Sosiolinguistik adalah subdisiplin linguistik yang mempelajari hubungan antara bahasa dan masyarakat. Sosiolinguistik merupakan penggabungan antara ilmu sosiologi dan ilmu linguistik. Ilmu sosiologi mempelajari tentang hubungan masyarakat, sedangkan ilmu linguistik mempelajari tentang hubungan bahasa. Dalam ilmu sosiolinguistik, keanekaragaman pemakaian bahasa disebut dengan variasi bahasa. Variasi bahasa dalam sosiolinguistik terbagi menjadi lima, yaitu idiolek, dialek, tingkat tutur, ragam bahasa, dan register. Pada artikel ini, penulis akan membahas mengenai dialek khas Jawa Tengah.
Dialek adalah variasi bahasa yang berbeda-beda menurut penutur, baik dalam suatu daerah maupun kelompok sosial tertentu. Dialek ini mempunyai ciri khasnya tersendiri. Hal yang menjadi pembeda dari sebuah dialek adalah perbedaan fonologis, perbedaan semantik, perbedaan onomasiologis, perbedaan semasiologis dan perbedaan morfologis. Dialek mengacu pada perbedaan-perbedaan bahasa yang berbeda kosakata, tata bahasa dan juga pengucapannya.
Luas wilayah dan juga keterbatasan geografis membuat bahasa Jawa memiliki banyak dialek yang berbeda. Bahasa Jawa digunakan oleh sebagian masyarakat Jawa untuk berkomunikasi dan melakukan interaksi sosial antar pengguna bahasa Jawa. Bahasa Jawa memiliki tingkatan bahasa yang berbeda-beda. Bahasa Jawa mengenal istilah yaitu undhak-undhuk atau aturan tata krama pada saat berbicara, termasuk pertimbangan hubungan sosial dan peran sosial pembicara yang berpartisipasi dalam percakapan tersebut.
Ada tiga jenis undhak-undhuk yang saat ini kita kenal, yaitu:
1. Ngoko (Ngaka)
Ngoko yaitu merupakan bahasa informal, yang sifatnya tidak resmi dan sering digunakan antara teman, digunakan oleh orang-orang dari status sosial yang lebih tinggi kepada lawan bicara yang berasal dari status sosial yang lebih rendah. Komunikasi dengan bahasa ngoko dilakukan tanpa melibatkan rasa segan atau canggung, karena sudah saling akrab dengan lawan bicara. Contohnya, yaitu aku mangan sega gudheg, bapak mulih nunggang jaran, adhik dan lara seka wingi.
2. Madya
Madya sering digunakan untuk pembicara yang tidak saling kenal, seperti ketika wartawan bertanya kepada masyarakat di jalan, di mana orang tidak mengetahui kelas sosial mereka, dan ketika seseorang ingin berbicara tidak terlalu formal atau terlalu formal. Contohnya, yaitu kula nedha sekul gudheg, rama mantuk numpak kapal, dan adhik sakit saking kala wingi.
3. Kromo
Kromo merupakan bahasa formal, yang sifatnya resmi. Biasanya sering digunakan oleh masyarakat dengan status sosial yang lebih rendah atau usia yang lebih muda ketika berhadapan dengan lawan bicara yang status sosialnya lebih tinggi atau usia yang lebih tua. Komunikasi dengan bahasa kromo dilakukan dengan melibatkan rasa segan dengan maksud menghormati lawan bicaranya. Contohnya, yaitu kawula dhahar sekul gudheg, rama kondur nitih turangga, dan adhik gerah saking kala wingi.
Sekarang sudah banyak masyarakat yang mengetahui tiga jenis undhak-undhuk ini, bahkan masyarakat di luar Jawa pun mungkin mengetahuinya walau tidak memahami sepenuhnya. Sebagai salah satu bahasa besar dengan banyak penutur, bahasa Jawa memiliki sejumlah dialek, seperti misalnya Jawa Tengahan, terutama dipengaruhi oleh dialek Surakarta dan dialek Yogyakarta, yang dianggap baku. Belakangan, istilah Jawa Kulonan juga dikenal, digunakan di Jawa Tengah bagian barat dan beberapa wilayah barat pulau Jawa. Oleh penutur bahasa Jawa lainnya, dialek Jawa Kulonan ini sering disebut sebagai bahasa ngapak-ngapak. Selain Jawa Tengahan dan Jawa Kulonan, dikenal juga istilah Jawa Timuran, dituturkan di ujung timur pulau Jawa, dari kawasan Sungai Brantas hingga kawasan Kertosono, dan dari Nganjuk hingga Banyuwangi, termasuk provinsi Jawa Timur, kecuali Pulau Madura.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H