Banyak masyarakat yang masih belum tahu bahwa tanggal 31 Mei di seluruh dunia memperingati Hari Anti Tembakau Sedunia. WHO pada tahun 1987 menginisiasi perayaan ini dengan tujuan orang yang mengonsumsi tembakau dapat berhenti setidaknya dalam kurun waktu 24 jam.Â
Pada tahun 2022 setelah 35 tahun perayaan simbolik ini dilakukan tentu penting bagi kita untuk melakukan refleksi terhadap keadaan di Indonesia, khususnya kebiasaan merokok masyarakat di Indonesia. Ditambah lagi dengan konteks Covid 19 serta hipotesis para ahli tentang meningkatnya kesadaran Kesehatan pasca pandemi Covid 19.
Sejak bulan 2020 awal seluruh dunia termasuk Indonesia berada dalam keadaan krisis kesehatan akibat Pandemi Covid 19. Seperti yang telah diketahui banyak orang bahwa penyakit ini sangat erat dengan permasalahan pernafasan dan memiliki hubungan negatif dengan kebiasaan merokok.Â
Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan oleh Multidisciplinary Digital Publishing Institute mengatakan bahwa merokok dapat mempengaruhi sistem kekebalan dan respons tubuh, yang di mana hal tersebut sangat buruk dalam kondisi Covid 19.
Tidak hanya hal itu, temuan lain yang berkaitan yang ditemukan oleh Multidisciplinary Digital Publishing Institute adalah merokok dapat mengurangi efek dari vaksinasi Covid 19.Â
Beberapa temuan ini sangat penting untuk dijadikan refleksi pada Hari Anti Tembakau Sedunia. Covid 19 akan segera menjadi endemi di Indonesia, selama lebih dari 2 tahun di Indonesia seharusnya orang sudah lebih memperhatikan kondisi kesehatan dan mulai mengurangi aktivitas- aktivitas yang merugikan seperti kebiasaan merokok.
Akan tetapi ekspektasi dan kenyataan tidak selalu berjalan beriringan. Berdasarkan data dari BPS (Badan Pusat Statistik), perokok berusia lebih dari 15 tahun mengalami kenaikan dari tahun 2020 ke tahun 2021.Â
Pada tahun 2020 perokok berusia lebih dari 15 sebanyak 28.69 %, akan tetapi pada 2021 mengalami kenaikan sedikit sebanyak 28.96 %. Tentu secara persentase kenaikan yang terjadi memang cukup sedikit, namun harus dipahami bahwa dalam keadaan krisis Kesehatan yang memberikan ancaman lebih kepada perokok, seharusnya jumlahnya mengalami penurunan.
Tentu hal seperti ini tidak dapat dilepaskan dari budaya dan gaya bersosialisasi dari masyarakat di Indonesia. Hampir setiap tongkrongan selalu memiliki orang yang memiliki kebiasaan merokok.Â
Benar atau salahnya memang bukan sebuah permasalahan, yang menjadi permasalahan adalah dampak kesehatan yang ditimbulkan dari kebiasaan tersebut. Tidak hanya bagi dirinya, akan tetapi orang yang berada di sekitarnya juga terkena dari dampak asap rokok yang ditimbulkan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Psikologi di Universitas Islam Bandung tentang kebiasaan merokok mahasiswa pada pandemi Covid 19 menghasilkan temuan yang cukup menarik. Mahasiswa sering melakukan keputusan yang tidak atau kurang matang ketika memutuskan untuk merokok.Â
Hal ini menjadi, jawaban tersendiri mengapa dengan begitu banyaknya info Kesehatan di sosial media tentang bahaya merokok, persentase perokok di Indonesia tidak turun bahkan mengalami kenaikan.
Idealnya Hari Anti Tembakau Sedunia yang berdekatan dengan pintu akhir dari peristiwa Covid 19 menjadi refleksi bagi kita untuk melihat bagaimana orang sudah sangat aware terhadap bahaya dari kebiasaan merokok.Â
Kenyataannya berbeda, permasalahan tentang kebiasaan merokok masyarakat di Indonesia masih belum menemui titik terang. Bencana yang merenggut banyak nyawa masih belum menjadi refleksi yang cukup kuat bagi mereka untuk melihat bagaimana bahaya dari rokok itu tersebut.
Berdasarkan beberapa kejadian tersebut kita dapat berhipotesis bahwa faktor kesehatan tidak terlalu efektif dalam menurunkan kebiasaan dari merokok masyarakat di Indonesia secara umum.Â
Terdapat temuan menarik dari penelitian yang dilakukan oleh CISDI (Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives) tentang perubahan perilaku merokok pada pandemi Covid 19. Pada hasil penelitiannya CISDI menemukan bahwa 4 dari 10 orang yang mempunyai kebiasaan merokok mengurangi konsumsi rokoknya selama pandemi Covid 19.
Pengurangan konsumsi rokok itu disebabkan beberapa hal yaitu krisis keuangan dan juga jam kerja yang berkurang akibat pembatasan sosial. Akan tetapi secara keseluruhan penelitian ini mengatakan tidak ada hubungan signifikan antara pandemi Covid 19 dan kebiasaan merokok masyarakat di Indonesia.Â
Hal ini harus direfleksikan secara serius. Bahwa kebiasaan merokok sudah sangat mengakar sehingga kesehatan menjadi alasan untuk berhenti atau mengurangi rokok, melainkan faktor sosial dan ekonomi.
Pada akhirnya Hari Anti Tembakau Sedunia menjadi refleksi yang sangat dalam mengenai bagaimana rokok sangat mengakar dalam kehidupan sosial kita. Sangat mengakar lebih dari yang dapat  dibayangkan secara awam, bahkan krisis kesehatan yang mengancam jutaan nyawa yang berlangsung lebih dari 2 tahun tidak dapat mengubah kebiasaan masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi rokok.Â
Akan tetapi, tidak berarti usaha kita dalam mengurangi konsumsi tembakau menjadi berhenti. Setidaknya berdasarkan Covid 19 kita dapat merefleksikan bahwa bagi masyarakat Indonesia yang merokok faktor sosial dan ekonomi jauh lebih menakutkan ketimbang kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H