Mohon tunggu...
Melki Djafar
Melki Djafar Mohon Tunggu... -

I'm a Public Health Practitioner, big dreamer and hard worker that wanna be the one who always spreads kindness to others. Do good, Think good and The World will be good to us

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kesehatan Masyarakat di Indonesia

30 September 2015   12:14 Diperbarui: 6 Oktober 2015   09:55 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu yang menjadi tolak ukur berkembang atau majunya suatu negara adalah keadaan kesehatan penduduknya. Seperti yang tercatum dalam Human Development Index  (Indeks Pembangunan Manusia) bahwa terdapat 3 indikator yang menjadi acuan untuk menilai perkembangan suatu negara yaitu Ekonomi, Pendidikan, dan Kesehatan. Menurut laporan United Nation Development Programme (UNDP), Indonesia memang mengalami peningkatan dari urutan 121 pada 2012 menjadi urutan 108 di 2014, yang kemudian membuat kita masuk kategori negara Medium Human Development. Namun, tengoklah Singapura dan Malaysia, yang umurnya jauh lebih 'muda'.

Peringkat HDI Singapura dan Malaysia jauh di atas kita. Masing-masing "tetangga" kita itu ada peringkat 9 dan 62, dan masuk kategori Very High Human Development dan High Human Development. Sementara itu, Vietnam, si "anak kemarin sore", secara perlahan tapi pasti sudah mengintai di posisi 121. Artinya Indonesia dalam tahap perkembangan yang belum maksimal dibanding 2 negara tetangga Singapura dan Malaysia. Pemerintah Indonesia dan seluruh lapisan masyarakat harus lebih giat lagi untuk mencapai semua target pembangunan melalui usaha dan kerja sama yang baik. 

Sebagai praktisi kesehatan saya lebih fokus pada perkembangan kesehatan di negeri kita yang menurut saya pribadi masih bersifat statis, masih teramalginalkan, tidak pernah menjadi sentral pembicaraan mewarnai issu pembangunan. Berbeda halnya dengan pembangunan ekonomi lainnya , misalnya dengan membangun pasar, jalan raya yang dalam jangka pendek bisa kelihatan dampaknya. Dan menjadi lupa bahwa sebetulnya pun demikian, bahwa sektor kesehatan adalah sektor yang produktif, kesehatan adalah investasi.

Dalam Public Health Perpective, gerakan pembangunan yang sebenarnya adalah program pembangunan kesehatan yang menempatkan orang sehat sebagai tujuan pembangunan. Yakni mendorong terus lahirnya kota-kota sehat di Indonesia yang tergambarkan dengan menurunnya Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan angka kesakitan, perbaikan gizi anak balita, kota yang dapat meningkatkan status gizi masyarakat, kota yang dapat memperbaiki keadaan lingkungan dan perilaku hidup masyarakat, memfasilitasi program-program yang berorientasi pada kelompok manula yang juga terus meningkat terutama di kota-kota besar, serta sebuah kota yang dapat meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan, sumber daya dan manajemen kesehatan.

Selama beberapa kali pergantian penyusun kebijakan dalam hal ini presiden dan seluruh jajarannya terutama kementerian kesehatan, paradigma pembangunan kesehatan yang menempatkan orang sakit menjadi sasaran pembangunan masih terus berlanjut. Dalam artian program pembangunan kesehatan masih bergerak dari hilir ke hulu, bukan sebaliknya. Sehingga terkesan menunggu terjadinya penyakit dulu baru dilakukan tindakan. Kini saatnya paradigma yang harus diubah, bukan bagaimana orang sakit dirawat, melainkan bagaimana orang menjadi tidak sakit. karena negara yang kuat adalah negara yang banyak orang sehatnya bukan negara yang banyak orang sakitnya.

Selama ini pola penggunaan anggaran APBN untuk sektor kesehatan lebih fokus pada upaya kuratif melalui jaminan kesehatan, obat-obatan, pengadaan alat medis hingga pembayaran jasa medik tanpa diiringi dengan alokasi anggaran untuk upaya preventif. Namun untuk periode ini sangat istimewa, pertama kalinya dalam sejarah anggaran sektor kesehatan sesuai dengan amanat Undang-undang yaitu 5% dari anggaran APBN atau sebesar Rp 106,1 triliun, naik signifikan sebesar 43% dibanding yang sebelumnya hanya Rp 74,3 triliun. Dalam nota keuangan tahun 2016 tercatat anggaran sebesar 5% dari RAPBN 2016 dialokasikan untuk mendukung peningkatan kualitas pelayanan kesehatan yang baik dan merata di pusat dan daerah. Selain pembangunan sarana dan prasarana kesehatan, anggaran tersebut juga untuk memperluas cakupan penerima bantuan iuran nasional (PBI) jaminan kesehatan nasional menjadi sebanyak 92,4 juta jiwa.

Menteri Kesehatan Ibu Nila Djuwitak F Moeloek mengatakan bahwa dengan anggaran sebesar itu Kemenkes akan mengubah fokus pemanfaatan anggaran di 2016, yakni penggunaan anggaran akan lebih diutamakan pada upaya-upaya pencegahan penyakit. Upaya ini dilakukan agar lebih banyak orang sehat dan klaim kesehatan bisa menurun. Dan untuk memuluskan upaya tersebut, salah satu caranya adalah dengan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) terutama tenaga penyuluhan kesehatan.

Program promotif dan preventif identik dengan upaya mengubah kebiasaan buruk masyarakat yang berhubungan dengan timbulnya gangguan kesehatan. Untuk mewujudkan hal ini tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kita butuh proses dan pengorganisasian yang baik. Saya sendiri berfikir alangkah baiknya jika pemerintah setiap daerah mengupayakan pendistribusian tenaga penyuluh yang merata terutama di daerah pedesaan. Paling tidak 1 desa memiliki 1 tenaga penyuluh yang aktif dalam melakukan upaya promotif dan preventif dan tentunya dibawah pengawasan pemerintah setempat. Karena menurut pengamatan saya, upaya pencegahan penyakit disetiap daerah berbeda-beda. Ketika satu daerah aktif mengadakan screening faktor risiko penyakit tidak menular, pengorganisasian kelompok manula serta pendidikan kesehatan, daerah lain jarang bahkan tidak pernah mengadakan program ini. Jelas bahwa program kesehatan bergantung pada kebijakan pemerintah daerah masing-masing.

Ketika petugas Puskesmas turun lapangan, yang menjadi inti dari kegiatan tersebut adalah Posyandu. Masih sangat jarang petugas yang melakukan survey lapangan terkait hal-hal yang menimbukan gangguan kesehatan. Bisa dikatakan 95% dari kegiatan yang dilakukan oleh petugas kesehatan terutama di daerah pedesaan masih bersifat kuratif yakni hanya sebatas pelayanan medis. Karena petugas hanya melayani masyarakat jika terjadi masalah kesehatan. Dengan demikian masyarakat tidak memperoleh informasi terkait hal-hal yang dapat menyebabkan kesakitan terutama untuk penyakit-penyakit akut dan menular. Dengan pemberian pendidikan kesehatan baik di sekolah maupun kelompok masyarakat akan memberikan efek positif untuk mereka dari sebelumnya tidak tahu menjadi tahu dan tidak menutup kemungkinan akan mengurangi risiko terjadinya gangguan kesehatan.

Dengan adanya peningkatan anggaran sektor kesehatan, saya berharap agar pemerintah pusat dan daerah dapat mengelola dana tersebut dengan sebaik mungkin. Masalahnya bukan berapa jumlah yang diberikan, terkadang di perifer dan pedalaman dana ini tidak pernah sampai. Pemerintah setempat lebih fokus pada program-program pengobatan dan pembelian peralatan medis yang terkadang tidak terpakai dan akhirnya menjadi bangkai.

MENCEGAH LEBIH BAIK DARI PADA MENGOBATI

Salam Sehat !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun