Mohon tunggu...
Melia Fitriani
Melia Fitriani Mohon Tunggu... Guru - guru, penulis, dan editor

Seorang guru yang gemar menulis fiksi dan menjadi editor lepas untuk naskah nonfiksi.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kutukan Editor

3 Desember 2019   22:41 Diperbarui: 3 Desember 2019   22:42 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Editor bukan hanya tentang profesi. Lebih dari itu. Ketika seseorang sudah terbiasa dengan tulisan yang selalu rapi dan benar menurut ejaan, dia akan menolak tulisan yang --meskipun bagus, tetapi tidak sesuai dengan kaidah. Saya menyebutnya "kutukan editor".

Misalnya saja hari ini. Saat semua orang tertarik dengan ide-ide yang dipaparkan seorang pemateri, saya justru merasa terganggu dengan adanya satu huruf kapital yang mendadak nyempil di tengah kalimat dalam tayangan slide. Pernah juga terjadi, seorang penulis buku dan editor yang tengah memberi materi kebahasaan pada sebuah kegiatan kedinasan, menuliskan kata "huruf" sebagai "hurub". Seisi ruangan manggut-manggut mendengarkan penjelasan dan membaca tulisan tersebut, sedangkan saya justru sibuk googling dan membuka KBBI daring. Ah, kadang memang aneh menjadi editor. Mengapa harus memusingkan semua hal remeh seperti itu? Sedangkan tidak mungkin bagi saya untuk menegur mereka 'hanya' karena kesalahan (yang dianggap) kecil seperti itu.

Perkara membaca buku pun menjadi sulit bagi saya. Entah sudah berapa banyak cerita yang tidak saya lanjutkan membaca, hanya karena tanda baca yang tidak sesuai, seperti titik pada dialog yang seringkali tertinggal di luar tanda petik. Tanda titik tiga pun mengganggu pemandangan ketika terlalu sering muncul, bahkan di tempat yang tidak semestinya dia ada. Terlebih lagi pada puisi.

Sebagai seorang guru, saya cerewet terhadap tulisan siswa di sekolah. Penulisan di- sebagai kata depan dan di- sebagai awalan misalnya. Jika siswa salah menuliskannya (dirangkai atau dipisah), maka saya akan meminta dia mengerjakan lagi hingga benar. Namun, hal seperti ini akan sangat jarang berlaku ketika menjadi editor.

Seorang editor, ketika menghadapi naskah dengan tingkat kesulitan yang tinggi, tidak akan bisa cerewet. Hanya perlu beberapa gelas kopi untuk begadang dan membetulkan naskah tersebut. Ironis memang. Seringkali penulis menganggap bahwa tugasnya hanyalah menuangkan ide dalam bentuk tulisan, tanpa perlu memperhatikan ejaan. 

Umumnya, mereka menganggap bahwa kerapian tulisan dan ejaan adalah pekerjaan editor. Padahal seharusnya (menurut saya), seorang penulis haruslah mumpuni mengenai semua hal tentang menulis. Bukan hanya tentang bagaimana cara menuangkan ide ke dalam bentuk tulisan, tetapi juga bagaimana cara menuliskan semua ide itu dengan baik dan benar. 

Masak sih, penulis dengan jam terbang tinggi tidak mengerti cara menuliskan di- sebagai kata depan atau di- sebagai awalan dengan benar? Sedangkan anak SD saja bisa. Itu salah satu hal yang sering mengganjal dalam benak saya.

Jadi, meskipun tidak ingin menjadikan editor sebagai sebuah profesi, setidaknya, jadilah editor untuk diri sendiri. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun