Tapi kalau untuk merusak citra seseorang atau sengaja membuat kericuhan untuk membuat Pemerintahan tidak stabil lalu ditunggangi berbagai kepentingan?Â
Sementara pembaca, membacanya mentah-mentah. Menganggap itu suatu kebenaran.Â
Framing media massa biasanya masih dalam bentuk yang bisa dimaklumi. Tapi melalui media sosial, atau media blog opini seperti Kompasiana ini, bila tidak dimoderasi bisa berbahaya. Karena Kompasiana merupakan bagian dari media Kompas, media ternama di Indonesia.Â
Opini tanpa IlmuÂ
Semua bidang ada ilmunya. Tidak bisa hanya katanya atau kelihatannya. Orang sekolah sampai S3. Kadang di Indonesia pun tidak cukup, jadi cari ilmu di luar negeri. Kalau bisa googling saja ngapain sekolah mahal-mahal?Â
Di zaman media sosial ini semua orang bisa memberikan informasi seolah mereka ahli. Artis sinetron followernya jutaan, fanatik pula. Dia berbicara tentang covid, follower pun percaya. Padahal informasinya salah.Â
Sementara dokter, Pemerintah, ahli kesehatan wira wiri di TV dan surat kabar dicuekin. Mereka malas liat berita. Lebih senang liat youtube yang bilang covid konspirasi. Merasa lebih pintar kalau sudah tahu tentang konspirasi.Â
Bukan berarti penulis harus sekolah tinggi atau menjadi ahli, namun perlu mencari narasumber yang kompeten, serta referensi yang dapat dipertanggung jawabkan. Terutama untuk hal-hal yang menyangkut kesehatan, keselamatan orang banyak atau dapat menggiring opini yang berpotensi menyebabkan pertentangan.
Kepentingan Terselubung
Mungkin sebagian besar penulis Kompasiana adalah orang yang ingin menyalurkan hobi menulis. Tapi jangan lupa, ada pula yang bekerja dan mendapat uang dari menulis. Tentu mereka bukan mengejar K-Rewards.Â
Ada pesanan. Yang penting dimuat di Kompasiana. Tidak jadi pilihan pun tak apa, yang penting dibaca banyak orang. Tentu tak bisa di media massa. Media massa isinya reportase. Sementara yang ingin ditampilkan banyak menggunakan opini.Â