Beberapa waktu terakhir, saya memiliki kegiatan tambahan. Membaca bersama anak-anak. Istimewa sekali. Karena kami, saya dan mereka, akan membaca satu atau beberapa buku bersama-sama. Tak selalu harus duduk manis melipat tangan. Terkadang, saya bagai gula yang dikerumuni semut. :D
Saya senang sekali dengan kegiatan tambahan ini. Saya jadi bisa membaca lebih banyak buku, belajar public speaking, belajar berekspresi, belajar tak canggung, agar anak-anak tak bosan saat saya bercerita. Di samping itu, buku-buku cerita anak yang saya miliki, menjadi jauh lebih bermanfaat. Tak sekedar tersimpan rapi di rak buku lagi.
Dibalik keceriaan yang tercipta, ada perasaan miris, sedih, kecewa, haru yang saya rasakan. Mengapa?
Anak-anak yang kami kunjungi, tinggal di panti dengan fasilitas yang sangat minim. Jauh dari sanak saudara, bahkan lebaran pun tiada tempat yang dapat dikunjungi, tak ada pula yang mengunjungi. Sedih.
Ada yang harus tidur berdesakan dan saling mengalah. Tak mengenal nyamannya istirahat malam. Bagaimana tidak berlaku demikian, jika lima puluh kasur yang tersedia, harus cukup untuk tidur seratusan anak. Miris.
Tak sedikit pula, yang jatah uang makan pada satu panti Rp.6500 per anak per hari. Namun anak-anaknya tak pernah kehilangan semangat untuk belajar, untuk berbagi dalam kesempitan, untuk senantiasa tersenyum dalam kesulitan. "Meski kami cuma makan pakai tempe, yang penting kami tetap bisa belajar, membaca banyak buku." Haru.
Namun, ada kecewa yang tersingkap dari jarak yang paling dekat. Satu tempat yang seharusnya mendapat perhatian lebih. Sebuah panti yang telah punya nama. Jumlah anak tak banyak. Hanya tujuh belas orang anak laki-laki dari usia SD hingga SMA. Jatah uang makan yang disediakan pengurus Rp.2500 per anak per hari. Artinya, setiap hari untuk sekali makan seorang anak, jatahnya Rp.833.
Mengingat jarak tempuh dari lokasinya yang tak sampai 30 menit perjalanan dari pusat kota Banda Aceh, rasanya sukar dipercaya, panti ini luput dari perhatian Dinas Sosial, BAZNAS, atau pemda setempat. Apakah ada permainan tak patut di antara pengurus panti ini? Ah, bukankah dana MTQ dan Al Qur'an saja bisa dipangkas? *su'udzon. Inilah kecewa pertama saya.
Sepertinya, saya banyak su'udzonnya ketika bermain ke satu tempat ini. :'(
Hal lain yang membuat saya kecewa adalah sikap anak-anaknya. Acuh, kadang bersuara keras pada ibu pengasuh mereka yang hanya seorang, dan ada anak yang merokok. Saya merasa sangat kecewa sekali mengetahui hal ini. Tidak suka. Pantaskah saya kecewa? Mengapa saya harus tidak suka?
Hal ini, saya ceritakan pula pada Mbak Inge, tokoh idola saya (hehehe).
"Kenapa ya, Mbak ... kok anak-anaknya begitu?" tanya saya.
"Mungkin mereka kurang perhatian, kurang kasih sayang. Kan ada yang dari kecil sudah di Panti. Enggak ada tempat berbagi. Apalagi pengasuhnya cuma satu orang." jawab Mba Inge. "Mengasuh anak yatim itu harus banyak sabar. Lebih sukar daripada mengasuh anak sendiri. Harus lebih perhatian dan pengertian." lanjut Mba Inge.
"Iya, Mba ... Ibu pengasuhnya juga diam saja sih kalau ada anak yang bertingkah gitu. Enggak berani memarahi, karena mengingat yang diasuhnya adalah anak yatim."
Saya pribadi, sejujurnya belum paham. Ibu pengasuh mereka demikian berhati-hati dalam berbelanja agar setiap hari anak-anak bisa makan sehari tiga kali dengan uang belanja yang minim sekali. Tak jarang, beliau menggunakan fee bulanannya yang tak seberapa untuk menambah uang belanja. Menuju pasar pun beliau tempuh dengan berjalan kaki. Padahal jarak dari panti ke pasar sungguh tidak dekat. Apakah itu bukan merupakan bentuk dari kasih sayang seorang Ibu? Meski beliau bukan ibu kandung mereka.
Ibu pengasuh mereka yang memasakkan makanan untuk mereka, mencucikan pakaian mereka, membersihkan piring dan lantai tempat tinggal mereka. Semua pekerjaan dikerjakan seorang diri dengan usia yang tak lagi muda. Apakah itu bukan merupakan bukti kasih sayang seorang ibu terhadap anak-anaknya?
Kalau saya, mungkin sudah pingsan mencuci pakaian milik 17 orang.
Tidakkah mereka melihat dan merasakan, saat mereka sakit, ibu pengasuh mereka yang cemas, yang merawat, mengusap luka dengan lembut, menenangkan dengan kata-kata. Apakah itu bukan merupakan bentuk kasih sayang seorang ibu?
Apakah mereka tidak melihatnya dalam keseharian mereka? Padahal nyaris 24 jam mereka bersama ibu asuhnya. Lalu, mengapa harus bersuara keras? Membangkang kata-kata? Memperlihatkan sikap kurang baik dengan merokok di Panti? Mencontohkan hal-hal buruk tersebut pada adik-adik yang lebih kecil, mengapa tidak menghormati? Ah, banyak sekali mengapa ... mengapa ... yang berputar di kepala saya. Sedih. Kecewa.
Ingin sekali saya menanyakan hal tersebut pada mereka. Namun apa daya, setiap kali kami datang, mereka acuh dan tak peduli. Hanya anak-anak usia SD yang antusias membaca dan bermain bersama, itupun hanya 6-7 orang. Sedih.
Ingin sekali saya menyampaikan, "Tahukah kalian, dik ... sepulang dari tempat kalian ini, teman-teman saya memperjuangkan kalian, agar kalian dapat merasakan kenyamanan seperti yang kami rasakan di rumah kami. Kami ingin kalian merasakan hal yang sama. Bahwa kita tak berbeda. Menyampaikan hal-hal yang baik saja tentang kalian. Hanya hal yang baik saja."
Saya paham benar, tak semua hal bisa sesuai dengan yang saya pikir dan inginkan. Setiap orang berbeda. Dan saya, tak bisa memaksa orang lain untuk menjadi seperti apa yang saya inginkan.
Tak bisa menuntut anak-anak itu sama seperti anak-anak panti lain. Yang manis, yang bersemangat, yang lembut dalam bertutur, santun dalam bersikap. Mungkin di sini kondisinya berbeda. Peraturannya berbeda. Dan banyak hal beda lainnya yang saya belum saya pahami. Meniti jalan Jannah memang tak mudah. Tak mulus. Tak bisa di setting sesuai dengan keinginan kita.
Anyway, sebaiknya saya tak perlu melanjutkan hal-hal yang sedih. Karena sebenarnya, dari semua hal ini, menjadi semakin banyak yang saya syukuri. Orang tua yang masih lengkap. Keluarga serta sahabat yang hangat dan ceria. Kesempatan beroleh pendidikan yang baik. Belajar banyak hal baik dari kebaikan orang-orang baik di sekeliling saya. Segala hal yang memacu saya, untuk senantiasa berusaha menjadi insan yang baik, bahkan terbaik. Insya Allah, semoga Allah memampukan saya. Allahumma Amin.
Note :
Mungkin saya masih sangat banyak kekurangan, namun bukankah kita semua tengah melakukan sebuah proses menuju kondisi yang lebih baik? Semangat! :)
Banda Aceh : Catatan Ramadhan #3