Mohon tunggu...
Meliya Indri
Meliya Indri Mohon Tunggu... Guru - Innallaha ma'ana

Semoga kita bisa berteman..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Di Sekolah, Belajar ataukah Bermain?

20 Februari 2015   18:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:49 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_369799" align="alignnone" width="630" caption="dok. Meliya Indri"][/caption]

"Di sekolah itu belajar, nggak main…." celoteh salah satu siswa saya kepada temannya. Ups.... Saya hanya senyam-senyum, karena belum punya kesempatan meluruskan obrolan mereka, saya berlalu saja. Heheee….

Ayah Bunda... Ketika mengantar anak-anak (Usia Dini) ke sekolah niat utamanya pasti belajar bukan? Dan ketika berbicara kepada anak-anak saat mengajak mereka ke sekolah tentu juga menegaskan untuk belajar, bukan bermain. Memaksa mereka untuk belajar, padahal anak-anak punya hak untuk bermain, sudah manusiawikah kita?

Sampai sejauh ini, asumsi mengenai belajar selalu identik dengan buku, duduk manis, dan konsentrasi. Padahal, belajar dalam arti luas bisa dilakukan dengan banyak cara dan berbagai macam sumber. Berlangsungnya pun seumur hidup. Sampai hayat, manusia sedang berproses belajar. Dan tentu saja dari hari ke hari yang dipelajari berbeda. Untuk keberlangsungan hidup yang lebih baik, setiap orang belajar melalui lingkungan berdasarkan apa yang dilihat (dibaca), didengar, dan juga dialami.

Anak-anak mempunyai hak untuk bermain. Melalui kegiatan bermain, anak-anak belajar. Anak-anak belajar berbagai macam hal, dari apa yang dilihat, didengar, dan dialami. Rentang usia 1 sampai 6 tahun merupakan masa golden age anak. Kondisi otaknya sedang bagus-bagusnya menyerap informasi. Melalui pengalaman, anak-anak memahami konsep. Belajar bukan proses yang pasif tetapi menuntut peran aktif. Melalui kegiatan bermain anak-anak belajar banyak hal.

Lebih jelasnya, saya merangkum tiga teori bagaimana anak belajar. Antara teori eksperiential learning, konstrustifisme, dan multiple intellegense saling berkaitan. Menurut John Dewey dalam teori eksperiential learning anak-anak selalu ingin mengekspoitasi lingkungan dan selalu memperoleh manfaat dari lingkungan itu. Tahap pertama untuk anak-anak prasekolah aktif dengan organ sensorik dan perkembangan koordinasi fisiknya. Tahap kedua mereka terlibat dengan  alat-alat yang ditemukan di lingkungan. Bisa diperkaya dengan materi yang membuat mereka tertarik dan mendorong mereka untuk mencobanya lagi dan berkreasi. Tahap ketiga, mereka menemukan ide dan menggunakan ide itu. Eksperiential learning menunjukkan bahwa melalui pengalaman, anak memperoleh pengetahuan. Belajar adalah serangkaian kegiatan yang mereka lakukan.

Menurut teori konstrustifisme bermain merupakan media yang baik untuk belajar. Konsep konstrustifisme menekankan keterlibatan anak dalam belajar. Ketika belajar menghitung misalnya, tidak melulu harus duduk di bangku memegang pensil dan buku tetapi dengan melibatkan mereka langsung. Mengajak mereka bermain mencari sejumlah karet gelang yang telah disembunyikan di beberapa titik akan semakin membuat anak antusias. Anak-anak akan lebih senang dan tertarik bermain mencari sejumlah karet dari pada duduk manis menghadapi kertas dan angka-angka.

Pembelajaran anak-anak usia dini ditekankan pada pengalamannya dengan kehidupan dalam keluarga dan tampak nyata, eksplorasi dan manipulasi obyek kongkret, serta belajar keterampilan dasar yang diperoleh melalui permainan yang menyenangkan. Berhitung dan membaca huruf lebih menarik dan bermakna di otak mereka, jika dilakukan dengan melibatkan fisik motorik.

Lebih terperinci lagi adalah belajar menurut teori multiple intelligence. Proses belajar anak dapat melalui berbagai macam cara, bisa melalui kata-kata, angka-angka, melalui gambar dan warna, melalui nada-nada suara, melalui interaksi dengan orang lain, melalui diri sendiri, melalui alam, dan mungkin melalui perenungan tentang hakikat sesuatu. Semua bisa dikombinasikan satu sama lain melalui permainan. Anak-anak juga akan semakin tertarik dengan permainan yang dikombinasikan dengan lagu dan musik. Semua itu karena anak memiliki kecerdasan yang majemuk. Tidak adil jika menyebut seorang anak adalah anak yang cerdas, jika hanya dengan mengamati kemampuan kognitifnya saja, sementara mereka punya beberapa macam kecerdasan. Proses belajar akan semakin mengena jika dirancang dengan memancing berbagai kecerdasan, lebih bermakna lagi, jika disesuaikan dengan kecenderungan kecerdasan mereka.

Ada banyak cara untuk menjadikan anak-anak cerdas karena kemampuan anak beraneka ragam. Setiap anak memiliki keunikan. Mereka punya kecerdasan yang berbeda-beda. Dalam teori multiple intelligences oleh howard gardner, ada kecerdasan linguistic/ verbal, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, logika/ matematika, kecerdasan visual/ spasial, kecerdasan musical, dan kecerdasan naturalis. Jika telah terlihat kemampuan mereka, dari sini bisa dikembangkan cara untuk memunculkan potensi-potensi emas sesuai minat.

Dengan memahami ragam kecerdasan anak, guru ataupun orang tua dapat merancang permainan yang menyenangkan sesuai dengan kecenderungan kemampuan, potensi, serta minat mereka untuk belajar. Setiap pengalaman aktivitas mereka, akan bermakna dan dapat mengembangkan potensi jika dilakukan dengan suasana menyenangkan. Bagi anak, bermain adalah aktivitas yang menyenangkan. Melalui permainan guru dapat memasukkan materi-materi pembelajaran. Dengan demikian, bermain dan belajar di sini merupakan kesatuan aktivitas. Baik bermain sambil belajar atau belajar sambil bermain, keduanya dilakukan dalam rangka mendukung perkembangan moral, motorik, bahasa, kognitif, emosi dan sosial anak-anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun