Mohon tunggu...
melisa emeraldina
melisa emeraldina Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis untuk Berbagi Pengalaman

"Butuh sebuah keberanian untuk memulai sesuatu, dan butuh jiwa yang kuat untuk menyelesaikannya." - Jessica N.S. Yourko

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Alasan Generasi Z Terancam Susah Punya Rumah

20 Januari 2023   12:00 Diperbarui: 20 Januari 2023   20:11 2025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak generasi Z beli rumah. Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Beberapa tahun terakhir, media sering membahas susahnya generasi Milenial untuk memiliki rumah. Alasannya utamanya adalah soal harga yang terus meningkat, lokasi rumah yang terlalu jauh dan juga tentang tingginya biaya gaya hidup.

Namun permasalahan kenaikan harga properti yang terlampau tinggi akibat para spekulan sebenarnya tak sepenuhnya benar. Karena ternyata setelah ditelisik kembali, ternyata harga rumah zaman dahulu sebenarnya justru lebih mahal bila berdasarkan penghasilan UMR zaman dahulu, dari pada harga rumah zaman sekarang dengan penghasilan UMR zaman sekarang. Tapi jangan pula mengambil contoh cluster-cluster mewah ya! Tentu tak sebanding. 

Yang menjadi masalah baru dan nyata, menurut saya, justru tantangan Gen Z dalam memiliki rumah pribadi. 

PEKERJAAN GENERASI Z

Gen Z adalah mereka yang lahir pada rentang tahun 1996-2009. Usia mereka pada tahun 2023  kini adalah sekitar 13 hingga 26 tahun. 

Generasi ini memiliki kebiasaan hidup, trend dan juga tantangan yang sepenuhnya berbeda dengan generasi sebelumnya. 

Mereka umumnya tak tertarik dengan pekerjaan PNS atau menjadi pegawai BUMN lagi. Meskipun tentu saja masih ada yang sangat ingin bekerja di bidang tersebut. Mungkin karena pengaruh paksaan orang tua. 

Mereka lebih menyukai pekerjaan kreatif, berkaitan dengan teknologi dan media sosial, bekerja di start up, yang memiliki kesempatan percepatan karir lebih singkat dan gaji yang  lebih menggiurkan.

Gen Z juga sangat memperhatikan work life balance. Hal yang kurang dipikirkan oleh generasi sebelumnya. Mereka tak akan mau bertahan lama jika tempat mereka bekerja dianggap terlalu toksik dan mengganggu kesehatan mental. 

Tidak heran jika mereka suka bekerja bebas sebagai freelancer yang bisa work from anywhere dan anytime. 

Sebuah studi penelitian yang dimuat dalam Kompas, mengungkap bahwa 66% karyawan di Indonesia ingin bekerja secara remote atau hybrid. Hal ini juga berkaitan dengan kemacetan, jarak lokasi yang jauh dan waktu tempuh perjalanan. 

Gen Z akan memilih menjadi pekerja remote atau freelancer yang bisa bekerja di rumah, atau di coffeeshop yang memiliki suasana yang nyaman. Mereka akan membuka laptop dan bekerja disana hingga selesai. 

Karena nyatanya  menjadi freelancer memungkinkan mereka menjangkau klien dari mana saja dengan penghasilan total yang seringkali lebih besar dari UMR. Apalagi bagi mereka yang tinggal di luar Jabodetabek. 

Ilustrasi cara bekerja Gen Z (Freepik/Tirachardz)
Ilustrasi cara bekerja Gen Z (Freepik/Tirachardz)

Coba bandingkan bila mereka bekerja sebagai pegawai. Zaman sekarang banyak perusahaan yang menggunakan sistem kontrak dan outsourcing. Mereka rentan di PHK, tak ada jenjang karir, penghasilan rendah, penghasilan yang dipotong dan tak ada fasilitas yang menjamin mereka sebagai pekerja. Pun harus mengikuti aturan kantor dan lingkungan kerja yang tak selalu menyenangkan.

Banyak perusahan zaman sekarang juga menghindari memiliki pegawai tetap. Mereka lebih suka pegawai kontrak karena kemudahan proses rekruitmen, tak perlu memberikan tunjangan, tak perlu melanjutkan kontrak jika pegawai kurang kompeten, terbebas dari banyaknya kewajiban, dan tak perlu memberikan pesangon. 

Kondisi seperti ini juga dialami oleh banyak generasi milenial akhir. 

Dengan melihat berbagai kondisi diatas, generasi Z ini memiliki kecenderungan untuk bekerja tidak tetap, sangat mudah untuk berpindah pekerjaan dan bahkan berpindah Kota. 

Tidak jarang mereka hanya bekerja 1-2 tahun saja dan kemudian berpindah ke pekerjaan lain. Ini bukan sepenuhnya keinginan mereka. Karena mereka juga beradaptasi dengan sistem kerja yang memang banyak tak menguntungkan bagi mereka. 

Sementara pekerjaan tetap di "Pemerintahan dan kawan-kawannya" diangaap terlalu birokratis, kaku, menghambat kreativitas dan susah maju. 

APA KAITANNYA DENGAN MEMBELI RUMAH?

Sebagian Generasi Z memang memiliki kemampuan sangat baik dalam menggunakan media sosial. Mereka ahli dalam membuat konten, dan menghasilkan banyak uang, jauh melebihi pegawai-pegawai senior yang telah bekerja bertahun-tahun. Namun ada berapa banyak generasi Z yang bisa melakukannya?

Mereka yang berhasil tentu sangat mudah untuk dapat membeli rumah secara cash atau bahkan membeli tanah dan membangun rumah sesuai keinginan mereka sendiri. 

Namun bagi sebagian besar dari mereka, yang penghasilannya masih di level rendah hingga menengah, tentu membeli rumah secara kredit-lah yang paling memungkinkan. 

Di sisi lain, ketidakpastian kerja, dan lokasi yang mudah berpindah membuat mereka menganggap bahwa membeli rumah secara KPR, menjadi sesuatu hal yang menakutkan dan serba tak pasti.

Pekerjaan yang tak tetap, gaji yang tak tetap, lokasi pekerjaan yang berpindah-pindah, membuat mereka menjadi  "takut berkomitmen jangka panjang". 

Mereka juga akan susah mengajukan KPR. Karena salah satu syarat mengajukan KPR adalah memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Syarat ini tentu sulit dipenuhi oleh sebagian besar gen Z. 

Pemerintah melalui Kementerian PUPR sesungguhnya telah mengeluarkan  program pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan tidak tetap untuk bisa memperoleh bantuan melalui program Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT). Program ini diberikan kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) sektor pekerjaan informal/ non fixed income yang telah mempunyai tabungan dalam rangka pemenuhan sebagian uang muka perolehan Rumah, hingga sebesar 40 juta rupiah.

Program ini bisa sangat membantu, terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah.

Namun tentu ada banyak persyaratan bagi pemohon dan juga berbagai ketentuan aturan rumah yang bisa mendapat bantuan.

TANTANGAN BESAR

Tantangan besar bagi Bank dan perumahan di masa kini dan mendatang adalah mencari solusi program yang tepat bagi kondisi gen Z saat ini. Mungkin saat ini masih terlalu dini bagi mereka untuk memikirkan pemilikan rumah. Namun 3-5 tahun lagi, akan ada kebutuhan besar bagi rumah tangga Gen Z baru. 

Program DP 0% atau kemudahan suku bunga super rendah di 2-3 tahun pertama, rasa-rasanya menjadi tak relevan lagi. Karena masalah utamanya adalah tentang pekerjaan tak tetap, penghasilan tak tetap dan berpindah-pindah.

Maka tak heran jika sekarang lebih marak pembangunan apartemen yang ditawarkan pada investor untuk kemudian disewakan, atau pembangunan Rumah konsep Co Living serta kost premium.

Tapi tentu ini menjadi bom waktu. Dimana pada saat Gen Z pensiun nanti. Ada risiko dimana mereka tak memiliki rumah tinggal, sementara mereka tak lagi memiliki penghasilan untuk biaya sewa rumah. Bila memiliki tabungan pensiun yang besar masih untung. Kalau tidak?

Sumber:

kompas

PU.go.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun