Semakin dilarang, orang akan semakin penasaran untuk mengetahui hal yang dilarang tersebut. Itulah daya tarik sensor menurut teori Foucaldian.
Dengan melarang dan menekan suatu konten, sensor sebaliknya menghasilkan konten media yang mencerminkan konflik antara ideologi sensor dan ekonomi.
Kenyataannya, konten terlarang beredar dan diperjualbelikan secara bebas di dunia maya, menjadi peluang bisnis bagi segelintir orang.Â
Konten "biru" di sini merujuk pada konten pornografi.Â
Awalnya, penggunaan istilah "biru" ini diambil dari istilah "Blue Laws", yaitu hukum yang diberlakukan pada kelompok orang yang melakukan kegiatan yang bersifat tabu atau bertentangan dengan moral dan agama, seperti berkata kasar, minum minuman beralkohol, dan berjudi.Â
Hukum ini diterbitkan dalam buku yang berjudul General History of Conneticut (1781) dengan sampul biru. Sejak saat itu, hukum ini dikenal dengan sebutan Blue Laws.
Sekedar intermezzo, kalau di China bukan pakai warna biru, tapi warna kuning sebagai istilah halus dari pornografi. Istilah ini menjadi populer akibat pengaruh media dan budaya Barat.Â
Pada tahun 1894, Inggris menerbitkan majalah "Yellow Magazine", berisi kumpulan karya sekelompok penulis, yang terkadang mengandung konten yang berkonotasi erotika.Â
Kemudian di tahun yang sama, penulis ternama Inggris, O.Wilde, tertangkap karena kasus homoseksualitas.Â
Ketika ditangkap, O.Wilde terbukti memiliki majalah "Yellow Magazine" dan novel "The God of Eros" yang kebetulan memiliki sampul berwarna kuning. Kasus ini terbilang cukup sensasional. Dan sejak saat itulah, warna kuning diasosiasikan dengan pornografi dan hal-hal vulgar.
Bentuk-bentuk konten "biru" pun beragam, bisa berupa video/animasi, foto, gambar 2D/kartun, gim, dan karya tulis novel.Â
Di Indonesia, konten pornografi daring masih mudah ditemukan, sehingga tak dapat dipungkiri adanya kemungkinan anak-anak dan saudara/i kita yang masih belum cukup umur tidak sengaja mengakses konten "biru" tersebut.
Sebenarnya perihal konten "biru" ini tidak hadir lewat permainan daring saja. Tidak menutup kemungkinan bahwa konten ini dibagikan secara luring oleh teman sepermainan.
Jadi, bagaimana cara kita melindungi anak-anak dari konten "biru" ini?Â
Dalam hal ini, mulai dari orang tua hingga pemerintah punya peranan.
Perlindungan anak mulai dari lingkungan terdekat
Anak adalah selembar kertas putih yang digambar oleh orang tuanya.
Pertama, rasa ingin tahu anak pada hal-hal dewasa dan seksualitas bisa saja berasal dari orang tuanya.Â
Pada dasarnya, memiliki orang tua yang mesra dan keluarga yang harmonis adalah bentuk keluarga yang ideal. Akan tetapi, kemesraan orang tua ini akan ditiru oleh anak. Contohnya: tingkah anak SD bermain sebagai ibu dan ayah.
Bila orang tua terlalu mesra, seperti sering pergi hanya berdua dan melakukan public display of affection terlalu sering di depan anak. Anak secara tidak sadar akan merasa iri atau diasingkan, mendorong anak untuk menjadi lebih cepat dewasa dan ingin melakukan hal yang sama dengan orang tuanya, alias mencari pacar untuk memperoleh kasih sayang tambahan.
Jangan sampai alih-alih menjaga keharmonisan, anak malah salah meniru. Hal-hal yang seperti ini rasanya sepele, tapi "rasa ingin tahu dan mencoba" adalah suatu pisau bermata dua.Â
Kedua, mengawasi aktivitas dan pergaulan anak di luar rumah dan mendekatkan anak pada keluarga.Â
Sebisa mungkin ciptakan kondisi keluarga yang nyaman, sehingga membuat anak lebih betah di rumah. Ajak dan biasakan anak untuk menceritakan aktivitasnya di luar rumah. Dengan begitu, kita dapat memantau pergaulan si anak (remaja juga).Â
Konten porno bisa saja diperkenalkan oleh teman.Â
Ini pengalaman saya, saat itu saya masih duduk dibangku kelas 5 SD, tahun 2007. Selesai sekolah, ada jeda waktu sekitar 30 menit sampai kegiatan ekstrakurikuler dimulai. Anak-anak perempuan berkumpul untuk bermain bersama, kadang hanya untuk ngobrol.Â
Tapi suatu hari, seorang teman perempuan saya membuka pembicaraan tentang konten "biru" ini. Yah, saat itu saya tidak begitu paham, jadi saya juga tidak begitu ingat apa persisnya. Yang jelas, setelah pulang saya menceritakan hal itu pada mama saya.Â
Lalu, mama saya menasehati saya dengan tegas, "Jangan ingin tahu dan mencoba. Itu adalah hal yang tidak pantas untuk anak-anak." Mama saya menjelaskan alasan kenapa anak-anak dilarang untuk mengkonsumsi konten biru.
Meminimalisir pergaulan di luar, kita dapat meminimalisir paparan yang tidak dapat kita kendalikan.
Ketiga, pengawasan dan pengaturan aktivitas dalam rumah. Di rumah, kita bisa memasang parenting control pada gawai yang digunakan anak kita—laptop dan hp.Â
Cukup berikan gim dan video luring pada anak dan batasi akses daring. Kalau punya uang lebih, bisa membeli gawai-gawai yang didesain khusus untuk anak-anak.
Anak memiliki kemungkinan terpapar konten porno lebih tinggi di waktu luangnya, sehingga akan lebih baik bila waktu luang bisa digunakan untuk kegiatan yang positif, misalnya menggali hobi musik atau mengikuti les bahasa.
Keempat, yang paling penting, memberikan pengertian dan edukasi pada anak sesuai umurnya, agar anak tidak memiliki mental "biru".Â
Saya jadi ingat tentang kejadian kartun Spongebob Squarepants yang terkena sensor gara-gara Sandy si tupai mengenakan bikini. Menurut saya, sensor ini malah tidak perlu, karena sensor ini malah menimbulkan rasa penasaran pada si anak.Â
Lagipula, pada dasarnya Sandy adalah seekor tupai. Tidak ada hal yang berbau seksual pada seekor tupai. Baju yang ia kenakan hanya berfungsi untuk menunjukkan gendernya sebagai perempuan.
Perlindungan anak oleh Masyarakat dan Pemerintah RI
Tidak hanya sebatas konten pornografi, anak-anak juga harus dilindungi dari konten dewasa yang memuat adegan seksual dan atau kekerasan.
Masyarakat bisa aktif melaporkan situs-situs yang mengandung konten pornografi agar pemerintah dapat memblokir situs tersebut.
Melarang konten pornografi, bukan berarti memberi sensor kotak pada adegan ciuman. Bukan pula berarti menghilangkan seluruh komoditi yang dianggap dewasa atau memiliki rating 18 ke atas.Â
Pemerintah, lembaga sensor, dan masyarakat dapat bekerja sama menciptakan sistem terintegrasi untuk menyeimbangkan keduanya, contohnya Korea Selatan.Â
Korea Selatan menerapkan sistem yang terintegrasi dengan KTP pada aplikasi hiburan yang bisa diakses secara daring. Akses dan pembelian konten dewasa diberikan setelah verifikasi umur pengguna berdasarkan KTP. Mencegah anak untuk mengakses konten atau membeli konten dewasa.
Contoh lainnya negara China. Pemerintah China aktif dalam menggeledah dan memblokir situs yang mengandung pornografi.Â
Pemerintah China secara tegas melarang segala bentuk konten pornografi, sehingga lembaga sensornya yang ketat tidak terbatas pada film dan drama tv saja, melainkan juga drama radio, gim, dan karya sastra novel dan komik.
Akibat kegagalan sensor
Jepang adalah contoh kegagalan hukum dan penerapan sensor, karena masih banyak media yang memberikan "fan-service" dan menampilkan hal-hal yang tidak pantas beredar.
Lebih dari sekedar kegagalan, dengan berkembangnya budaya pornografi anak dan kejahatan seksualitas pada anak, Jepang telah membuat sebuah lingkaran setan.
---
Menurut saya, konten "biru" ini akan tetap ada selama adanya permintaan. Sulit untuk menghilangkan konten "biru" secara tuntas dari dunia maya. Bila pun dilarang, pasti tetap ada jalan untuk mengaksesnya selama ada kemauan, seperti halnya pembajakan.Â
Bahkan China dengan The Great Firewall-nya pun kalah dengan VPN. Jadi, yang bisa kita lakukan adalah berusaha sebisa kita untuk mencegah dan menjauhkan anak dan saudara/i kita dari paparan konten tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H