Mohon tunggu...
Melisa Angelina
Melisa Angelina Mohon Tunggu... Lainnya - Cubing never stops, neither does writing

Cuber. Writer. Dominan otak kiri.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Lulus Sarjana, Setelah Itu Harus ke Mana?

25 Februari 2021   12:29 Diperbarui: 25 Februari 2021   12:31 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini kerap mendapatkan cerita dari teman-teman terkait pekerjaan yang sedang mereka geluti. Lebih banyak keluhannya dari pada kesenangannya kalau saya bilang. Ada yang ribut masalah gaji dipotong sejak pandemi, ada yang jam kerjanya menjadi dua puluh empat jam kali tujuh hari gara-gara penerapan Work From Home, ada yang kontraknya habis lalu tidak diperpanjang, dan tak ketinggalan ada yang masih menganggur. Hehehe ... jadi ingat masa-masa kelabu berburu pekerjaan.

Tak terasa, sudah satu setengah tahun waktu bergulir sejak sidang skripsi tahun 2019. Ingat betul bagaimana dulu ingin cepat lulus, cepat kerja, cepat beli ini-itu, ala-ala mahasiswa idealis lah pokoknya. Eee ... lucunya ekspektasi dulu itu kalau diingat-ingat lagi sekarang. Yang ada malah teman-teman pada nyesel, kenapa sih kita lulusnya di saat permintaan sarjana Teknik Kimia anjlok? Bagi yang sudah kerja, pada mikir, "Duh, ngene banget yo nasibe cah tekim.", termasuk saya juga dulu berpikir hal yang sama. Habis kalau ingat kata dosen-dosen, dibilang prospek kerja jurusan Teknik Kimia itu banyak, kita bisa mengisi posisi jurusan lain, mulai dari pangan, limbah, lingkungan, laboratorium, perbankan, sales, marketing, apa aja lah. Eee ... yang benar kayaknya cuma dua opsi paling akhir yang saya sebut. Itu pun harus punya modal tampang good looking, punya kendaraan, SIM, komputer. Aduh, kita itu kerja mau nyari duit, kok malah semua suruh nyiapin sendiri.

Beberapa teman yang sudah setahun bekerja atau lebih, sambatnya agak beda dengan yang nganggur. Kalau yang saat ini bekerja, sudah mulai lirik-lirik lowongan lain, alasannya ya balik lagi ke paragraf awal tulisan saya. Tapi, memang itu fakta, kok. Banyak perusahaan yang memanfaatkan situasi pandemi untuk menempatkan tenaga kerja di posisi serba salah. Take it or leave it, kasarannya gitu. Mau ditinggal tapi sudah tidak punya tempat bernaung, tapi mau dipertahankan rasanya seperti kerja rodi. Beruntung saat ini saya tidak termasuk golongan itu. Sebaliknya, yang sampai sekarang masih nganggur (iya, banyak kok sarjana teknik nganggur hampir dua tahun) ngomel-ngomel, merasa yang udah kerja dan masih nyerobotin lapangan kerja lain itu tidak tahu bersyukur banget. Hmmm ... pro kontranya akan selalu muncul, selain manusia senang diperlakukan adil, sifat dasar manusia yang tidak pernah puas juga menjadi penentu, istilahnya rumput tetangga lebih hijau. Padahal yo belum tentu, orang kerja ikut orang dimana-mana pasti ada sisi tidak enaknya.

Singkat cerita, di antara yang masih nganggur itu, ada yang malah nekat ambil S2. Buset, banyak duit nih orang, pikir saya. Biaya kuliah magister tanpa beasiswa cukup menguras kantong. Terlebih lagi, setelah mengantongi gelar, tidak ada jaminan cepat dapat kerja juga. Saya cuma heran saja sih, bukan maksud memandang miring pada mahasiswa S2.

Saya sadar, kuliah S2 juga banyak manfaatnya, seperti cepat mendapatkan promosi karir, syarat naik gaji, atau syarat untuk jadi dosen. Tapi itu kan untuk yang sudah punya alasan. Lha kalau belum? Bijaksana kah pilihan mengambil S2 hanya gara-gara frustrasi mencari kerja? Menurut saya pribadi itu salah, meski banyak orang kaya mengatakan benar. Kan pendapat orang beda-beda hehe. Cuma mau tanya, lanjut kuliah di masa pandemi ini kan terbilang unik banget, nah, yang masih berjuang kuliah S1, atau bahkan anak SMP SMA, mereka aja ngomel karena materi pelajaran tidak banyak yang nyantol, lha yang kuliah S2 ini bagaimana? Jangan-jangan sama saja? Adik saya yang saat ini duduk di bangku SMA kelas tiga pun mengaku tidak banyak mengerti pelajaran yang diberikan. Sebagai gambaran, adik saya sekolah di sekolah yang bisa dibilang menjaga ketat mutu pendidikannya. Hayolo ... apa kabar dengan yang lain? Praktikum-praktikum apa kabar? Yang rumpun non-IPA mungkin kalau perlu ambil data apa kabar?

Jadi, setelah lulus sarjana, harus ke mana dong? Entah, saya juga tidak punya ide. Seakan-akan semuanya serba salah. Beberapa praktisi HR menyarankan mengikuti sertifikasi dan training. Tunggu ... kita mau cari duit kok disuruh bayar sih? Dikira sertifikasi gratis apa ... Beberapa praktisi akademik menyarankan ambil beasiswa keluar negeri. Hello ... pandemi banyak yang menutup akses keluar-masuk negaranya, ujung-ujungnya studi online lagi. Jangan lupa online juga butuh duit, minimal kuota dan laptop yang masih bisa diajak kerja sama. Wah, udah panjang nih tulisan, sayangnya solusinya belum ketemu. Etdah, emang dari awal saya mau ngasih solusi? Hahaha, cuma berbagi unek-unek aja, maaf kalau buang-buang waktu :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun