Rupanya cukup lama saya vakum dari blog ini, hahaha. Maklum, untuk menulis memerlukan laptop yang memadai serta koneksi yang stabil (HP aing gangguan huhu). Sekarang baru bisa membangkitkan kembali akun ini yang terbengkalai selama kurang lebih empat bulan.
Singkat cerita, saya sempat mengalami writers block. Ya, di rumah saja menyebabkan inspirasi menguap begitu saja. Namun, di bulan Oktober ini, akhirnya saya bisa keluar rumah (horeee) karena saya diterima bekerja di sebuah sekolah di kota domisili saya. Hal yang tidak pernah terpikirkan sama sekali, mengingat saya mengambil jurusan teknik kimia saat kuliah. Fyi, jurusan teknik kimia normalnya akan bekerja di pabrik (produksi), tetapi semakin hari, menurut saya makin banyak lulusan teknik kimia yang murtad (kerja nggak sesuai bidang, maksudnya). But, it's fine, apalagi musim corona jadi makin susah pilih-pilih kerjaan.
Total waktu yang saya butuhkan sejak sidang skripsi (unofficially S.T.) sampai dapat kerja ternyata melebihi satu tahun! Tepatnya 13 bulan, dan itu penantian yang luar biasa. Saya beberapa kali putus asa, sebab lowongan yang banyak membutuhkan jurusan teknik kimia itu mayoritas di luar pulau (Sumatera dan Kalimantan), serta di Jabodetabek. Lalu? Ya sedih aja, soalnya saya diminta untuk tetap stay di kota kelahiran di Semarang, sedangkan di Semarang itu ... hampir tidak ada lowongan untuk wanita jurusan teknik kimia. Kalaupun ada, harus berpengalaman minimal sekian tahun. Huft, gimana mau berpengalaman kalau tidak diberi kesempatan, ya, kan?
Saya sempat memaksakan diri melamar kerja di luar provinsi. Memang, beberapa di antaranya memberikan saya kesempatan tes dan interview offline, dan saya selalu memenuhi undangan tersebut. Tapi, yaaa mungkin kembali lagi seperti yang saya bilang. Barangkali karena orangtua tidak merestui saya kerja di luar kota, semua hasil tes kerja selalu negatif :( Kalau mau dihitung, kira-kira sudah lima ratusan lamaran saya kirimkan baik via portal job online, direct email, maupun job fair. Panggilan tes ya kira-kira seratus ada. Miris, ya?
Yup, saya pun merasa desperate saat itu. Apa yang salah dengan saya? Nilai cumlaude, organisasi ada, kepanitiaan ada, etos kerja baik, bahasa inggris baik, kemampuan komputasi baik. Terus kurang apa? Sampai sekarang saya pun tidak tahu jawabannya. Kadang, saya malah menyalahkan orangtua kenapa saya tidak diizinkan bekerja di luar kota? Padahal teman-teman saya sudah banyak yang bekerja, jadi makin stress.
Dulu ketika masih berstatus fresh graduate (tiga bulan setelah sidang), jiwa idealis saya masih tinggi. Tebar lamaran harus di perusahaan bonafit, di posisi yang sesuai dengan jurusan. Lambat laun, jiwa idealis itu menurun ... terus menurun hingga berada di level nol. Hah? Iya, level nol, sampai nggak berselera lagi melamar kerja, meskipun cuma klik klik di website.
Suatu hari di suatu pantai (apa sih), ada lowongan buka di sebuah sekolah swasta (tempat saya kerja sekarang), mereka membutuhkan beberapa posisi yang menurut saya tidak ada yang cocok. Berhubung semangat melamar kerja saya sudah nol, yaudah langsung saja kirim email. Yang ada di otak saya waktu itu cuma: kerja apa saja, di Semarang, dan bisa dilakukan perempuan. Krteria terakhir wajib terpenuhi, karena saya pernah mendapatkan pengalaman tidak mengenakkan (baca di postingan saya sebelumnya tentang fresh graduate).
Perlu diakui, proses seleksi di sini sangat lama. Rata-rata, rekrutmen karyawan akan memakan waktu satu bulan, lah ini sampai tiga bulan lebih. Di sela-sela menunggu itu, hati saya selalu was-was. Takut kalau nggak sesuai kriteria, karena memang tiap tahap memakan waktu sekitar tiga mingguan. Tapi, saya sebagai manusia biasa hanya bisa pasrah. Jujur, saya selama menganggur itu tidak bisa menebak, maunya Tuhan itu apa? Kok saya susah banget dapat kerja, sedangkan teman-teman hampir semuanya sudah kerja (kecuali yang nikah muda). Kecewa berkali-kali harus aya telan. Apa saya harus kembali kerja di tempat yang tidak menghargai tenaga perempuan? Tidak, tidak mau! Sampai detik ini pun saya tidak menyesal meninggalkan tempat itu.
Oke, saya percepat ceritanya. Ketika saya dinyatakan diterima bekerja di sini, saya seakan mendapat durian runtuh. Langsung saya peluk mama saya, dan beliau ikut bergetar. Saya senang sekali karena akhirnya mendapat pekerjaan yang sesuai kriteria orangtua saya: di dalam kota. Yah, meskipun tidak sesuai jurusan, dan itu artinya saya harus belajar mulai dari nol lagi, tapi dengan senang hati saya lakukan.
Melalui kisah ini, saya dapat mengambil hikmah, bahwa waktu Tuhan akan indah pada waktunya. Coba kalau saya dulu diterima kerja di luar pulau, atau di luar kota, bagaimana nasib saya sekarang? Gara-gara virus corona, banyak karyawan di-PHK, termasuk beberapa teman saya ada juga yang kena. Coba kalau saya diterima kerja di luar pulau, atau di luar kota, kena PHK, mau makan apa? tinggal di mana? kos-kosan bayar terus tapi pemasukan nol, mau pulang tidak bisa karena transportasi umum diblokade (pas zaman-zaman corona mencekam).
Ah, intinya saya merasakan rahmat Tuhan turun akan saya, dan saya patut mensyukuri hal itu, salah satunya dengan menuliskan kisah ini di blog kompasiana. Untuk kalian yang baca tulisan ini, terima kasih sudah membaca sampai habis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H