"Kenapa ya, Mbak ... kok anak-anaknya begitu?" tanya saya.
"Mungkin mereka kurang perhatian, kurang kasih sayang. Kan ada yang dari kecil sudah di Panti. Enggak ada tempat berbagi. Apalagi pengasuhnya cuma satu orang." jawab Mba Inge. "Mengasuh anak yatim itu harus banyak sabar. Lebih sukar daripada mengasuh anak sendiri. Harus lebih perhatian dan pengertian." lanjut Mba Inge.
"Iya, Mba ... Ibu pengasuhnya juga diam saja sih kalau ada anak yang bertingkah gitu. Enggak berani memarahi, karena mengingat yang diasuhnya adalah anak yatim."
Saya pribadi, sejujurnya belum paham. Ibu pengasuh mereka demikian berhati-hati dalam berbelanja agar setiap hari anak-anak bisa makan sehari tiga kali dengan uang belanja yang minim sekali. Tak jarang, beliau menggunakan fee bulanannya yang tak seberapa untuk menambah uang belanja. Menuju pasar pun beliau tempuh dengan berjalan kaki. Padahal jarak dari panti ke pasar sungguh tidak dekat. Apakah itu bukan merupakan bentuk dari kasih sayang seorang Ibu? Meski beliau bukan ibu kandung mereka.
Ibu pengasuh mereka yang memasakkan makanan untuk mereka, mencucikan pakaian mereka, membersihkan piring dan lantai tempat tinggal mereka. Semua pekerjaan dikerjakan seorang diri dengan usia yang tak lagi muda. Apakah itu bukan merupakan bukti kasih sayang seorang ibu terhadap anak-anaknya?
Kalau saya, mungkin sudah pingsan mencuci pakaian milik 17 orang.
Tidakkah mereka melihat dan merasakan, saat mereka sakit, ibu pengasuh mereka yang cemas, yang merawat, mengusap luka dengan lembut, menenangkan dengan kata-kata. Apakah itu bukan merupakan bentuk kasih sayang seorang ibu?
Apakah mereka tidak melihatnya dalam keseharian mereka? Padahal nyaris 24 jam mereka bersama ibu asuhnya. Lalu, mengapa harus bersuara keras? Membangkang kata-kata? Memperlihatkan sikap kurang baik dengan merokok di Panti? Mencontohkan hal-hal buruk tersebut pada adik-adik yang lebih kecil, mengapa tidak menghormati? Ah, banyak sekali mengapa ... mengapa ... yang berputar di kepala saya. Sedih. Kecewa.
Ingin sekali saya menanyakan hal tersebut pada mereka. Namun apa daya, setiap kali kami datang, mereka acuh dan tak peduli. Hanya anak-anak usia SD yang antusias membaca dan bermain bersama, itupun hanya 6-7 orang. Sedih.
Ingin sekali saya menyampaikan, "Tahukah kalian, dik ... sepulang dari tempat kalian ini, teman-teman saya memperjuangkan kalian, agar kalian dapat merasakan kenyamanan seperti yang kami rasakan di rumah kami. Kami ingin kalian merasakan hal yang sama. Bahwa kita tak berbeda. Menyampaikan hal-hal yang baik saja tentang kalian. Hanya hal yang baik saja."
Saya paham benar, tak semua hal bisa sesuai dengan yang saya pikir dan inginkan. Setiap orang berbeda. Dan saya, tak bisa memaksa orang lain untuk menjadi seperti apa yang saya inginkan.