Senikmat apa pun hidangan di atas meja itu, selalu yang dicarinya adalah secangkir ocha dingin, setelah santapan di ujung akhir.
Hijau bening, tawar, tanpa rasa, adalah ketika lelaki itu mulai menyeruputnya seteguk demi seteguk.
Abai dengan suasana riuh rendah di sekitarnya, ia mulai menatap Melli tanpa intensitas berarti.
Santai.
Santai? Melli tak percaya.
Laki-laki itu mengancam dengan ketukan-ketukan jari di cangkir ocha-nya.
Ocha semakin terperangkap dalam kebekuan.
Melli menanti tekanan pertama pada pemantiknya. Benar perkiraannya, pria itu mulai menyerang dengan kata-kata yang penuh percikan api.
Yang tak sepenuhnya dipahaminya, karena yang cuma dimengerti Melli hanyalah bahasa sorot matanya.
Ah, ya, pria itu meradang.
Menuduh kadar cinta Melli.
“Cintamu adalah sekedar cinta VR, hanya ada sebatas pandang mata, tanpa bukti di alam nyata,” geramnya.
VR? Virtual Reality, alat canggih yang sedang trendy itu?
Apa?
Bagaimana?
Melli meraba saku hatinya, menggapai gawai tercanggih VR (Virtual Reality headset) – dalam versi asmara.
Haruskah dikenakannya sekarang untuk memindai lorong-lorong hati pria tersebut saat ini?
Ocha dingin menipis.
Suara hati Melli meminta memelas, “Jangan pergi dulu, kekasih, ini ocha refill. Jika cangkir menjelang surut, akan kuisi kembali. Tanpa batas.”
*********
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI