Observasi peserta didik adalah proses melakukan pengamatan terhadap perilaku, tingkah laku, atau hasil belajar siswa dalam kelas atau lingkungan sekolah. Tujuan dari observasi ini adalah untuk mengetahui dan mengidentifikasi minat, bakat, gaya belajar, kemampuan awal dan kognitif peserta didik sehingga guru dapat melakukan pemetaan awal.Â
Melalui pemetaan, guru dapat menentukan media ajar, strategi mengajar, bahan ajar, dan model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik sehingga perbedaan masing-masing kebutuhan peserta didik dapat di akomodir oleh guru.
Observasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti:
- Observasi langsung: Guru atau pengamat datang ke kelas dan melakukan pengamatan terhadap siswa saat belajar.
- Observasi tidak langsung: Guru atau pengamat mengumpulkan data melalui catatan, laporan, atau rekaman video dari siswa saat belajar.
- Observasi partisipatif: Guru atau pengamat turut serta dalam proses belajar siswa untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang kondisi belajar siswa.
Observasi peserta didik harus dilakukan secara objektif dan menyimpulkan hasil berdasarkan bukti konkret dan hasil pengamatan. Hasil observasi dapat digunakan untuk menyediakan kebutuhan peserta didik yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik secara maksimal.
 Dalam melakuka observasi, ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk menentukan kajian atau aspek yang hendak di amati selama melakukan observasi, yaitu:
A. KOGNITIFÂ
Perkembangan kognitif adalah tahapan-tahapan Perubahan yang terjadi dalam rentang kehidupan manusia untuk memahami mengolah informasi, memecahkan masalah dan mengetahui sesuatu. Jean Piaget adalah salah satu tokoh yang meneliti tentang perkembangan kognitif dan mengemukakan tahapan-tahapan perkembangan koginitif.Â
Menurut teori perkembangan kognitif Jean Piaget, ada 4 tahapan perkembangan kognitif pada anak yaitu tahap sensorimotor (usia 18-24 bulan), tahap praoperasional (usia 2-7 tahun), tahap operasional konkret (usia 7-11 tahun), dan terakhir yaitu tahap operasional formal (usia 12 tahun ke atas). Anakanak pada usia sekolah menengah atas sudah memasuki tahap perkembangan kognitif yaitu tahap operasional formal. Perkembangan kognitif manusia menurut usia dibagi menjadi 4 tahapan, yaitu:Â
1. Tahap sensori (0-2 tahun)
Perkembangan kognitif tahap ini terjadi pada usia 0-2 tahun. Tahap ini pemikiran anak mulai melibatkan penglihatan, pendengaran, pergeseran dan persentuhan serta selera.Â
Artinya anak memiliki kemampuan untuk menangkap segala sesuatu melalui inderanya. Bagi Piaget masa ini sangat penting untuk pembinaan perkembangan pemikiran sebagai dasar untuk mengembangkan intelegensinya. Pemikiran anak bersifat praktis dan sesuai dengan apa yang diperbuatnya. Sehingga sangat bermanfaat bagi anak untuk belajar dengan lingkungannya.Â
Jika seorang anak telah mulai memiliki kemampuan untuk merespon perkataan verbal orang dewasa, menurut teori ini hal tersebut lebih bersifat kebiasaan, belum memasuki tahapan berfirkir.
2. Tahapan Praoperasional (2-7 tahun)
Fase perkembangan kemampuan kognitif pada tahapan praoperasional terjadi para rentang usia 2-7 tahun. Pada tahap ini, anak mulai merepresentasikan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar. Kata-kata dan gambar-gambar ini menunjukkan adanya peningkatan pemikiran simbolis dan melampaui hubungan informasi inderawi dan tindakan fisik. Cara berpikir anak pada tingkat ini bersifat tidak sistematis, tidak konsisten, dan tidak logis karena pada tahap ini anak menilai sesuatu berdasarkan apa yang dilihat atau di dengar.Â
3. Tahap operasi konkrit (7-11 tahun)
Tahap operasi konkrit terjadi pada rentang usia 7-11 tahun. Pada tahap ini akan dapat berpikir secara logis mengenai peristiwa-peristiwa yang konkrit atau nyata dan mengklasifikasikan benda-benda tersebut ke dalam bentuk yang berbeda. Pada tahap ini, kemampuan anak untuk mengklasifikasikan sesuatu sudah ada namun belum bisa memecahkan problem-problem yang abstrak.Â
Pada level opersional konkret, sebagian besar anak telah memiliki kemampuan untuk mempertahankan ingatan tentang ukuran, panjang atau jumlah benda cair. Maksud ingatan yang dipertahankan di sini adalah gagasan bahwa satu kuantitas akan tetap sama walaupun penampakan luarnya terlihat berubah.Â
Contoh percobaan Piaget dalam hal ini adalah: meminta anak untuk memahami hubungan antar kelas. Salah satu tugas itu disebut seriation, yakni operasi konkret yang melibatkan stimuli pengurutan di sepanjang dimensi kuantitatif. Untuk mengetahui apakah murid dapat mengurutkan, seorang guru bisa meletakkan 8 batang lidi dengan panjang yang berbeda-beda secara acak di atas meja. Guru kemudian meminta murid untuk mengurutkan batang lidi tersebut berdasarkan panjangnya.Â
Pemikiran operasional konkret dapat secara bersamaan memahami bahwa setiap batang harus lebih panjang ketimbang batang sebelumnya atau batang sesudahnya harus lebih pendek dari sebelumnya. Aspek lain dari penalaran tentang hubungan antar kelas adalah transtivity yaitu kemampuan untuk mengombinasikan hubungan secara logis untuk memahami kesimpulan tertentu.
4. Tahap Operasional Formal (usia 11 tahun ke atas)Â
Tahap operasi formal ada pada rentang usia 11 tahun-dewasa. Pada fase ini dikenal juga dengan masa remaja. Remaja berpikir dengan cara lebih abstrak, logis, dan lebih idealistic.Â
Pada tahap operasional formal, individu sudah mulai memikirkan pengalaman konkret dan memikirkannya secara lebih abstrak, idealis dan logis. Menurut Piaget, tahap demi tahap perkembangan kognitif merupakan perbaikan dan perkembangan dari tahap yang sebelumnya. Oleh karena itu, menurut teori tahapan Piaget, setiap individu akan mengalami perubahan kualitatif yang bersifat invariant, tetap dan tidak melompat-lompat atau mundur.
Selain itu, saat remaja memasuki tahap ini, mereka akan memperoleh kemampuan untuk berpikir secara abstrak dengan memanipulasi ide di kepalanya tanpa ketergantungan pada manipulasi konkret. Seorang remaja bisa melakukan perhitungan matematis, berpikir kreatif, menggunakan penalaran abstrak, dan membayangkan hasil dari tindakan tertentu.Â
B. SOSIAL-EMOSIONAL
Perkembangan sosial adalah kemampuan anak dalam merespon tingkah laku seseorang yang sesuai dengan norma-norma dan harapan sosial. Emosi adalah pengalaman yang efektif yang sertai oleh penyesuaian batin secara menyeluruh, dimana keadaan mental dan fisiologi sedang dalam kondisi yang meluap-luap dan diperhatikan dengan tingkah laku yang jelas dan nyata.Â
Jadi perkembangan sosial emosional adalah perkembangan yang berkaitan dengan sosial dan emosi yang menyangkut aspek kemampuan bersosialisasi dan mengendalikan emosi. Ada banyak teori terkait perkembangan sosial emosional, contohnya Brenfonbrenner dan Erikson.Â
Â
1. Bronfenbrenner Â
Teori ekologi dikembangkan oleh Urie Bronfenbrenner (1917) yang fokus utamanya adalah pada konteks sosial di mana anak tinggal dan orang-orang yang mempengaruhi perkembangan anak. Teori ekologi Bronfenbrenner terdiri dari lima sistem lingkungan yang merentang dari interaksi interpersonal sampai ke pengaruh kultur yang lebih luas. Bronfenbrenner menyebut sistem tersebut sebagai berikut:Â
- Mikrosistem adalah lingkungan dimana individu tinggal dan menghabiskan banyak waktu dengan lingkungan keluarga, teman sebaya, sekolah dan tetangga. Â Dalam mikrosistem ini, individu berinteraksi langsung dengan orang tua, guru, teman seusia dan orang lain. mikrosistem dianggap penting dalam kehidupan seorang anak karena akan berpengaruh besar dalam membentuk karakter anak-anak. Â
- Mesosistem adalah kaitan antar mikrosistem. Contohnya, hubungan antara pengalaman dalam keluarga dengan pengalaman disekolah, dan antara keluarga dan teman sebaya. Misalnya, salah satu mesosistem penting adalah hubungan antara sekolah dan keluarga. Â
- Eksosistem adalah sistem sosial yang lebih besar dimana anak tidak terlibat interaksi secara langsung, tetapi begitu berpengaruh terhadap perkembangan karakter anak. Misalnya lingkungan tempat kerja orang tua, kenalan saudara baik adik, kakak, atau saudara lainnya, dan peraturan dari pihak sekolah. Sebagai contoh, pengalaman kerja dapat mempengaruhi hubungan seorang perempuan dengan suami dan anaknya. Seorang ibu dapat menerima promosi yang menuntutnya melakukan lebih banyak perjalanan yang dapat meningkatkan konflik perkawinan dan perubahan pola interaksi orang tua anak. Â
- Makrosistem adalah kultur yang lebih luas. Kultur adalah istilah luas yang mencakup peran etnis dan faktor sosioekonomi dalam perkembangan anak. Kultur adalah konteks terluas dimana murid dan guru tinggal, termasuk nilai dan adat istiadat masyarakat. Â
- Kronosistem adalah kondisi sosiohistoris dimana anak-anak sekarang adalah yang tumbuh di lingkungan elektronik yang dipenuhi oleh komputer dan bentuk media baru.
