Mohon tunggu...
Meliya Indri
Meliya Indri Mohon Tunggu... Guru - Innallaha ma'ana

Semoga kita bisa berteman..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Kalah untuk Menang

12 April 2015   07:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:14 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada akhirnya manusia akan kalah oleh apa yang Tuhan kehendaki. Sebesar dan sekuat apapun doa dan usaha, tetap ridho Tuhan yang menentukan semuanya.

Sore yang cerah. Di bawah pohon buah asam, Ken biasa melihat pemandangan sawah yang hijau. Inginnya, luasnya lahan dan udara bebas akan membantunya membebaskan pikirannya juga. Tepat di belakang rumah ia mengamatinya: sebuah sketsa yang ia simpan bertahun-tahun.

Lebih dari dua puluh bulan dia berhubungan pena dengan seseorang perempuan. Saling mengirim kabar lewat surat manual. Mereka berjalan melambat di dunia yang serba cepat ini. Tapi mereka apalagi dia tetap menikmatinya. Saling menunggu balasan, itulah asyiknya. Hingga suatu ketika teman penanya tak lagi membalas suratnya. Setelah mereka bertemu di dunia nyata untuk yang pertama kalinya. Ken mau saja di undang di hotel tempat teman penanya menginap. Dan setelah itu, tak ada kabar lagi.

“Aku hanya ingin berdamai dengan diriku sendiri.”

“Maksudnya?”

“Tak semestinya aku membiarkan diriku dicekik rindu.”

“Kamu tahu jawabannya? Ikhlaskan dia. Kamu sudah terlalu banyak melakukan hal bodoh. Masih banyak hal lain yang harus kamu pikirkan. Tak melulu tentang dia.”

“Apa aku begitu bodoh?”

“Tidak. Kau tak sebodoh itu.”

“Iya aku bodoh, bodoh memanjakan pikiran untuk orang yang hanya menginginkan tubuhku saja.”

“Setiap hubungan butuh keseimbangan Ken, sudahlah, jangan terlalu memikirkan orang itu, bebaskan dia dari pikiranmu. Hapus, blokir jauhkan pikiranmu dari apapun yang bisa mengingatkanmu padanya.Tidak benar-benar kalah, justru kalau kau terus menyimpannya kau akan terus larut dalam pikiranmu sendiri.”

Ken segera beranjak. Ia meninggalkan sketsa itu dibawah pohon. Dibiarkannya saja. Besok pagi, entah apa yang terjadi. Semoga saja hujan. Semoga, sehingga kertas sketsa itu hilang ke dalam selokan.

*

Ilustrasi Karya Mbak Soli...

Ini fiksi yg kutulis setelah lamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa nggak nulis FF di grup. Pemanasan....heheee.. Selamat hari minggu... berburu koran minggu dulu ya... sampai jumpa kompasianer... :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun