[caption id="attachment_309717" align="alignnone" width="574" caption="dokumen pribadi"][/caption]
Yang punya persepsi lain tentang maksud ini mungkin akan beranggapan saya gila karena mengajak alam berbicara. Bukan itu maksud saya. Cara saya mengajak alam bercengkrama adalah mengamati kemudian mencoba memahami pesan apa yang hendak Tuhan maksudkan melalui alam yang Ia ciptakan dan fenomena yang Ia kehendaki terjadi.
Sudah lebih dari satu minggu daerah pantura (Pati - Kudus) digenangi banjir. Air sudah mulai surut, tapi tentu saja masih meninggalkan beberapa masalah. Sudah lebih dari seminggu anak-anak yang sekolahnya libur kembali ke sekolah. Kegiatan belajar-mengajar yang sempat terhambat akan dimulai seperti biasa. Tugas guru bertambah, bagaimana caranya mengejar ketertinggalan pelajaran anak. Sementara di ladang, lahan pertanian rusak tergenang air, entah bagaimana cara petani mengembalikan modal untuk sawahnya yang dilanda musim yang kurang ramah, sementara tambak-tambak ikan juga dipenuhi air, ikan banyak yang keluar dari tambak dan petani tambak merugi.
Menghadapi Hujan di Tambak Garam
Dua minggu yang lalu setelah sepekan sebelumnya berkesempatan jalan-jalan ke hutan mangrove, saya kembali lagi ke sana karena terpikat gelantungan batangnya. Saat itu mendung, sebenarnya agak ragu tapi karena ingin ke sana dan mumpung ada kesempatan lagi saya tetap melanjutkan perjalanan walaupun cuaca tak menentu. Saya ingin mengambil gambar dan siapa tahu bertemu dengan salah satu warga dan bisa berbincang mengenai banyak hal tentang mangrove di desa itu.
[caption id="attachment_309734" align="alignnone" width="574" caption="dokumen pribadi"]
Jalan menuju ujung hutan mangrove adalah jalan setapak yang tak bisa dilewati sepeda motor. Kalau saya teruskan perjalanan, itu berarti saya harus meninggalkan sepeda motor, dan keamanan motor tidak ada yang menjamin. Dan karena terlihat seperti mau turun hujan, teman saya mengajak pulang padahal baru sampai tengah jalan. Saya agak kecewa karena belum apa-apa sudah berniat kembali pulang, tapi ketika perjalanan pulang tiba-tiba panas lagi, dan akhirnya kami kembali lagi mencari tempat yang dekat dengan rumah warga kemudian menitipkan sepeda motor di sana.
Saat berjalan menelusuri galengan, kami mulai mengambil gambar. Sambil sekali-sekali melihat ke tambak siapa tahu ada ikan di sana. Ketika asik mengambil gambar, tiba-tiba gerimis. Baru gerimis sedikit saja kami sudah takut basah. Dan ragu-ragu lagi balik pulang apa melanjutkan perjalanan? Sayang kalau balik pulang, karena perjalanan tinggal sedikit lagi. Akhirnya kami berteduh di salah satu gubug pemilik lahan. Dan betapa takutnya kami karena hujan di tengah tambak tiba-tiba berubah deras, menakutkan karena anginnya kencang. Suara gesekan atap seng membuat saya bertambah parno. Bagaimana kalau nanti gubuknya rubuh? Dan bagaimana kalau ada petir? Menakutkan sekali kalau hujan di tengah tambak seperti itu. dan bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan tiang listriknya? Semakin jelek saja pikiran saya waktu itu dan akhirnya saya memaksa kembali ke rumah warga dengan hujan-hujanan. Maksud awal sampai di hutan mangrove gagal lagi.
Jelek sekali pikiran saya waktu itu, merasa bahwa kami seperti dipermainkan cuaca. Baru saja duduk sebentar, sinar matahari muncul lagi. Dan sebentar kemudian gerimis lagi. Lalu panas lagi dan gerimis dengan tetap ada sinar matahari. Sinar matahari benar-benar tak menentu kemunculannya.
Barangkali seperti itulah hidup. Ketika manusia punya tujuan sampai suatu tempat, di tengah jalan Tuhan kadangkala memberi rintangan yang menguji kekuatan manusia dalam berusaha dan berdoa. Dan saat itu manusia mulai mengukur segala spekulasi dan resiko yang akan dihadapi. Sepanjang perjalanan ada saja yang membuat ragu dan menyurutkan niat awal. Keragu-raguan selalu muncul bagi orang yang tak punya keyakinan dan keinginan kuat tentang suatu hal yang positif. Itu baru hujan, belum badai dan petir sungguhan yang datang, tapi sudah berpikir jelek dan balik kanan. Sampai rumah ada penyesalan, kalau saja mau menunggu sebentar pasti bisa menjamah mangrove lagi.
Saya rasa alam punya cara sendiri menyampaikan maksud Tuhan. Tak ada ruginya kalau mau bercengkrama dengan alam, karena ia selalu membawa pesan dari Tuhan. Bergantung manusia bagaimana memaknainya. Acuh karena menganggapnya hanya sebagai fenomena biasa apa berbaik-baik kepada Alam yang keadaannya sudah cukup sakit karena ulah tangan-tangan yang tak ramah kepadanya. Sesuatu yang terjadi tentu bukan tanpa alasan. Apalagi bencana yang seperti musim di negeri ini, rutin dan hampir tidak pernah absen setiap tahun. Setelah itu masihkah tidak ramah dengan lingkungan padahal keselarasan hidup tidak hanya menjaga keharmonisan dengan Tuhan dan sesama manusia saja? Padahal lingkungan dan alam pun sama, juga butuh perlakuan baik dari manusia.
***
Tulisan terkait Rembang:
Bersyukur dan Berbagi melalui Tradisi Ngalungi dan Baratan
Sedekah Bumi/ Sedekah laut: Thanksgiving-nya Orang Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H