Ingat Jakarta, ingat saat saya masih kecil. Saat itu usia saya masih 4 tahun. Saya dan keluarga mampir ke rumah saudara setelah ayah saya wisuda di Bandung. Itulah pertama kali saya menginjakkan kaki ke Ancol, Taman Mini Indonesia Indah. Tak banyak kesan dari perjalanan ke sana.
Naik Bemo Pertama
Ketika paman saya menikah dengan orang Tasik, kami sekeluarga pun pergi ke sana. Usia saya saat itu sudah SMA. Saat itu juga saya tahu apa itu PRJ, Pasar Senen, Blok M, Tanah Abang, dan beberapa tempat lainnya.
Perjalanan kami dari satu tempat ke tempat lain menggunakan bemo. Tahu 'kan seperti apa bemo itu? Kendaraan ini mirip seperi bajaj atau memang mereka saudara kandung, ya? Hehehe
Oleh karena baru pertama kami ke sana dan jalan yang harus ditempuh lumayan jauh, maka bemo menjadi pilihan. Saya tidak tahu berapa ongkosnya, tetapi kata bibi bemo termasuk transportasi umum yang merakyat. Huft, saya juga enggak bayar ongkos kok. Jadi, tidak terlalu memikirkannya.
Menurut saya naik bemo itu seru--ada kemiripan dengan suara ktk (perahu pengangkut di atas sungai Musi)--, berisik, dan penumpangnya sedikit. Untuk yang bertubuh kecil, 1 bemo bisa bisa 4 orang. Ini untuk yang bertubuh kecil dan anak-anak dipangku orang tuanya, ya.
Kekurangan bemo yang lain adalah bahan bakarnya  mengeluarkan sisa pembakaran yang bikin perut mual. Asap dari bemo membuat saya terbatuk-batuk. Untung saja tempat yang kami tuju tidak terlalu jauh sehingga paparan karbondioksida tidak terlalu lama.
Tak Sengaja Mampir
Kedua kali saya ke Jakarta bisa dikatakan tidak disengaja. Sebelumnya, tidak ada niatan saya untuk mampir ke sana. Namun, takdir telah mengantarkan saya untuk bersilaturahmi dengan keluarga di sana. Teman-teman mau tahu ceritanya?
Baiklah, saya akan menceritakan bagaimana pengalaman saya menggunakan transportasi lain selain bemo di Jakarta, ya saat itu belum ada gojek, grab, atau maxim, ya. Kejadian ini terjadi di awal pernikahan saya.
Saya dan suami akhirnya memutuskan untuk berlibur ke kampung halaman suami di Solo. Ini kunjungan pertama dan sekaligus silaturahmi pertama dengan keluarga besar suami. Saya menikmati sekali liburan kali itu sehingga beberapa tempat wisata kami kunjungi.
Setelah waktu libur hampir selesai, kami memikirkan mau pulang memakai apa. Dengan berbagai pertimbangan, lalu diputuskan naik travel. Dalam pikiran saya saat itu, naik travel itu lebih ringkas.
Mobil travel sudah datang dan kami duduk persis di belakang sopir. Posisi yang menurut saya nyaman itu akhirnya menjadi pilihan. Perjalanan panjang pun dimulai.
Di tengah perjalanan, ternyata ada penumpang baru. Saat penumpang ini datang, saya mulai merasakan tidak nyaman. Bau tidak sedap mulai membuat perut saya mual meskipun saya menutup hidung. Ah, ternyata saya baru tahu bahwa orang yang baru saja naik membawa tuak atau ciu yang disimpan di kap mobil. Ini dikatakan oleh salah seorang penumpang.
Astaghfirullah, saya tidak menyangka hal itu terjadi. Beberapa penumpang yang lain pun merasakan hal yang sama. Saya katakan kepada suami untuk turun. Suami meminta saya untuk bersabar. Akhirnya, sampai di Jakarta kami minta turun. Saya tidak tahan dengan baunya dan sopir yang membolehkan penumpang membawa tuak yang haram.
Tanpa memikirkan biaya yang harus dikeluarkan lagi, saya menghubungi paman dan bibi di Jakarta untuk sekadar beristirahat selama 1-2 hari di sana. Alamat sudah di tangan kini tinggal mencari transportasi menuju ke sana.
Rasa syukur menyeruak di dalam dada. Saya bersyukur sudah tidak bersama barang haram itu. Begitu menemukan tempat untuk menghela napas, dengan cepat suami saya mencari nomor kontak taksi yang namanya sudah banyak dikenal.
Ada beberapa hikmah dari perjalanan yang berharga saya selama 2 kali berada di Jakarta. Pertama, pastikan transportasi yang akan membuat kita nyaman menggunakannya. Berjalan ini harus menyenangkan meskipun perjalanan dimaksudkan hanya sebagai rutinitas saja.
Kedua, saat di tempat asing, jangan terlihat seperti orang asing. Kondisi seperti ini akan dimanfaatkan orang lain untuk mendapatkan keuntungan dari kita.
Ketiga, pahami karakter orang setempat melalui media sosial.
 Tidak ada yang menjamin seseorang akan baik kepada kita, tetapi tetaplah berbuat baik pada orang di sekitar kita.
Takdir Sudah Tertulis
Dari kejadian satu kendaraan dengan penumpang yang membawa ciu atau tuak, saya yang tadinya tidak tahu seperti apa minuman haram itu. Kini menjadi tahun dan menyayangkan kenapa masih banyak orang yang mengonsumsinya. Akhirnya, qodha dan qadar Allah pastilah terjadi meskipun saya tidak berencana mampir ke Jakarta.
Kalaulah bukan karena takdir-Nya, saya pun tidak bisa menceritakan pengalaman saya berkendara di Jakarta. Ada rasa syukur yang hadir di tengah perjalanan pulang ke Palembang. Ah, beberapa hari setelah sampai di rumah, Allah ternyata memberi kabar gembira bahwa ada janin tinggal di rahim saya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI