Kira-kira kenapa ya, para anjing dan kucing liar ini tidak mau tertangkap?
Waktu kita menonton, pastinya kita bersimpati dengan Tramp dan teman-teman Tramp, gerombolan anjing kucing liar. Penangkap hewan liar ini terlihat sebagai sosok yang jahat. Shelter hewan digambarkan bak penjaranya hewan.Â
Sedang kenyataannya, petugas penangkap hewan liar hanya menjalankan tugas mereka untuk mengumpulkan hewan terlantar di shelter untuk dicek kesehatannya, dikebiri atau disteril, dan ditampung.
Tapi wajar saja sih kalau gerombolan hewan liar ini takut ditangkap dan dibawa ke shelter. Bukan karena takut dikebiri. Melainkan, karena mereka tau shelter hanyalah tempat tinggal sementara. Jika mereka tidak kunjung diadopsi dan shelter tidak sanggup memberi makan, maka mau tak mau anjing atau kucing tersebut harus disuntik mati!
Di Amerika Serikat praktik pemberian suntik mati ini diperbolehkan. Ada protokol yang jelas untuk pemberian suntik mati (Petunjuk Dasar Euthanasia Edisi 2020 dalam Bahasa Inggris di sini).Â
Biasanya shelter terpaksa memberikan suntik mati bila hewan sudah berumur, mengalami sakit parah, memiliki perilaku buruk, atau karena shelter tidak sanggup membiayai hidup hewan tersebut.
Meski belum tentu shelter di Indonesia menerapkan praktik ini. Tapi ini bukanlah hal yang tidak mungkin terjadi.
Sebuah kenyataan pahit
Untuk mengelola shelter sama halnya dengan mengelola sebuah panti asuhan. Bukan sekadar memberikan tempat tinggal bagi para anjing dan kucing jalanan. Melainkan, kesehatan dan kesejahteraan mereka juga harus terjamin.
Hewan yang ada di shelter tentu perlu diberi makan dan minum, disediakan obat dan diberi vaksin, juga harus rutin diperiksa kesehatannya. Menyediakan tempat bermain, makan, tidur, dan buang kotoran, lalu menjaga kebersihan tempat-tempat tersebut agar hewan-hewan tetap sehat.
Agar itu semua tercapai, tentunya perlu mengerahkan tenaga kerja, waktu, dan BIAYA.