Â
*Artikel ini ditulis oleh Melissa Ries, General Manager Asia Pasifik dan Jepang, TIBCO Software
Wilayah Asia Tenggara semakin hari semakin berkembang. Dalam hal pertumbuhan ekonomi, kesepuluh negara yang membentuk blok perdagangan ASEAN kini setara dengan ekonomi terbesar kesembilan di dunia. Dari 2010 hingga 2020, pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) ASEAN diproyeksikan mencapai 5 persen; Vietnam ditargetkan untuk mengalami pertumbuhan rata-rata 6,8 persen dalam dekade ini, dan Indonesia mencapai 5,5 persen.Â
Kondisi ekonomi yang berkembang di kawasan ini juga terlihat dalam kemajuan yang stabil dalam tingkat pendapatan, terciptanya konsumen muda yang tinggal di perkotaan, bertambahnya kelas menengah yang berpikiran kritis dalam jumlah masif dan tumbuh cepat yang haus akan pengalaman ritel digital yang ditawarkan melalui teknologi.Â
Berkembangnya masyarakat yang paham digital
Pada tahun 2020, mayoritas (60%) dari milenial dunia (18-29) akan berada di Asia. Menjadi masyarakat digital, generasi milenial tentu bergantung kepada perangkat mobile untuk memenuhi semua kebutuhan mereka - melakukan pembelian, melakukan penelitian, memanggil taksi, atau bahkan memesan tiket penerbangan.Â
Berkembangnya sektor e-commerce
Dengan pertumbuhan ekonomi yang melonjak, akses internet menjadi lebih terjangkau. Peningkatan bertahap dalam rasio harga terhadap kinerja perangkat seluler - ditambah dengan peningkatan daya tahan baterai - telah membantu konsumen memintas hambatan infrastruktur, terutama di pasar yang kurang berkembang.Â
Dengan perangkat seluler yang mampu membuka sebagian besar akses internet, ponsel tentu merevolusi perilaku konsumen ritel, seperti memungkinkan pembeli untuk meneliti barang saat berada di toko. Alat-alat seperti kode QR, kupon online, dan bahkan dengan penambahan augmented-reality dapat membantu toko ritel memanfaatkan tren ini.Â
Ditambah lagi masyarakat yang paham teknologi di Kawasan Asia Tenggara yang semakin melejit berbarengan dengan pesatnya penggunaan e-commerce, dengan penelitian yang baru-baru ini dilakukan oleh Google dan perusahaan investasi Temasek Holdings, diperkirakan bahwa penjualan e-commerce di Asia Tenggara akan tumbuh sebesar 32% 10-year CAGR (tingkat pertumbuhan tahunan gabungan) dari $ 5,5 miliar pada 2015 menjadi $ 88 miliar pada tahun 2025, di mana mereka akan meningkatkan 6% dari total penjualan ritel.Â
Pertumbuhan dan evolusi e-commerce di IndonesiaÂ
Sektor e-commerce Indonesia merupakan salah satu yang paling menjanjikan di Asia mengingat populasinya yang besar, pertumbuhan kelas menengah dengan daya beli yang semakin tinggi, dan kebiasaan belanja yang semakin modern.Â
Dengan populasi lebih dari 250 juta jiwa dibarengi dengan majunya penggunaan internet, Indonesia yang berbasiskan Negara kepulauan ini dapat menawarkan pasar yang berkembang pesat untuk belanja online yang diperkirakan akan mencapai $ 130 miliar pada tahun 2020.Â
Perspektif e-commerce Indonesia mengalami investasi sedikitnya $ 2,5 miliar selama tiga tahun terakhir, membuka jalan bagi bisnis untuk mendaftarkan dan menjual produk mereka secara daring. Pada 2015 saja, terdapat 18 juta pembeli online di Indonesia; Google dan Temasek memprediksi angka ini tumbuh menjadi 119 juta pada tahun 2025.
Setidaknya ada empat faktor utama yang berkontribusi terhadap pertumbuhan cepat e-commerce di Indonesia:Â
- Peningkatan penetrasi telepon pintar;Â
- Kelas menengah yang berkembang dengan pendapatan yang lebih besar;Â
- Investasi asing dalam platform e-commerce oleh perusahaan-perusahaan terkemuka dari Tiongkok dan Barat, khususnya melalui joint ventures atau hubungan mitra yang signifikan, misalnya Lazada-Alibaba, Go-Jek-Tencent-KKR, dan Tokopedia-Alibaba; danÂ
- Derasnya evolusi infrastruktur pembayaran yang memungkinkan konsumen tanpa rekening bank untuk melakukan pembelian online.
Selain yang disebutkan di atas, media sosial seperti Facebook dan Instagram juga menjadi pemicu ledakan e-commerce di Indonesia.Â
Saat ini, masyarakat di Asia Tenggara mengandalkan cara digital untuk membeli produk dan layanan, hal ini membantu ekonomi internet di kawasan tersebut berkembang menjadi lebih dari $ 50 miliar. Lebih dari 60% orang di wilayah ini melakukan riset online sebelum membeli di dalam toko, sementara 27% meneliti di dalam toko sebelum membeli secara online.
Sampai baru-baru ini, distributor terkemuka di bidang fesyen, peralatan rumah tangga, perangkat keras, dan bahan makanan ragu-ragu untuk bekerja sama dengan situs e-commerce karena adanya persepsi yang mengatakan hal tersebut akan merusak penjualan tradisional mereka. Namun, persepsi ini perlahan-lahan berubah dan hampir semua pemain besar telah mendaftar atau berkolaborasi dengan situs lokal.Â
Perilaku konsumen yang berubah -- Mencari tahu apa yang diinginkan konsumenÂ
Di sinilah letak faktor kunci yang mempengaruhi sektor ritel dewasa ini: pengalaman berbelanja. Masyarakat biasanya melakukan beberapa perjalanan ke toko untuk menemukan opsi terbaik sebelum membeli barang mahal. Pada setiap perjalanan, mereka cenderung melakukan banyak pembelian kecil lainnya ketika mereka berkeliling.Â
Saat ini konsumen melakukan semua persiapan mereka secara daring - membaca ulasan, mengeksplorasi alternatif di media sosial, menemukan diskon terbaik - yang berarti lebih sedikit berjalan melalui pusat perbelanjaan dan mengurangi pembelian insidental di toko-toko sekitarnya. Perubahan perilaku ini berarti analisis prediktif harus berubah. Kumpulan data penelitian digital serta toko harus terhubung untuk menghasilkan wawasan nyata yang diperlukan untuk memahami bagaimana konsumen meneliti dan merespons berbagai penawaran.Â
Seiring dengan perubahan perjalanan pelanggan, toko ritel mengalihkan fokus mereka di mana pelanggan merasa sedang berada di pusat pengalaman belanja yang tidak ada habisnya. Proses ini melihat pergerakan pelanggan melalui organisasi data yang dikumpulkan di setiap titik sentuh (baik itu toko, aplikasi, situs web, pusat kontak, email, dll.) dalam volume yang sangat besar.Â
Untuk meningkatkan pengalaman holistik, toko ritel terkemuka menciptakan lebih banyak tampilan data pelanggan secara tunggal yang lebih penuh dan lebih kaya yang dapat menangkap dan memproses semua data tersebut secara real-time. Data ini digunakan tidak hanya untuk pemahaman saja, tetapi juga untuk menampilkan berbagai bentuk promosi, aktivitas pemasaran, dan notifikasi untuk memberikan pengalaman yang lebih personal, intim di dalam toko.Â
Salah satu toko ritel yang baru-baru ini berkomitmen untuk memberikan pengalaman pelanggan yang digerakkan oleh data dan terpersonalisasi adalah Macy's, perusahaan ritel dari Amerika. Untuk menarik dan mempertahankan pelanggan, Macy's memanfaatkan berbagai aplikasi, dompet ponsel, dan kode promosi online yang memudahkan pembeli untuk meneliti, membandingkan, dan membeli barang-barang mereka. Untuk menjadi selangkah di depan, Macy's mengintegrasikan aplikasi mereka dengan jejaring sosial, yang memungkinkan mereka untuk melayani pelanggan lebih cepat, memberikan rekomendasi, dan meluncurkan fitur baru seperti pencarian gambar - di mana pelanggan dapat mengambil gambar dari sesuatu yang mereka cari, kemudian menemukan produk itu di Macy's.Â
Apakah artinya era toko fisik sudah selesai?Â
Jika menyangkut pengalaman yang mendorong pergeseran dalam preferensi pembelanja, toko fisik akan selalu dibutuhkan. Namun, untuk maju dari gelombang digital, toko ritel tradisional harus menggunakan teknologi dan inovasi digital agar dapat menciptakan produk dan layanan baru, memahami lebih banyak tentang pengalaman pelanggan, dan membangun kembali bisnis mereka.Â
Untuk benar-benar bersaing dengan mereka yang hanya bermain secara online, seperti Amazon, Alibaba, dan Lazada, toko ritel fisik harus berpikir lebih jauh dalam menghadirkan bentuk daring dan fisik. Mereka harus dapat menyediakan toko interaktif yang mengintegrasikan sifat-sifat dari keduanya, menggabungkan fisik dan digital untuk menawarkan pengalaman berbelanja yang sama sekali baru.Â
Frost & Sullivan memandang model ritel yang berubah ini - berkembang dari satu saluran interaksi (di dalam toko atau daring), ke omni-channel (berinteraksi di berbagai saluran) - sangat penting dalam beradaptasi dengan lanskap konsumen yang terus berubah. Toko interaktif yang sukses harus menunjukkan bahwa ia memahami pelanggan melalui beberapa titik sentuh: jejak daring, program loyalitas, metode pembayaran pilihan, dan banyak lagi. Hal ini harus meniru pengalaman "online" di toko: info produk langsung, opsi ukuran, rekomendasi serupa, pengecekan stok, dan pengiriman langsung ke depan pintu konsumen.Â
Hampir tidak mungkin bagi perusahaan ritel mana pun untuk bertahan atau tumbuh dewasa ini tanpa memiliki kehadiran digital atau pemasaran digital dalam strategi bisnis mereka. Keberhasilan Amazon di dunia e-commerce berasal dari pemahaman tentang cara orang berbelanja, dan adanya gesekan di mana kegiatan berbelanja menjadi sulit. Untuk bersaing secara efektif dan tetap relevan saat ini, toko ritel fisik harus memiliki kemauan total untuk bereksperimen dan berkomitmen pada strategi omni-channel, serta terlibat dengan konsumen untuk melihat apa yang berhasil dalam kelancaran perjalanan pengalaman berbelanja konsumen itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H