Beberapa hari yang lalu aku mendapat telepon dari sahabat lamaku saat SMA. Dulu kami duduk sebangku saat kelas 3 SMA. Tapi sudah lama sekali tak bertemu. Kami bercerita tentang keluarga, teman lama dan pekerjaan.
Sahabatku ini namanya Lili. Dia keturunan etnis Tionghoa, bakat dagang sudah mengalir dalam darahnya. Rupanya dia saat ini sudah resign dari pekerjaannya dan membuat merk sendiri untuk produk bulu mata. Produknya sudah tersebar di seluruh Indonesia dan beberapa negara tetangga.
Aku jadi teringat dengan sahabat dekatku waktu kelas 3 SMA. Anggotanya 6 orang. Tiga diantaranya Jawa, dua orang Arab dan satu lagi Tionghoa. Aku, Maya dan Ratih keturunan Jawa, Diana dan Mia keturunan Arab, sedang Lili Tionghoa. Kami membaur tanpa sekat.
Sebelumnya, ini bukan artikel rasis. Ini artikel tentang keberagaman penduduk Indonesia. Jangan lupa "kami bersahabat dekat".
Kebetulan sekolahku ini Sekolah Negeri yang lokasinya 1.5 Km dari kampung Tionghoa dan 3 Km dari kampung Arab. Jadilah yang sekolah disitu beragam sekali. Bisa jadi 40% Jawa, 40% Tionghoa dan 20%nya Arab. Ini hanya perkiraan, bisa jadi meleset.
Biasanya orang Tionghoa sekolah di sekolah yayasan Kristen atau Katolik, sedang orang Arab juga sekolah di yayasan Islam. Tapi tidak tahu kenapa, orang Tionghoa dan Arab banyak yang sekolah di Sekolah Negeri ini. Dan ini tidak terjadi di SMA Negeri di Solo yang lain.
Berteman dengan mereka jelas membuatku banyak mengetahui kebiasaan hidup dan karakteristik etnis mereka.
Diana dan Mia yang keturunan Arab misalnya. Ketika main ke rumah Diana, suguhannya roti canai dengan topping gula bubuk, madu atau kari. Orang Arab juga ketat dalam pergaulan. Mia jarang ikut kami main. Sedang Diana masih lebih santai, meski tetap harus pulang tepat waktu sebelum maghrib. Mereka juga rata-rata menikah lebih muda dan kerap dijodohkan.
Orang Arab di Kota Solo tinggal mengelompok di Kecamatan Pasar Kliwon. Mereka saling kenal satu sama lain. Dialek mereka khas sekali. Mereka lebih sering menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Jawa. Â Kebanyakan dari mereka bermata pencaharian sebagai pedagang. Ada yang berdagang parfum, kurma, oleh-oleh Haji dan perlengkapan Haji.
Lain lagi dengan Lili. Â Kalau main ke rumah Lili sajiannya Chinese Food. Sejak SMA dia sudah punya jadwal bertugas menunggu toko emas milik ayahnya. Dia bilang dia belajar menimbang emas, membersihkan emas serta transaksi emas. Orang Tionghoa di Kota Solo sangat luwes dan berusaha membaur dengan orang Jawa.
Mereka lebih sering  menggunakan bahasa Jawa. Mungkin juga supaya lebih mudah dalam berjualan, lebih akrab dan ada rasa saling percaya. Bahasa Indonesianya medhok layaknya orang Jawa. Tapi kalau saya, karena sudah terbiasa, jadi bisa membedakan medhoknya orang Jawa asli dan medhoknya orang Tionghoa.
Kami berenam selalu duduk berurutan. Mia dan Ratih duduk bersebelahan, sama-sama  tukang telat. Dan kalau telat tampak tak ada dosa. Jelas duduknya bangku paling depan, dekat pintu masuk. Sedang Maya duduk dengan Diana. Lili dengan aku di belakangnya. Ini sudah menjadi semacam formasi tetap.
Waktu kelas 3 kami juga ada ujian olah raga senam. Kelas kami menyewa seorang koreografer yang juga berprofesi sebagai desainer. Mia yang cantik dan badannya juga tinggi kurus akhirnya mendapat tawaran untuk menjadi model di agensi sang koreografer tersebut. Tidak sia-sia kami menggunakan koreografer ternama, kelas kami mendapat Juara Pertama.
Maya orang Jogja, bergelar Roro. Tapi dia tinggal di Solo bersama budhenya. Rumah budhenya bangunan lama dengan halaman luas. Menulis ini saya jadi kangen dengan rumah itu. Adem sekali suasananya.
Pengalaman unik kami saat itu adalah pada kelas 3 kami sering mendapat tugas kelompok. Jelas kami selalu sekelompok. Kami mengerjakannya di rumah Budhenya Maya atau Lili. Waktu itu tugasnya drama yang direkam dalam betuk video. Kami membuat mini drama ala-ala FTV (Film Televisi). Kalau mengingatnya lucu dan seru sekali.
Pernah juga aku dan Diana menginap di rumah Maya di Jogja saat akan ujian masuk ke UGM. Waktu itu pas dengan kejadian gempa besar di Jogja dan diperkirakan akan terjadi tsunami. Subuh, Diana teriak-teriak diatas kasur. Nyawaku belum sepenuhnya terkumpul. Kupikir kenapa dia heboh sekali main lompat-lompat diatas kasur.
Rupanya gempa. Kami langsung lari berhamburan ke luar rumah. Hampir tiap menit ada gempa susulan kecil. Rumah Maya retak ringan. Namun berjam-jam kami hanya di luar rumah. Tak tahu akan kemana. Akhirnya mama Maya membawa kami semua ke Solo naik mobil, berdempetan. Adik Maya memegang Al Quran sepanjang perjalanan.
Setelah lulus kami jarang main bersama lagi. Hanya sesekali dengan Diana. Mungkin karena saat itu media sosial hanya friendster. Setelah Friendster tak ada, kami hampir saja kehilangan kontak. Lalu Maya dan Lili bertemu lagi lewat Facebook dan Instagram.
Saya sangat bangga dengan persahabatan saya dengan mereka. Kami saling menghargai dan menyayangi. Tanpa sekat tanpa membedakan.
Seandainya ada banyak sekolah yang bisa begini, saya yakin Indonesia tidak akan terkotak-kotak.Â
Tidak akan ada saling curiga pada etnis lain, dan bisa lebih menghargai perbedaan. Semua tetap menjalankan ibadah masing-masing, meneruskan adat kebudayaan masing-masing, saling memahami dan menghargai.
*
*
Tulisan ini sudah mendapat ijin dari mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H