"Iya, Bu," jawabku singkat.
"Dari data yang saya peroleh, kamu sebenarnya punya banyak kemampuan ya, El. Hanya saja..."
"Hanya saja, saya sering  bolos ya, Bu?" sahutku kurang ajar. Kalau ibuku tahu, pasti aku dimarahi habis-habisan. Tidak baik memotong pembicaraan orang lain.
Untungnya Bu Hani tidak marah. Malah dia tertawa.
"Iya. Saya tahu. Mungkin kamu sudah bosan setiap kali bolos terus dipanggil Bu Ratna ke Ruang BP. Mungkin kamu juga sudah bosan setiap kali terlambat harus dihukum Pak Yani berlari keliling lapangan berkali-kali." Terdiam sejenak, Bu Hani lantas melanjutkan ucapannya. "Saya tahu, kamu sebenarnya anak baik. Kamu tidak punya pilihan lain jika harus bolos hari Selasa, karena ketiadaan biaya."
Aku mengumpat dalam hati. Ini pasti kerjaan Rini. Pasti dia sudah membocorkan kisah ini kepada Bu Kepsek.
"Saya tahu, kamu bukannya tidak tahu sopan santun kepada guru, El. Kamu hanya kesal karena menganggap kami semua tidak tahu kondisi kamu yang sebenarnya sehingga menghukum kamu setiap kali telat ataupun bolos sekolah."
"Saya tidak mau dikasihani, Bu," ucapku pelan. Ya, aku memang tidak punya apa-apa. Tapi aku tidak mau dikasihani. Karena itulah, aku tidak mau ada seorang pun tahu kondisiku yang sebenarnya. Hanya Rini tempatku bercerita dan mengeluh saat aku benar-benar butuh teman.
"Kamu jangan salahkan Rini." Aku mendongak memandang Bu Hani dengan heran. Darimana dia tahu aku sedang memikirkan Rini?Wah, apa Bu Han punya indera keenam? Apa dia bisa membaca batin seseorang?
"Mungkin kamu akan menyalahkan Rini karena hanya dia tempatmu curhat selama ini. Tapi tidak, El. Saya punya orang-orang tertentu yang bisa mengawasi semua murid-murid saya di sekolah ini. Terutama jika siswa tersebut punya kelebihan sepertimu."
Aku menarik napas lega. Jadi ternyata, Rini memang bisa dipercaya. Tapi siapa sih orang usil yang jadi kaki tangan Bu Hani untuk mengawasiku?