2. Erikson Â
Erik Erikson mengembangkan teori psikososial berdasarkan hasil penelitiannya, terkait perkembangan jiwa dan sosial pada anak, serta pengaruhnya saat beranjak dewasa. Ada 8 tahapan psikososial menurut Erik Erikson, yaitu:
- Fase Bayi (0-18 bulan)Â
Pada fase ini anak mulai timbul rasa Percaya vs Curiga, dimana tahap ini berperan besar dalam menentukan apakah dia akan mudah percaya atau curiga kepada orang lain. Orang yang paling berperan penting pada fase ini adalah ibu atau orang lain yang berperan sebagai ibu.Â
- Fase Kanak-Kanak (18 bulan - 3 tahun)Â
Krisis utama yang dialami pada fase ini adalah Otonom vs Malu-malu, dimana fase ini banyak menentukan rasa percaya diri dari sang anak saat beranjak dewasa nanti. Pada fase ini, sosok yang paling berperan penting adalah kedua orangtua atau sosok yang dianggap orang tua. Aktivitas utama yang dilakukan pada fase ini adala bicara, berjalan, harapan yang menonjol, dan mulai belajar untuk menunda kesenangan.Â
- Fase Awal Anak Kecil (3-5 tahun)Â
Pada fase ini seluruh anggota di keluarga sang anak sangat berperan besar dengan pertumbuhan sang anak. Krisis emosi yang paling dirasakan pada fase ini adalah Inisiatif vs Rasa bersalah, disinilah sang anak belajar banyak mengenai apa yang boleh dan tidak boleh serta mencoba untuk mengerjakan segala sesuatu sendiri. Aktivitas atau perilaku utama yang menonjol pada fase ini adalah bertambahnya kosakata yang dikuasai dan mulai melakukan interaksi dengan kelompok sebaya.Â
- Fase Anak Kecil (5-13 tahun)Â
Pada fase ini, krisis utama yang dialami adalah rasa Percaya diri vs Rendah Diri terutama ketika berada dalam kelompok sebaya. Hal ini juga didasari oleh fakta bahwa pihak yang sangat berperan adalah sekolah dan tetangga, dimana komunitas anak tersebut sudah meluas dan tidak terbatas pada anggota keluarga lagi. Pada fase ini sang anak cenderung lebih aktif secara fisik dan lebih kompetitif sehingga mereka lebih menyukai aktifitas yang bersifat kompetitif seperti olahraga, game, dll.
- Fase Remaja (13-21 tahun)Â
Fase ini adalah fase paling banyak menghabiskan tenaga bagi orang tua karena pada saat ini krisis utama yang dihadapi adalah Identitas vs Kekacauan Peran, dimana mereka sedang berusaha mencari jati diri dan memiliki emosi yang tidak stabil. Sosok yang berperan pada fase ini adalah kelompok dan model kepemimpinan, sehingga di fase ini sang anak akan mudah terbawa emosi kelompok dan nekat melakukan aksi berbahaya atas nama kelompok. Pada fase ini juga sang anak memiliki hasrat seksual yang lebih aktif sehingga patut diberikan pengertian yang baik mengenai hubungan seksual. Selain itu, keinginan untuk mencari identitas dan menjadi sosok yang berguna membuat mereka marah jika harus tergantung pada orang lain.Â
- Fase Dewasa (21-40 tahun)Â
Setelah melewati fase remaja, kini sang anak telah menjadi dewasa dan memiliki emosi yang lebih stabil. Namun, pada fase ini tetaplah ada krisis yang dialami yaitu Keintiman vs Isolasi dimana pada fase ini orang tersebut sedang berusaha mencari pasangan atau justru menjauhkan dirinya dari berbagai macam hubungan, semuanya tergantung dari berbagai pengalaman yang dialaminya. Oleh karena itu, sosok yang sangat berperan pada fase ini adalah pasangan lawan jenis dimana stres utama yang dialami pada fase ini biasanya berhubungan dengan lawan jenisnya seperti takut jika bercerai/putus. Tidak hanya mencari pasangan, di fase ini orang tersebut juga sibuk membangun karir dan mencapai tujuan hidup.Â
- Fase Paruh Baya (40-60 tahun)Â
Setelah mengalami berbagai macam hal dan masalah, di fase ini seseorang memiliki krisis utama Peduli dan Pemandu Keturunan vs Stagnansi dimana orang tersebut cenderung suka berbagi pengalaman dan ilmu, serta ingin meninggalkan suatu warisan. Namun demikian adanya kemungkinan seseorang justru merasa tidak berguna karena pernah mengalami kegagalan besar di hidupnya. Pada fase ini keluarga kembali memiliki peran yang penting dalam hidupnya, selain itu institusi atau pekerjaan tempat dia bernaung juga berperan besar. Hal utama yang dilakukan pada fase ini umumnya adalah sibuk membuat ide untuk generasi masa depan dan mencapai tujuan hidupnya. Sedangkan, hal yang dapat membuatnya sangat stres adalah adanya interupsi pada pekerjaannya dan perpisahan keluarga.Â
- Fase Lansia (>60 tahun)Â
Akhirnya tibalah kita pada fase akhir kehidupan manusia yaitu fase lansia dimana krisis utama yang dialami pada fase ini adalah Integritas vs Putus Asa. Rasa integritas cenderung muncul karena adanya rasa tanggung jawab yang besar akan peran yang didapatnya selama masa muda sedangkan seringkali rasa putus asa ini muncul karena perasaan kecewa atas ketidak berhasilan yang pernah dialaminya. Pada fase ini, sosok yang berpengaruh adalah siapapun yang dapat membuat dirinya merasa berguna. Oleh karena itu, untuk kamu yang memiliki lansia di rumahnya usahakanlah untuk selalu mengucapkan "terima kasih" untuk segala bantuan yang diberikannya meski sekecil apapun. Karena ucapan terima kasih tersebut membuat seseorang merasa dirinya berguna. Pada fase lansia ini, aktivitas utama yang paling disenanginya adalah berbagi pengalaman sehingga mereka akan sangat senang jika ada teman bicara. Sedangkan hal yang paling membuatnya stres adalah perasaan tidak berguna lagi oleh orang-orang di sekelilingnya.
Berdasarkan penjelasan teori sosial-emosional dari Brenfonbrenner dan Erikson terutama dari teori perkembangan Erikson, dapat disimpulkan bahwa karakteristik sosial-emosional anak sekolah menengah (remaja) yaitu sebagai berikut:Â
- Mulai memperhatikan penampilanÂ
- Fokus dengan diri sendiri dan lebih senang menyendiriÂ
- Reaksi dan ekspresi emosi masih labilÂ
- Suasana hati yang berubah-ubah yang dipengaruhi oleh fluktuasi hormon masa pubertasÂ
- Mulai mencari jati dirinya, apa makna dirinya, dan kemana mereka akan menujuÂ
- Memiliki peran baru dan status dewasaÂ
- Menjadi bagian dari sebuah komunitasÂ
- Mengubah perilakunya agar sama dengan kelompoknya atau lingkungan sosialnyaÂ
- Belajar untuk bertingkah laku dengan cara yang dapat diterima masyarakatÂ
berdasarkan teori-teori di atas, guru dapat mengintegrasikan teori tersebut dengan aspek obeservasi yang nantinya akan diamati, seperti: mengidentifikasi minat, bakat, gaya belajar, kemampuan awal dan kognitif peserta didik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H