Mohon tunggu...
Melina
Melina Mohon Tunggu... Lainnya - Teknisi Pangan

Menulis untuk sharing, karena sharing is caring.

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Minyak Goreng: Dahulu Dikucilkan, Sekarang Didamba

14 Juni 2022   16:32 Diperbarui: 7 Juni 2023   21:15 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini ketika saya sedang menelusuri Kompas, saya melihat sebuah artikel dengan judul yang menarik sehingga saya membaca artikel tersebut.

Presiden Joko Widodo saat memberi sambutan pada Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2022 di Istana Negara (Kompas).
Presiden Joko Widodo saat memberi sambutan pada Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2022 di Istana Negara (Kompas).

"Jokowi Ditelepon Seorang Perdana Menteri, Mohon-mohon Dikirimi Minyak Goreng".

Setelah membaca hal itu, saya hanya bisa tersenyum miris, perang tidak kunjung usai dan menghukum negara-negara lain yang damai. Dilansir dari Kompas, Bank IMF menyatakan ada sekitar 60  negara yang ekonominya mengalami keterpurukan. Negara asal perdana menteri tersebut sudah pasti salah satunya. 

Beliau meminta via telepon agar Pak Jokowi mengirim minyak goreng untuk menyelamatkan negaranya dari krisis sosial, ekonomi, hingga krisis politik. 

Sungguh kasihan negara-negara yang tidak memiliki ketahanan pangan seperti ini. Tapi di sisi lain, saya merasa ada hikmah yang dapat dipetik dibalik Perang Rusia-Ukraina ini.

Apa hikmahnya...?

Saya percaya bahwa setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Kalau Perang Rusia-Ukraina, hikmahnya adalah membersihkan reputasi minyak goreng kelapa sawit. Yah, meskipun sepertinya tidak bersih-bersih amat. Mungkin lebih karena tuntutan keadaan jadi mereka lebih bisa menerima.

Selama ini Minyak Goreng Kelapa Sawit memiliki cap buruk di mata dunia. Memberikan kesan minyak kelapa sawit dibenci. 

Buruk karena tidak baik untuk kesehatan. Buruk karena mengandung lemak jenuh. Buruk karena tidak ramah lingkungan, sebab perkebunan kelapa sawit sudah mendorong deforesasi. Sehingga, dunia sepertinya ramai-ramai menyerukan untuk menghentikan penggunaan produk-produk yang berasal dari kelapa sawit.

Hal ini membuat saya berandai-andai. Mungkinkah pengucilan minyak goreng kelapa sawit ini akibat politisasi? Bisa jadi...

Indonesia sendiri pernah menggugat Uni Eropa di tahun 2019 atas tuduhan diskriminasi terhadap produk kelapa sawit.

Saya menduga penghasil minyak lainnya merasa terancam dengan minyak kelapa sawit yang berdaya guna.

Alasan kenapa minyak goreng kelapa sawit itu baik dan cocok untuk kita orang Indonesia

Minyak kelapa sawit mengandung sekitar 50% lemak jenuh, bukan berarti semerta-merta minyak itu buruk. Perlu kalian ketahui bahwa minyak kelapa juga memiliki kandungan lemak jenuh yang lebih tinggi dibandingkan minyak kelapa sawit, mencapai sekitar 90%.

Menurut pengetahuan saya soal teknik pangan, minyak yang mengandung banyak lemak tak jenuh seperti minyak bunga matahari, minyak zaitun (koreksi: minyak kedelai), dan minyak kanola, kurang cocok untuk digoreng. Minyak-minyak ini lebih rentan terhadap pemanasan dan strukturnya lebih mudah berubah menjadi lemak trans yang tidak baik untuk kesehatan.

Sedangkan, sebagian besar masakan Indonesia diproses dengan cara digoreng, mulai dari nasi goreng, tempe goreng, cireng, pempek, dan lain sebagainya. 

Nah, minyak kelapa sawit ini lebih stabil untuk proses penggorengan karena 50% lemak jenuhnya membuat minyak goreng tidak mudah berubah menjadi lemak trans. Seperti perkataan Prof. Purwiyanto dilansir dari infosawit.com, pada dasarnya minyak kelapa sawit tidak mengandung lemak trans. Minyak kelapa sawit justru memiliki keunggulan, yaitu kaya akan fitonutrien: beta karoten (vitamin A) dan tokoferol (vitamin E).

Minyak kelapa sawit berwarna merah (shutterstock).
Minyak kelapa sawit berwarna merah (shutterstock).

Sekedar info, minyak sawit yang pertama kali dipanen itu berwarna merah karena mengandung banyak sekali beta karoten/vitamin A. Namun, karena warna merah kurang disukai, minyak goreng dibuat agar menjadi warna kuning keemasan seperti sekarang ini. Dalam prosesnya vitamin A ini menjadi rusak dan harus ditambahkan kembali ke dalam minyak goreng sesuai aturan SNI.

Selain berpeluang untuk memenuhi kebutuhan gizi sebagai minyak goreng, minyak kelapa sawit itu bisa dimanfaatkan untuk banyak hal. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada 2017, sekitar 73% minyak kelapa sawit dimanfaatkan sebagai pangan (minyak goreng dan margarin) dan 27% sisanya dimanfaatkan sebagai untuk produk lain mulai dari kosmetik, pasta gigi, hingga biodiesel.

Maka dari itu, mungkin para pengusaha minyak di negeri Barat merasa terancam dengan potensi yang dimiliki minyak kelapa sawit. Karena sebesar 68% produk pangan dunia menggunakan minyak kelapa sawit, menurut paparan Prof. Purwiyanto.

Kelapa sawit dapat menghasilkan minyak goreng lebih banyak dibanding bunga matahari, kanola, dan kacang kedelai. Bila satu hektar bunga matahari menghasilkan 0,48 ton minyak dan kacang kedelai menghasilkan 0,38 ton minyak. Maka, satu hektar kelapa sawit dapat menghasilkan 4 ton minyak.

Saat ini, akibat Perang Rusia-Ukraina yang tidak berkesudahan, akhirnya pasokan minyak goreng dunia menjadi kurang. Banyak orang mau tidak mau beralih menggunakan apapun yang ada. Minyak goreng kelapa sawit yang dahulu dikucilkan dan mendapat diskriminasi kini menjadi dambaan bagi dunia. Kalau kelapa sawit buruk, terus kenapa tidak pakai minyak kelapa saja?

Kesimpulannya

Jangan benci kelapa sawit, seperti halnya "Don't judge a book by it's cover."

Karena minyak goreng kelapa sawit tidak melulu buruk. Memang ada yang buruk, tapi itu bukan karena minyak gorengnya, tetapi karena ulah manusianya yang tidak bertanggung jawab.

Yah, mungkin ini bias saya saja, seseorang yang lahir dari negeri penghasil minyak kelapa sawit. Tidak perlu terlalu dipikirkan lebih dalam lagi, karena saya juga bukan politikus, walaupun memang saya shio tikus 😁.

***

Sumber: [1], [2], [3], [4], [5]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun