Sejam, dua jam berlalu jualan di lapak mereka telah tersisia beberapa ikat saja, Kouk dan Martha hanya duduk mengamati teman-teman mereka yang juga sedang sibuk dengan jualan mereka.

"Kemarin saya punya kaka di Kupang ada yang wisuda" kata Martha

"Jadi nanti kita pesta di rumah?" tanya Kouk

"Tidak tahu, kami tidak ada uang lagi", jawab Martha mengingat apa yang dikatakan ibunya sebelum ke Kupang.

"Kau punya kaka hebat e bisa sampai kuliah, kira-kira kita bisa atau tidak", kata Kouk sembari menertawakan kata-kata yang ia ucapkan sendiri,

"Kau jangan mimpi, kita punya tempat itu di pasar saja" jawab Martha

"Sekolah juga buat apa, nanti kita kerja di sini", kata Kouk  

"Kita biar belajar di pasar saja, kau liat kawan-kawan juga begitu", jawab Martha sambil menunjuk Bertus dan nadus.

Di tempat jualan hewan ada Bertus dan Nadus, mereka sedang berdagang ayam. Seperti biasa mereka sangat aktif mendengar arahan Om Tinus, saudagar ayam yang punya ribuan ayam di kandangya. Bertus dan Nadus baru bekerja beberapa bulan bersama Om Tinus tapi mereka sudah menguasai cara menangani ayam. 

Martha pernah berkata Bertus dan Nadus adalah saudara ayam. Bagaimana tidak Kedua teman mereka ini memang tau segala sesuatu yang berkaitan dengan ayam seperti cara memelihara kesehatan ayam, cara memberi pakan, dan membuat ayam terlihat menarik saat di pasar. 

Mereka bahkan sudah patut diberi gelar pakar ayam. Bertus dan Nadus bahkan menjadi rekomendasi bagi warga sekitar untuk bisa berkonsultasi tentang bagaimana menangani ayam yang sudah mulai terkena penyakit. Ayah Martha bahkan pernah ditolong oleh Bertus dan Nadus Karena ayam-ayam mereka yang terserang penyakit.

Selain itu di bagian penjual minyak, ada Rina yang selalu menuangkan minyak tanah dan minyak goring bagi pembeli minyak yang biasanya antri. Rina bahkan sampai bisa mengira-ngira ukuran air yang kami bawa di jerigen ke sekolah saat ada kunjungan seorang Caleg bulan lalu.

Di bagian pengisisan ulang baterai handphone ada Rikus, Lois dan Markus. Ketiga teman Kouk ini seperti petugas PLN di sekolah kami, dari pengalamannya mengikuti para penjual jasa recharger hp di pasar mereka jadi belajar banyak. Mereka bahkan bisa menginstalasi rumah mereka dengan aki bekas dari pedagang mingguan itu supaya rumah mereka bisa diterangi lampu.

Hari pada akhirnya sudah mulai senja, langkah kecil Kouk sudah terarah kembali ke rumah yang jauh dari pemukiman. Seperti hari-hari pasar yang lainnya seragamnya terlihat lebih kotor karena aktivitasnya di pasar sejak pagi. 

Hari-ini masih saja sama seperti hari lainnya dan entah sampai kapan Kouk akan melewati hari-hari pasar yang lain. Dalam renungpun Kouk tak pernah protes tentang proses belajarnya di sekolah. Dalam batinnya pun Kouk masih tidak merasa perlu mempertanyakan haknya untuk mendapatkan sekolah yang layak. Dalam jiwanya Kouk masih tak tahu apa fungsi sekolah. Lalu dimana mereka belajar?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun