Mohon tunggu...
Sarah Mellina
Sarah Mellina Mohon Tunggu... wiraswasta -

"Seorang muslim harus sama baiknya antara membaca dan menulis" --Hasan Al-Banna-- Seorang perempuan dengan perawakan sangat biasa, pribadi yang biasa,yang percaya bahwa segala hal menjadi besar karena diawali dari hal-hal yang kecil,sebagaimana langkah besar diawali dari langkah2 yg kecil. Karena itu,tak ingin hanya melihat segala sesuatu dari langkah yg besar dan jejak yg terlihat.Tetapi,mencoba tetap memperhatikan bagaimana langkah-langkah kecil yang dijalani dlm prjalanan yg panjang dan rumit hingga trbangunlah langkah-langkah besar. Seorang perempuan biasa yang percaya, apa yg sudah tertanam,bila tertanam dengan baik,akan mekar dan tumbuh lebat hingga berbuah banyak. Begitu pula nyala api,biasa bermula dari pijaran-pijaran kecil,kemudian mencoba untuk terus menyala ditengah terpaan angin,maka ia akan mampu berkobar semakin besar,semakin terang.. Seorang perempuan biasa yang yakin, karya tidak diukur dgn angka dan lembaran kertas,tetapi dgn realisasi atau perbuatan serta dapat memberikan manfaat dgn menyuguhkan hikmah dibaliknya. Seorang perempuan biasa yang mencoba memahami, perbuatan terjadi melalui proses,maka proseslh yang dipentingkan,setelah itu baru hasil yg didapat. Beruntunglah orang-orang yang mempertahankan terus semangatnya dalam tiap pergantian waktu, menjaga niatnya tetap dalam kebaikan dan menemukan Allah dalam tiap gerak langkahnya. karena, dengan bertambahnya usia, kita akan semakin mensyukuri telah diberi dua tangan, Satu untuk menolong diri kita sendiri, Dan satu lagi untuk menolong orang lain. Jadi, Jangan biarkan hari-harimu kosong tanpa catatan kebaikan better is not something U wish, it is something U become. The best is not who U’re,but is it what U did. Being better by doing the best…^_^ --Bias,samar,dgn batas tak jelas. Tapi psti ada 1 sisi yg hakiki..-- Tuhanku.. Ijinkan aku tuk mengetuk pintu-Mu Demi memahami arti lara n lapa kehidupan,sbg bekal tuk mndewasakan diri n hati dalam naungan iman..=)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pelaris

30 Juli 2012   20:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:26 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kak, jangan beli di tempat Nek Ijah, ya" pesan Ibu saat saya akan pergi membeli takjil untuk berbuka hari ini. Saya hanya mengangguk dan segera menjalankan motor saya, mengingat waktu berbuka tinggal hitungan menit. Selanjutnya, saya pun lupa bertanya alasan pesan ibu tersebut. Esoknya, saya pulang lebih cepat. Sekitar pukul 17.30 saya sudah duduk santai di ruang tamu, membaca buku kiriman Ci Dian, dengan pintu depan yang sedikit terbuka. "Sudah habis dagangannya, Mba?" terdengar suara Bulek menyapa Mba Ima anak Nek Ijah yang sedang lewat depan rumah kami. "Iya, nih, Bulek. Untung pakai pelarisnya Pakde Jito. Kalau enggak, mana laku. Makin banyak saingan kalau bulan puasa. Apalagi, jualannya di dalam lorong begini." jelas Mba Ima dengan suara yang tidak sungkan. Saya terdiam mendengarnya. Pelaris? Di Bulan Ramadhan pula .... Pakde Jito. Siapa yang tidak mengenal lelaki ini. Saya pribadi, sentimen sekali dengan laki-laki tua satu ini. Bagaimana tidak? Dulu, dukun tua yang akrab dipanggil Jito ini, gencar sekali mempengaruhi nenek saya dengan segala kesyirikannya. Hingga sakit perut pun memanggil Pakde Jito. Ponakan menangis, masuk kupu-kupu dalam rumah, sampai hal-hal kecil semua pakai saran Pakde Jito. Alhamdulillah, sekarang nenek tak lagi mendengar bualan dukun tua itu lagi. Meski, sesekali dukun tua itu masih bertandang ke rumah nenek. Sekedar mengobrol berbasa-basi tanya kabar nenek. Aku? Tak pernah menyapanya. Tak pernah pula membukakan pintu untuknya. "Mba Ima, ya?" tanya ibu yang tiba-tiba sudah berdiri samping saya menuju pintu. Hendak menyiram bunga. Kulihat, ibu tersenyum pada Mba Ima yang masih mengobrol dengan Bulek. "Pantes ramai sekali, ya," kata Bulek. Ditanggapi dengan wajah sumringah Mba Ima. "Tuh, jangan beli di tempat Nek Ijah, dosa." kata Ibu pelan sambil berlalu ke dalam. *** "Kak, nanti kalau mau pulang, tolong beli air kelapa muda, ya" pesan Ibu via telepon. Sambil menunggu antrian air kelapa muda, saya berjalan ke tempat penjual kue kenalan saya. Ibu ini hanya menjual kue saat bulan Ramadhan saja. Banyak jenis kue yang dijual, besar, cantik bentuknya, murah, enak pula. Itulah yang dicari pelanggan, terutama yang seperti saya. :D Pembeli kue Bu Hilda, kenalan saya ini, juga tak pernah sepi  dari pembeli. Apakah beliau pakai pelaris? Insya Allah, absolutely, NO. Saya kenal benar siapa dan bagaimana karakter Bu Hilda dan keluarga. Keluarga Qur'ani, Insya Allah. Tiba di rumah,  seperti biasa, Ibu selalu menyambut saya di pintu. Membantu mengambil air kelapa muda dan kue yang saya bawa pulang. Saya membenarkan posisi parkir motor. Mengikuti beliau masuk ke dalam rumah. "Kak, Alhamdulillah ada pesanan kue lagi untuk buka puasa. Nanti hari Sabtu, ada pesanan nasi kuning. Hari Minggu nya, gado-gado," Kata Ibu. "Alhamdulillah, berapa kotak, Bu?" tanya saya. "300 kotak" jawab Ibu. "Alhamdulillah ...." Alhamdulillah, beberapa tahun belakangan ini, meski tak resmi menyebutnya usaha catering, Ibu banyak menerima pesanan memasak. Gado-gado, nasi kuning, lontong, aneka lauk serta kue basah dan kering. Seperti hari-hari Ramadhan ini dan tahun-tahun lalu. Alhamdulillah, tak sepi pelanggan. Apakah kami pakai pelaris? No ... no ... no .... "Alhamdulillah, berkah Ramadhan .... " sahut Ibu. "Sebenarnya, kalau kita bisa menjaga kepercayaan orang, enggak perlu pakai pelaris, orang akan datang ke tempat kita. Kalau masak, jangan pelit, bumbu jangan  dikurangi, biar masakannya enak. Jangan berantakan menyajikannya, jadi orang selera melihatnya. Buat apa pakai pelaris, dagangan habis, tapi rezekinya enggak halal, Allah enggak suka, enggak ridha." ujar Ibu panjang lebar. Saya hanya mendengarkan dengan takzim. Ah, Ibu ... meski bukan terlahir dengan kondisi Islam. Namun, pemahamannya akan apa yang terlarang, seteguh mungkin dijalani. Barakallah ... semoga terjaga dalam cahaya iman kepadaNya hingga usai usia.

Berkali-kali dalam Ramadhan saya melewati tempat Bu Hilda berjualan kue, tak pernah sepi pula pembelinya. Ah, ternyata tanpa pelaris pun, dagangan bisa ludes dibanjiri pembeli. :)

[caption id="attachment_203518" align="alignright" width="531" caption="Foto : Lee Sarujja"][/caption]

Banda Aceh : Catatan Ramadhan #2

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun