Mohon tunggu...
Meliana Chasanah
Meliana Chasanah Mohon Tunggu... Penulis - Islamic Writer

Far Eastern Muslimah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Harga Daging Sapi Meroket, Swasembada Gagal Terwujud

9 Maret 2022   19:30 Diperbarui: 9 Maret 2022   19:32 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Meliana Chasanah

Setelah penjual tahu dan tempe mogok produksi, kini giliran pedagang daging sapi yang akan mogok jualan. Hal ini karena kenaikan harga daging sapi yang melonjak tajam beberapa pekan terakhir.

Para pedagang dan konsumen banyak mengeluhkan kenaikan ini. Menurut Dewan Pengurus Pusat Jaringan Pemotong dan Pedagang Daging Indonesia (JAPPDI), kenaikan harga daging sapi sejak Desember 2021 terpicu kenaikan harga sapi hidup di tingkat importir.

Lagi-lagi, importasi memengaruhi kenaikan harga. Sampai kapan Indonesia terus bergantung pada impor komoditas pangan? Harga daging sapi naik, swasembada gagal maning alias gagal terwujud kembali. Sejak lama Indonesia ingin bebas impor, apa daya negara seperti tidak bisa berbuat apa-apa dan belum berupaya semaksimalnya.

Maunya swasembada, apa daya negara tidak kuasa menghadapi "kecanduan" impor. Kebijakan ini selalu menjadi solusi instan dalam mengatasi kelangkaan atau kenaikan harga pangan. Mengutip dari kompas.com (27/2/2022), Kementerian Perdagangan merespons kenaikan harga daging sapi dengan menyiapkan langkah mitigasi akibat situasi global.

Menurut M. Lutfi, salah satu negara pengekspor sapi ke Indonesia, yakni Australia, mulai membatasi ekspor menjadi hanya 40% dari jumlah normal. Pemenuhan stok dan stabilitas harga sejumlah bahan pangan di dalam negeri setiap tahun terpengaruh kebijakan impor dari negara asal. Pada awal 2021, kenaikan harga daging juga terjadi setelah melonjaknya harga kedelai.

Mengapa polanya selalu sama? Penguasa seperti tidak memiliki jurus jitu untuk mengatasi persoalan impor pangan yang selalu jadi problem langganan. Swasembada pangan ibarat pepesan kosong yang nihil terealisasi.

Sementara, menurut Kementan, kenaikan harga daging sapi tidak seharusnya terjadi karena ketersediaan daging relatif aman hingga Ramadan dan Idulfitri nanti. Mereka meminta Satgas Pangan untuk menelusuri pelaku yang memainkan harga di pasaran. Berdasarkan data Kementan, ketersediaan daging sapi atau kerbau Februari---Mei 2022 sebanyak 240.948,5 ton, sedangkan kebutuhan sebanyak 238.211,8 ton sehingga masih ada surplus 2.736,7 ton. (bisnis.com, 25/2/2022)

Pemerintah selalu melihat masalah kenaikan harga daging hanya dalam satu aspek, yaitu ketersediaan stok daging. Mengapa pemerintah tidak mulai berpikir untuk melakukan ketersediaan daging dengan mengoptimalkan produksi daging sapi lokal? Menurut data BPS tahun 2020, terdapat 10 provinsi dengan produksi daging sapi terbesar di Indonesia, di antaranya Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatra Barat, Banten, DKI Jakarta, Sumatra Utara, Lampung, dan NTT.

Tidak adakah kemungkinan wilayah-wilayah sentra produksi sapi lokal tersebut dikembangkan agar bisa memenuhi pasokan daging dalam negeri? Semuanya bergantung pada kemauan dan komitmen negeri ini berlepas diri dari ketergantungan impor.

Alasan utama impor selalu berkutat pada permasalahan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang tidak sebanding dengan produksi dalam negeri. Jika stok dalam negeri tidak mencukupi, impor daging menjadi kebijakan mutlak bagi pemerintah.

Ketersediaan daging sapi, baik impor maupun lokal, sangat terkait dengan ketahanan pangan nasional. Ketersediaan daging sapi sama pentingnya dengan ketersediaan beras, gula, jagung, telur, unggas, kedelai, dan sebagainya yang merupakan kebutuhan manusia yang paling asasi. Kebutuhan ini tidak bisa ditawar-tawar mengingat pentingnya pangan bagi kehidupan umat manusia.

Permasalahan utama yang menjadi sumber masalah daging impor sejatinya bermula dari ada atau tidaknya kemauan dan komitmen pemerintah untuk melakukan swasembada daging. Permasalahan klasik yang selalu membuat negeri ini gagal swasembada daging ialah sistem penyediaan ternak dan model distribusi yang belum terurus dengan baik.

Apakah negara sudah mendukung perkembangan peternakan sapi dengan bibit unggul yang mampu meningkatkan produksi daging sapi di Indonesia? Apakah lembaga terkait---Kementan, Kemendag, dan Dirjen Peternakan---memiliki kesatuan visi dan misi dalam kemandirian persapian nasional? Sebab, kadang kala, faktor ego sektoral semisal kesalahan komunikasi antarlembaga baik dari sisi konsep ataupun program saling tumpang tindih sehingga terjadilah benturan antar lembaga.

Apakah negara sudah mengerahkan segala kemampuannya dalam melakukan pengawasan distribusi daging ke seluruh wilayah? Riayah seperti inilah yang sesungguhnya yang rakyat butuhkan. Bukan sekadar menyediakan stok daging, tetapi dari hulu ke hilir, para peternak sapi benar-benar mendapat pengarahan, pendampingan, atau pelatihan untuk menghasilkan sapi-sapi lokal berkualitas.

Kenaikan harga sejumlah komoditas pangan, taidk terkecuali daging sapi, mestinya cukup menjadikan penguasa negeri ini belajar dan mengoreksi diri. Impor bukanlah "kebijakan wajib" dalam menyelesaikan persoalan pasokan pangan dalam negeri. Rakyat berhak mendapatkan pasokan pangan yang bergizi dengan harga terjangkau. Terpenuhinya kebutuhan pangan akan menjamin kualitas kesehatan masyarakat.

Sumber daya peternakan, khususnya sapi potong adalah salah satu sumber daya alam yang dapat diperbarui yang berpotensi berkembang dalam memenuhi pasokan daging dalam negeri. Keberhasilan pengembangan usaha ternak sapi potong sangat ditentukan kebijakan negara dalam melakukan swasembada daging sapi.

Negara dapat melakukan strategi berikut dalam rangka swasembada daging:

Pengembangan wilayah berdasarkan komoditas ternak unggulan.

Pelatihan dan pengembangan untuk para petani peternak.

Peningkatan usaha dan industri peternakan.

Optimalisasi produksi daging sapi lokal melalui pengembangan teknologi tepat guna serta peningkatan bibit sapi unggul.

Adaptasi gaya hidup, agar masyarakat tidak berlebihan mengonsumsi daging.

Manajemen logistik, yaitu pengawasan produksi, konsumsi, dan distribusi daging ke seluruh wilayah negara.

Dalam sistem pangan Islam, negara bertanggung jawab penuh dalam kemandirian pangan. Sedangkan dalam kacamata kapitalisme, negara tidak sepenuhnya menjadikan pemenuhan kebutuhan asasi rakyat sebagai prioritas utama dalam kebijakannya.

Sejarah mencatat bahwa negara Khilafah memiliki ketahanan pangan yang sangat kuat. Sejak awal abad ke-9 Masehi, peradaban kota-kota besar muslim memiliki sistem pertanian yang sangat maju, irigasi luas, dan pengetahuan pertanian yang tinggi. Salah satu yang berkembang kala itu adalah industri gula.

Revolusi pertanian di masa keemasan Islam menjadikan negara Khilafah sebagai negara yang memiliki ketahanan pangan yang tangguh. Berbagai industri pangan mendorong lahirnya beraneka jenis masakan dan hidangan.

Dari sini pula peradaban Barat meniru industri pangan yang dikembangkan dunia Islam. Di sistem Islam, negara tidak akan sulit mewujudkan swasembada daging. Harga terjangkau, negara mandiri pangan. Wallahu a'lam bishshawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun