Mohon tunggu...
Melina
Melina Mohon Tunggu... Lainnya - Teknisi Pangan

Menulis untuk sharing, karena sharing is caring.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

4 Warisan Petani Jakarta Tempo Doeloe

22 Juni 2022   05:59 Diperbarui: 24 Juni 2022   11:45 1860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani di Batavia (Commons Wikimedia via VOI.id).

Kata "urban farming" mungkin menjadi kata yang terbersit di benak kalian ketika berbicara tentang pertanian di Ibukota Jakarta.

Menjadi petani bukanlah profesi idaman bagi masyarakat kota metropolitan ini. Hanya 15.082 orang saja yang tercatat melakoni profesi sebagai petani di Jakarta menurut Survei Antar Sensus (SUTAS) di tahun 2018.

Namun, semenjak pandemi COVID-19, profesi petani urban farming mulai menjadi tren di kalangan muda-mudi Jakarta. Pemerintah kota pun mendorong kegiatan urban farming karena dapat meningkatkan ruang hijau. 

Pesatnya perkembangan Jakarta kini telah membuat kita lupa, bahwa Jakarta tempo doeloe juga merupakan daerah pertanian. 

Warisan budaya petani Betawi

Petani-petani betawi tempo doeloe telah meninggalkan 4 warisan budaya yang berharga bagi warga Jakarta saat ini.

1. Teknik Pertanian Tradisional "Panja"

Teknik "Panja" adalah teknik menanam padi di darat (bukan di tanah sawah). Menanam padi dengan teknik "Panja" dilakukan dengan cara melubangi batang kayu, lalu lubang tersebut ditanami dengan bibit padi. 

Namun sayang sekali, teknik "Panja" ini kini menghilang karena menanam padi dengan teknik "Panja" membutuhkan lahan yang luas, sehingga tidak ada petani yang menanam padi dengan teknik ini.

2. Tradisi Baritan

Upacara adat "Baritan", dikenal pula sebagai tradisi "Bebarit" atau "Sedekah Bumi", adalah tradisi bagi petani untuk mengucap syukur kepada Yang Maha Esa, dan menghormati para leluhur, serta merayakan hasil bumi.

Upacara adat
Upacara adat "Baritan" (dok. Yahya Andi Saputra via setubabakanbetawi.com).

Upacara ini berlangsung 2 hari, dengan rangkaian acara: 

  1. Persiapan, dilakukan untuk menghitung kebutuhan biaya, jumlah undangan, dan persiapan lainnya.
  2. Pelaksanaan ritual: pelaksanaan Maulud Nabi di masjid dekat makam Aris Wisesa (Kramat Aris). Berisi acara tahlilan, makan bersama, ziarah ke Keramat Aris, mengantarkan sajen berupa makanan dan hasil panen.
  3. Arak-arakan kepala kerbau atau kambing. Kepala kerbau/kambing yang diarak tersebut, nantinya akan ditanam di empat penjuru mata angin. 
  4. Hiburan. Acara hiburan yang diadakan meliputi kliningan kanji, ibing sawer, wayang kulit, dan layar tancep. 

Upacara adat "Baritan" di Betawi ini sekilas mirip dengan upacara adat yang dilakukan di Yogyakarta. Keduanya sama-sama dirayakan 1 kali dalam setahun sesudah panen padi dan juga memiliki nama yang sama. 

Bedanya, "Baritan" di Betawi dirayakan setiap Hari Raya Agung, yaitu tanggal 10 bulan Hajj atau bulan Sya'ban atau Rowah sebelum Ramadhan. Sedangkan, "Baritan" di Yogyakarta biasanya dilaksanakan pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Wage sesudah panen di musim kemarau.

Tradisi "Baritan" di Betawi diketahui sebagai tradisi turun temurun oleh keturunan Aris Wisesa, salah satu murid dari Sunan Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah. Mungkin hal inilah yang menyebabkan adanya kemiripan tradisi "Baritan" Yogyakarta dan Betawi.

3. Kisah heroik Entong Gendut dibalik sejarah perlawanan petani Batavia

Entong Gendut adalah sosok penting--jagoan atau pahlawan--dibalik gerakan perlawanan petani terhadap pemerintahan Hindia Belanda.

Dalam buku Protest Movements in Rural Java, sejarawan dan penulis sejarah Indonesia Sartono Kartodirdjo menceritakan kisah pemberontakan petani di Batavia (Jakarta) yang bermula dari keserakahan tuan tanah Pemerintah Hindia Belanda. 

Pada saat itu, tahun 1912, Gubernur Batavia mengeluarkan peraturan perpajakan yang memberatkan petani:

Petani diwajibkan untuk membayar pajak tanah sebesar 25 sen setiap minggunya pada tanah yang dikuasai Belanda dan para tuan tanah Inggris. Bila petani tidak membayar pajak tanah tepat waktu, maka mereka akan diberi hukuman kerja paksa.

Kebijakan ini sungguh-sungguh memberatkan petani, hingga akhirnya di tahun 1913, sebanyak dua ribu petani gagal untuk membayar pajak kepada tuan tanahnya. Ketidakmampuan petani untuk membayar pajak ini pun terus terjadi hingga dua tahun berikutnya.

Petani yang tidak membayar pajak dianggap lalai oleh tuan tanah. Dan pengadilan pun memutuskan hal yang sama, sehingga banyak harta milik petani disita, dijual, atau dibakar oleh pengadilan. Di sisi lain, para tuan tanah yang hanya mementingkan keuntungan pribadi semata bisa bebas melenggang dan semakin menindas kaum petani.

Berdasarkan tulisan Goenawan Mohamad yang berjudul Entong Gendut, peran Entong Gendut kemudian muncul ketika pengadilan di Meester Cornelis (Jatinegara) menjatuhkan putusan yang "memeras" petani bernama Taba. 

Taba dijatuhkan putusan untuk membayar 7,20 gulden serta biaya pengadilan dalam jangka waktu yang terbilang singkat. Apabila Taba tidak dapat membayar, maka seluruh harta Taba akan disita dan dijual oleh pihak berwenang. Hal ini memicu protes dari keluarga dan teman-teman Taba.

Di sini, sosok Entong Gendut muncul diantara orang-orang yang mendukung Taba. Mereka berkumpul untuk melancarkan aksi protes di depan pengadilan. Walaupun, usaha mereka harus berakhir sia-sia.

Sehingga, mereka akhirnya melancarkan perlawanan secara fisik. Dalam majalah Perlawanan Petani di Tanah Partikel Tanjoeng Oost Batavia yang ditulis oleh Iim Imanudin, para petani di Batu Ampar bersatu membentuk sebuah paguyuban pembela kaum petani. 

Entong Gendut sebagai pemimpin mengumpulkan puluhan petani, kemudian melancarkan beragam aksi perlawanan. Salah satunya  adalah perusakan kendaraan milik Tuan Tanah Tandjong Oost. Sehingga, Entong Gendut menjadi sosok yang paling "dirindukan" oleh Pemerintah Belanda menurut buku Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi.

4. Ondel-ondel

Ondel-ondel sebenarnya adalah kesenian yang berkembang di antara petani. 

Ondel-ondel (Antara/Aditya Pradana Putra via Kompas).
Ondel-ondel (Antara/Aditya Pradana Putra via Kompas).

Ondel-ondel semula lahir dari orang-orangan sawah yang diberi baju dan topi untuk mengusir burung di sawah. Ketika panen, para petani biasanya menggoyangkan orang-orangan sawah tersebut sembari menyanyikan lagu dengan gembira.

Dari sinilah, kesenian ondel-ondel berkembang. Perayaan panen petani selalu dihiasi dengan ondel-ondel, yang berarti "menakjubkan".

Seiring dengan perkembangannya, fungsi ondel-ondel berkembang, sebagai sarana hiburan dan pengiring acara-acara besar, seperti upacara pernikahan atau upacara adat lainnya.
Tapi untuk saat ini, ada 3 fungsi utama dari ondel-ondel, yaitu sebagai pelengkap upacara adat, dekorasi kegiatan Pemerintah DKI Jakarta, dan ornamen dalam pentas.

Jangan jadikan ondel-ondel sebagai media mengamen ya! Karena ondel-ondel itu visualnya kota Jakarta!

Selamat Ulang Tahun yang ke-495 untuk Jakarta!!!

Sumber: [1], [2], [3], [4], [5]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun