***
"Bu Ranti, besok kita rewang di tempat bunda Darmi, ya. Pekan ini beliau akan menikahkan anaknya," ajak Tanti, tetangga di seberang rumahku. Sebelum bu Tanti mengajak, yang punya hajatan, bu Darmi telah lebih dulu datang ke rumahku. Beliau memintaku seminggu ini untuk membantu masak di acara pernikahan anaknya.
"Baik, Bu. Nanti aku ke rumah, ya. Kita bareng ke sana, ya, Bu," ucapku mengakhiri pertemuanku di warung sayur mbok Inah, yang letaknya tepat di depan rumahku. Suamiku yang melirik dari teras memperlihatkan wajah masamnya. Kulayangkan seutas senyum paling manisku kepada dia, lalu aku berbalik arah. Dengan sigap kutangkap senyuman itu.
"Kenapa sih ngintip? Kalau mau tahu, ikutan aja kenapa. Enggak bakal ada yang marah kok. Justru ngintip itu yang bikin sebal!" ujarku saat masuk ke rumah. Mas Budi diam saja, lalu kembali menonton TV. Ahad kali ini mas Budi banyak diam. Pagi-pagi sekali biasanya dia mencuci motor, tetapi kali ini tidak dilakukannya.
"Mbok yo iling toh, Bu. Belanja kok turu," omel mas Budi, dengan mata yang masih menatap TV. Aku terkesiap.
"Apa, Mas?" tanyaku tak mengerti.
"Yo, ora wani aku," balasnya. Aku tambah bingung. Ucapannya yang pertama saja sudah membuatku bingung, ditambah lagi dengan yang kedua ini. Kepalaku mendadak mumet.
Kudekati mas Budi. Kucubit tangannya. Kesal juga aku melihat tingkahnya pagi ini.
"Apa sih maksudnya? Mas marah sama aku?" tanyaku sambil menatap matanya. Namun, tatapanku selalu dihindarinya.
Begitulah mas Budi, dia akan menggunakan siasatnya yang paling jitu untuk mengomeliku. Â Awalnya sih aku tidak begitu memedulikan semua ucapannya, tetapi senyum mas Budi membuatku curiga. Aku betul-betul penasaran dengan maksud kata-katanya.
"Emang ucapan mas tadi itu apa artinya?" tanyaku ingin tahu. Bukannya menjawab pertanyaanku, mas Budi malah tertawa.