Dalam sistem ekonomi kapitalisme, pajak adalah salah satu sumber pendapatan negara. Negara pun memperoleh pemasukan dari retribusi (pemungutan semacam pajak yang berlaku ditingkat daerah), keuntungan BUMN, pencetakan uang kertas, serta dana hibah.
Pajak dalan sistem kapitalisme secara substansi diterapkan pada perorangan, badan usaha dan lembaga-lembaga masyarakat, tanah dan bangunan, barang produksi, perdagangan dan jasa sehingga masyarakat dibebankan pajak secara berganda.
Misalnya pajak penghasilan (PP), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan (PBB), dan sebagainya. Pajak ini diterapkan dari tingkat pusat daerah dengan berbagai nama dan jenis pajak. Maka tak heran jika bisnis online hingga selebgram menjadi sasaran pajak.
Penerapan pajak di berbagai barang dan jasa sangat membebani perekonomian rakyat. Akibatnya, pengenaan pajak menyebabkan harga barang dan jasa menjadi naik. Pajak yang menjadi salah satu sumber utama devisa negara tentu akan berdampak besar jika negara mengalami krisis ekonomi. Menaikkan pajak akan membebani rakyat, tapi menutupi defisit anggaran negara. Menurunkan tarif pajak pun akan mengurangi beban rakyat, tetapi negara akan mengalami defisit keuangan.Â
Sedangkan dalam sistem ekonomi Islam, sumber penerimaan negara yang masuk ke Baitul Mal (kas negara) diperolah dari; Fai (Anfal, Ghanimah, Khumus), Jizyah, Kharaj, Usyur, harta milik umun yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, Khumus Rikas dan tambang, harta orang yang tidak punya ahli waris, dan harta orang yang murtad.
Pajak dalam sistem Islam dikenal dengan istilah dlaribah, yaitu sebagai jalan terakhir yang diambil jika Baitul Mal benar-benar mengalami kekosongan anggaran negara dan sudah tidak mampu memenuhi kewajiban. Pajak diberlakukan atas kaum muslimin saja dan pengenaan pajak dilakukan dari sisa nafkah (setelah dikurangi kebutuhan hidup), dan harta orang-orang kaya yaitu dari sisa pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder yang makruf.
Pajak yang dipungut berdasarkan kebutuhan Baitul Mal dalam memenuhi kewajibannya. Pajak tidak boleh dipungut melebihi kebutuhan sebagaimana mestinya. Jika kebutuhan Baitul Mal sudah terpenuh dan sudah mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, maka pemungutan pajak harus dihentikan.
Dalam sistem Islam, pajak diterapkan atas individu (jizyah atas non muslim dan pajak atas kaum muslimin), tanah kharaj, dan cukai atas barang impor dari negara yang mengenakan cukai terhadap pedagang kaum muslimin, sehingga tidak memberikan beban ekonomi yang berat bagi masyarakat. Artinya, pajak dalam Islam hanya diterapkan secara insidental, bukan menjadi agenda rutinan sebagaimana yang kita saksikan setiap hari.
Menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pemasukan negara hanya akan memperburuk kondisi ekonomi negara. Berpotensi pula terhadap meningkatnya angka kemiskinan. Oleh karena itu, sudah waktunya negeri ini berbenah secara sistemis. Mengubah sistem yang membuat pajak menjadi begitu mencekik rakyat dengan menerapkan sistem Islam secara menyeluruh, agar kesejahteraan rakyat pun terjamin. Tidak ada lagi kemiskinan yang mendera rakyat.
Wallahu a'lam bishshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H