Mohon tunggu...
Melia Fitriani
Melia Fitriani Mohon Tunggu... Guru - guru, penulis, dan editor

Seorang guru yang gemar menulis fiksi dan menjadi editor lepas untuk naskah nonfiksi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Rawon Tiga Juta

17 November 2019   07:52 Diperbarui: 17 November 2019   07:48 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tempo hari, ada seorang sahabat berkunjung ke rumah. Seperti kebiasaan pada umumnya, kami berdua pun mengobrol dan menceritakan pengalaman masing-masing.

Ada satu pengalaman menarik yang sempat membuat saya tidak bisa menahan tawa, yaitu ketika dia menceritakan pengalamannya saat bepergian.

Ketika itu, sahabat saya, sebut saja Rima, hendak bepergian karena urusan bisnis ke ibukota negara. Dia berangkat berdua dengan rekan kerjanya. Ketika sampai di bandara, masih ada waktu beberapa menit sebelum jadwal keberangkatan pesawat. Rima duduk manis menunggu. Namun tidak demikian dengan rekan kerjanya. Mungkin karena lapar yang teramat sangat, dia mengajak Rima untuk menuju ke warung terdekat dan membeli rawon. Rima awalnya menolak, tapi karena tidak tega dengan rekan kerjanya tersebut, akhirnya berangkatlah mereka berdua menuju warung tersebut.

Usai makan rawon, mereka pun kembali ke bandara. Yang terjadi selanjutnya tentu bisa ditebak. Pesawat telah berangkat sepuluh menit yang lalu. Mereka ketinggalan pesawat! Karena pentingnya urusan bisnis yang harus mereka datangi, akhirnya mereka pun membeli tiket baru untuk penerbangan berikutnya.

Rima pun hanya bisa geleng-geleng kepala. "Baru kali ini saya merasakan makan rawon seharga tiga juta rupiah," katanya.

Saya tergelak mendengarnya. "Apa dia tidak tahu kalau sebentar lagi pesawat sudah mau lepas landas?"

"Sudah," jawabnya. "Saya sudah bilang kalau sebentar lagi pesawatnya datang. Tapi entahlah, mungkin dikira jadwal pesawat bisa molor ya?"

Lagi-lagi, saya tertawa. "Mungkin dikira, pesawat juga hobi ngetem berjam-jam seperti angkot ya, Rim?"

Rima hanya mengangkat bahu, masih kesal dengan pengalamannya naik pesawat terbang.

"Begitulah saat budaya molor sudah memengaruhi hidup kita," ucapnya kemudian. "Karena terbiasa tidak disiplin waktu, akhirnya semua berantakan. Yang ada hanya rugi waktu, rugi biaya, dan rugi tenaga."

Aku mengangguk mengiyakan. Disipin memang menjadi hal yang sederhana tapi sangat sulit dibiasakan jika tidak dilatih sejak dini. Untuk menumbuhkan kebiasaan disiplin pada anak, perlu adanya kerjasama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat sekitar.

Yuk, belajar hidup disiplin![]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun