Kalau biasanya orang tua kesulitan meminta anaknya untuk makan sayur, kali ini justru kebalikannya. Ada kasus tentang orang tua yang melarang anaknya makan sayur karena corona.Â
Cerita ini merupakan kisah nyata yang saya peroleh dari teman saya, dan saya telah mendapatkan izin untuk mengunggah ke publik. Harapannya, bagi pembaca, terutama yang berstatus sebagai orang tua saat ini, dapat memahami serta lebih bijak lagi sebagai sosok panutan bagi anak.
Sebenarnya, banyak orang yang taat dengan anjuran di rumah saja yang dikeluarkan pemerintah demi mengurangi penularan virus corona, termasuk keluarga teman saya. Mereka sudah mengisolasi diri selama lebih dari tiga bulan (sejak Maret awal) hingga saat ini.Â
Teman saya yang bernama Erni (bukan nama sebenarnya, untuk mempermudah penyebutan saja), mengaku tidak pernah satu kali pun keluar rumah, bahkan hanya keluar pagar pun tidak pernah.Â
Ibu dan adiknya juga tidak pernah keluar rumah sama sekali. Ayahnya sesekali keluar rumah, hanya untuk membeli beras dan telur untuk makan sehari-hari.
Erni saat ini tidak berpenghasilan. Ia baru saja lulus sekolah, tetapi tidak bisa bekerja karena corona. Sehari-hari, kebutuhan makan masih ditopang oleh ayahnya, dengan kata lain, semua kendali pembelian barang dipegang oleh ayahnya. Awalnya, semua berjalan baik-baik saja, hingga suatu hari sekitar pertengahan Mei, ia mulai mengeluhkan kondisi kesehatannya.
Ia sempat bercerita sudah dua bulan ia hanya mengonsumsi nasi dan telur satu butir untuk sehari. Ia dan ibunya sangat ingin makan sayur, tetapi dilarang membeli oleh ayahnya.Â
Menitip ketika keluar pun, dimarahi. Padahal, salah satu senjata memerangi virus corona adalah dengan mengonsumsi makanan bergizi, di samping rutin mencuci tangan dan menjaga kebersihan diri.Â
Erni mulai lemas, bahkan ia sempat cerita bahwa akibat tidak makan dengan normal itu, ia mengalami konstipasi (sembelit). Fesesnya tidak bisa dikeluarkan, dan menyebabkan kesakitan luar biasa di bagian perut dan anusnya.Â
Waktu itu saya sempat menawarkan bantuan membeli obat melalui layanan pesan antar, tetapi ia takut. Ayahnya tidak memperbolehkan ia dan ibunya membeli apa pun, dengan alasan apa pun. Oleh sebab itulah Erni takut menerima obat dari orang luar. Saya paksakan untuk mau menerima obat konstipasi tersebut.Â
Jika racun tubuh tidak dikeluarkan, apalagi sampai berminggu-minggu, bisa mengancam kesehatan. Saya khawatir kondisinya malah semakin parah, dan tidak menutup kemungkinan ibunya menyusul mengalami hal yang sama.
Ketika saya sarankan untuk mencoba mencari pekerjaan, ia mengatakan bahwa telah berkali-kali menolak panggilan kerja karena tidak diizinkan keluar oleh ayahnya.Â
Saya tidak habis pikir, zaman sulit begini malah menolak tawaran kerja ini bagaimana? Akhirnya sebagai jalan tengah, saya katakan padanya untuk tidak sungkan meminta bantuan ke saya apabila kondisinya urgent, termasuk bantuan bahan pangan dan kuota.
Dear orang tua yang terkasih, perlu diketahui bahwa virus corona memang berbahaya bagi anggota keluarga. Namun, apabila Bapak/Ibu membaca kasus di atas, apakah tindakan yang seperti itu dibenarkan? Tanpa ada maksud menggurui, alangkah baiknya jangan sampai terjadi kejadian seperti teman saya di lain waktu dan tempat. Kalau ceritanya begitu, bisa-bisa bukan mati karena corona, tetapi mati karena faktor lain, dan parahnya faktor kekonyolan akibat terlalu takut dengan virus corona.Â
Imbauan untuk tetap tinggal di rumah bukan berarti tidak boleh keluar rumah sama sekali, bahkan sampai mengorbankan kesehatan.Â
Bijaksanalah dalam menerima informasi dari media, mainkan logika, serta buatlah rencana kehidupan untuk beberapa bulan ke depan adalah langkah yang lebih baik dari pada mengisolasi diri secara berlebihan. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H