Mohon tunggu...
Mellysia Xu
Mellysia Xu Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pelajar, Dahulu Terbebas Terjajah Kemudian

11 Januari 2017   21:10 Diperbarui: 11 Januari 2017   21:31 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Binhakim.blogspot.com

Melihat dan mencermati pelajar pada masa orde lama, orde baru, dengan masa reformasi tentu jauh sangat berbeda. Apalagi dengan adanya dan maraknya globalisasi. Kemajuan teknologi dan penyebaran informasi juga menjadi salah satu faktor perbedaan paradigma dari berbagai pelajar. Sebenarnya pola atau cara mengajar tidak berubah secara drastis dalam permasalahan ini. Tetapi yang berubah adalah paradigma dan arti pendidikan itu sendiri di mata pelajar saat ini. Sangat banyak sekali perbedaan sudut pandang antara pelajar sekarang dan pada saat sebelum merdeka.

Saat indonesia dalam keadaan dijajah, boleh dikatakan hanya negara nya lah yang dijajah tapi pemikiran para pelajar saat itu sedang berkembang bahkan penjajahan itu sendiri yang memicu ,mendorong rakyat dan kaum terpelajar untuk mengeluarkan berbagai aspirasi dan berfikir kritis bagaimana caranya terlepas dari penjajahan saat itu. Tidak terlepas juga dari sedikitnya kaum muda yang dapat belajar. Seperti yang kita tahu pada saat penjajahan oleh belanda hanya anak dari kaum bangsawan yang boleh menempuh pendidikan dan itupun hanya laki-laki. Tetapi justru dengan adanya keadaan itu para pelajar lebih tergerak dan semuanya mempunyai niat untuk belajar dan memiliki ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dimaksud bukanlah halnya hanya pengetahuan pasti saja tetapi lebih kepada realitas kehidupan. Menurutku pada masa itu para pelajar lebih aktif dan lebih dengan senang hati belajar dari hal-hal seperti itu tanpa adanya paksaan. Pelajar dulu lebih banyak bertanya dan masih banyak juga yang menyanggah pernyataan yang diberikan guru pada masa itu jika tidak setuju. Contohnya adalah Gie yang berdebat tentang pengarang dan penerjemah “Pulanglah Dia Si Anak Hilang” sang guru mengatakan bahwa oengarang aslinya tidak dikenal disini jadi bisa dikatakan Chairil Anwar adalah pengarangnya. Tetapi Gie tidak setuju dan malah mengekang gurunya itu dengan menjawab demikian “penerjemah tetaplah berbeda dengan pengarang, lagi pula pengarang aslinya “Andre Gide”. Bahkan Soe Hok Gie menuliskan “Guru yang tidak tahan kritik boleh dimasukan ke dalam tong sampah. Guru bukanlah dewa yang selalu benar dan murid bukanlah kerbau yang selalu salah”. Dimana lagi kita bisa menjumpai seorang murid yang berani membela sebuah kebenaran dan tetap mempertahan pendapatnya itu? Kurasa sangat jarang pada pelajar sekarang yang hanya mengiyakan semua pernyataan guru. Sebenarnya bukan tidak berani mungkin ada yang berani tetapi tidak mengetahui apa yang benar, krisis membaca. Bahkan jika ada yang mengatakan bahwa mengiyakan bukan selalu setuju dan diam bukanlah selalu tidak tau, menurutku itu lebih jarang lagi, Mungkin 1000:1.

Pendidikan bagi kaum muda tampaknya menjadi faktor penting dalam membuka wawasan. Sebagai pelaku sejarah yang ingin merintis hari depan, pelajar ini tidak lagi melihat realitas sosial seperti apa adanya, tetapi mereka selalu mempersoalkan tentang bagaimana seharusnya. Realitas sosial yang mereka hadapi ketika itu adalah penjajahan, kebodohan, dan kekurangan ekonomi. Cara untuk menaikkan derajat bangsa ini adalah dengan cara melepaskan diri dari belenggu penjajahan dengan menjadi negara merdeka. Selanjutnya, kaum muda terpelajar menjadi perintis utama dari munculnya ide tentang kemerdekaan. Perbedaan pandangan, wawasan, dan ideologi sebagai hasil belajar tidak menghalangi mereka untuk mengembangkan aspirasi para pemuda dengan membentuk organisasi. Pada masa kolonial, seluruh gerakan dan pemikiran kaum muda disalurkan melalui organisasi-organisasi dalam berbagai bentuk. Jadi, segala peristiwa yang dialami pada masa kolonial tidak hanya sekedar dijalani, tetapi juga dijadikan sebagai sesuatu yang dapat mendewasakan wawasa, sikap dan tindakan dari para pemuda.

Jika dulu pelajar sering menghabiskan waktu untuk berorganisasi dan membaca, maka pelajar sekarang lebih sering berorganisasi juga tetapi di tempat keramaian (gosip). Jika dulu pelajar berani mempertahankan pendapatnya sekarang bisa menjawab dan memperhatikan saja sudah menjadi hal yang langkah. Kini membaca hanya menjadi sebuah paksaan itupun ketika ujian menghampiri. Belajar menjadi sebuah paksaan dengan ancaman nilai. Kemanakah kemajuan teknologi dan informasi itu dimanfaatkan? Untuk belajar dan menambah wawasan? Jangan terlalu banyak berharap sebaiknya. Ada sedikit terjadi penyalahan teknologi disana. Mungkin dulu orang berlomba –lomba untuk menjadi yang terbaik dalam belajar. Tetapi sekarang orang lebih bersaing dalam hal popularitas semata. Pelajar yang tadinya masih memiliki semangat belajar para pejuang menjadi terisolasi karena yang seperti itu hanyalah minoritas diatara mereka. Jangankan sejarah bangsa Indonesia, sejarah pejuang secara personal pun masih bingung, tetapi anehnya jika menghafal dan mengingat nama, ttl, bahkan silsilah keluarga para idola mereka hafal diluar kepala.

Secara nama negara Indonesia telah lama merdeka, tetapi secara pikiran menurutku pelajar yang ada dengan senang hati memberikan pemikiran mereka dijajah dengan hal-hal yang kurang bermanfaat, boleh dikatakan pada masa indonesia dijajah paradigma pelajar terbebas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun