Pada zaman jahiliyah, kedudukan perempuan sangat rendah. Orang lebih menyukai anak laki-laki daripada anak perempuan.Â
Namun, setelah Islam datang, derajat wanita menjadi sangat terhormat. Banyak kisah yang menceritakan betapa Islam memuliakan seorang wanita.
Sangkin mulianya seorang wanita di mata Islam, ada satu surat yang dinamakan 'wanita', yaitu surat An Nisa'. Lihatlah betapa Allah begitu memuliakan seorang wanita. Di beberapa surat, wanita menjadi topik pembahasan.
Kita tahu bahwa kehidupan seorang anak manusia tidak akan terlepas dari wanita. Mulai dari alam kandungan sampai akhir kehidupan, wanita menjadi bahan utama yang banyak dibicarakan.Â
Misalnya, di awal penciptaan manusia, wanita sangat dibutuhkan oleh seorang laki-laki (Adam) untuk memberikan menghapus rasa sepi dan memberikan kesenangan. Terlihat sekali begitu pentingnya seorang wanita di kehidupan ini.Â
Ternyata peran penting seorang wanita bukan sebatas itu mengatasi kesepian atau memberi kesenangan saja. Wanita berperan lebih luas lagi ketika dia menjadi seorang ibu.
Seperti halnya syarat untuk membentuk sebuah keluarga sakinah, mawaddah warahmah, seorang laki-laki harus memilih seorang pendamping hidup yang baik. Salah satu kriteria itu adalah memilih wanita yang beragama.
"Wanita dinikahi karena 4 hal; harta, kecantikan, kehormatan, dan agamanya. Pilihlah wanita yang beragama, pasti engkau akan beruntung." (HR. Bukhari dan Muslim).
Kriteria terakhir itu ternyata adalah pilihan yang dianjurkan oleh nabi Muhammad SAW. Dengan memilih kriteria terakhir, diharapkan seorang wanita dapat menjadi istri dan ibu yang baik bagi keluarganya.
Pada kenyataannya, menjadi seorang ibu itu tidak mudah. Seorang wanita harus bisa merawat dan mendidik putra-putrinya dengan baik.Â
Mereka harus bisa mendidik anaknya mulai dari kandungan sampai besar. Tentu saja hal itu membutuhkan waktu, materi, dan tenaga yang tidak sedikit.
Dalam mendidik putra-putri tercinta, seorang ibu harus menyiapkan fisik, mental, dan keilmuan. Tidak heran bila ada seorang ibu yang kebingungan dalam mendidik anaknya. Padahal baik atau tidaknya seorang anak dimulai dari ibu. Ibu sebagai sekolah pertama bagi anak.
Wanita adalah guru. Rumah tangga adalah lahan yang akan menghasilkan ksatria-ksatria, cendikiawan, pemimpin di masa yang akan datang.Â
Sebagai istri, wanita itu tergantung kepada pembawaan suaminya. Kalau suaminya berada di jalan yang lurus dan benar, maka istrinya akan demikian juga.Â
Begitu juga dengan anak akan menurut didikan orang tuanya. Kalau anak berkembang menjadi anak yang tidak baik, maka yang disalahkan adalah orang tuanya yang tidak mendidik dengan baik.
Kenyataan yang beredar di sekitar bahwa wanita yang sibuk sering melalaikan rumah tangganya. Anak-anaknya bahkan tidak terurus dengan baik, lalu terbentuklah anak-anak yang berakhlak buruk.
Oleh karena ibu berperan sebagai sekolah pertama bagi anak, para ibu pun harus bisa menjadi pendidik yang baik.Â
Melalui perilaku dan ucapan yang keluar dari mulut seorang ibu, anak akan banyak belajar dan meniru. Sayangnya, para ibu sering terbawa emosi karena faktor kelelahan dalam melakukan pekerjaan rutinnya.
Semua wanita menyadari bahwa menjadi seorang ibu rumah tangga itu tidak mudah. Dia harus mengurus rumah tangganya selama 24 jam.Â
Mulai dari memperhatikan kebersihan dan kerapian rumah, kebersihan dan makanan anak, mandi, main, dan tidurnya anak. Semuanya harus menjadi perhatian ibu. Rutinitas itu dilakukan setiap hari tanpa libur. Meskipun sakit, para wanita ini harus kuat.
Allah SWT memberikan kelembutan di hati para wanita sehingga para wanita kadang harus melawan perasaannya sendiri. Di saat dia ingin istirahat, anak-anak merenggek tak karuan.Â
Para ibu harus mengontrol emosinya. Apalagi bila ibu itu bekerja di satu instansi. Mereka pun kadang turut memikirkan kebutuhan rumah tangga.
Jadi, tak heran bila ada seorang wanita bekerja yang sering terganggu emosi dan ucapannya. Keadaan yang membuat mereka menjadi seperti itu. Semua kebutuhan rumah tangga pun turut menjadi pemikiran ibu.
Dengan kebutuhan yang makin bertambah seiiring bertambahnya anggota keluarga dan pengeluaran, banyak wanita yang merelakan dirinya bekerja.Â
Harapannya, dia bisa membantu suami dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Bekerjanya seorang wanita dengan alasan seperti itu dibolehkan dalam Islam.
Di zaman dahulu, Istri Al Mahdi III dari daulat Abbasiyah, memangku jabatan kerajaan menggantikan suaminya.Â
Ada juga Turana, istri Al Makmun bin Harun Ar Rasyid yang aktif dalam mengembangkan berbagai cabang ilmu pengetahuan dan pandai dalam masalah-masalah politik. Wanita-wanita itu berperan sebagai istri dan menunjukkan kemajuannya masing-masing yang sesuai dengan syariat Islam.
Mereka tahu bahwa tugas wanita itu adalah seolah-olah tangan kanannya bertugas menangani urusan rumah tangganya, sedangkan tangan kiri menangani masalah-masalah sosial dan tugas lain di luar rumah.Â
Meskipun demikian, seorang wanita tidak boleh menampakkan perhiasan dirinya dan tetap melakukan kewajiban di rumah tangganya.
Allah memberikan hak yang sama, baik laki-laki dan perempuan. Seperti yang ada pada kalam Allah SWT.
"Wanita mempunyai hak yang sama seperti hak yang dimiliki oleh kaum pria dengan cara yang baik, dan bagi kaum pria mempunyai derajat aau kekuasaan terhadap kaum wanita." (QS. Al Baqarah: 228)
Dengan begitu, Islam tidak melarang kaum wanita untuk melakukan kegiatan dalam rangka mencapai kemajuan yang setinggi-tingginya, memilih pekerjaan yang sesuai, misalnya sebagai guru, sekretaris, perawat, dokter, bidan, dan lain sebagainya. Namun, dalam mencapai kemajuan diri itu, wanita harus menghindari pergaulan yang melampaui batas dengan kaum pria. Pergaulan bebas antara pria dan wanita itu bukanlah bentuk kemajuan diri bahkan bisa merusak perilaku bangsa.
"Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An Nahl: 97)
Wanita itu harus menyelesaikan urusan rumah tangganya, baru boleh pergi dalam rangka memajukan diri. Jangan sampai seorang wanita menyerahkan urusan rumah tangganya kepada pembantu atau orang tua.Â
Wanita juga harus menghindari tingkah laku yang seolah-olah ingin mengeluarkan diri dari perlindungan suami dengan mencari pekerjaan di luar rumah.
Sebenarnya, seorang wanita yang sejatinya adalah istri dan ibu dapat maju dan berkembang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan itu tidak selalu dikerjakan di luar rumah. Malah banyak kegiatan yang bisa dilakukan wanita dari rumah, salah satunya adalah menulis.Â
Wanita pun bisa menjalin kerja sama dengan yang lain dan itu sangat bisa dilakukan dari rumah. Dengan kemajuan teknologi, semua bisa dilakukan. Jadi, tidak ada hambatan bagi para ibu untuk mengembangkan diri pada bidang yang disukai.
Biar seorang ibu bisa melaksanakan perannya sebagai wanita yang kemajuan, ada baik betul-betul memikirkan dampak kemajuan itu bagi diri dan keluarganya.Â
Bila dengan berkegiatan itu akan memberi dampak yang buruk bagi dirinya, tumbuh kembang anak, dan keluarga, maka sebaiknya jangan dilakukan.
Para wanita yang berkemajuan pun harus paham betul niatnya dalam menjalankan kegiatan itu. Jangan sampai kegiatan yang dilakukannya hanya untuk bisa mandiri secara finansial saja. Yang mungkin akan berdampak pada rasa mandiri yang tidak kendali di dalam dirinya.
Wanita yang berkemajuan harus tepat memilih bidang yang akan digelutinya. Jangan sampai keluar dari fitrah seorang wanita, seperti menjadi pemain sepak bola atau pekerja malam. Sungguh itu keadaan yang di luar dari kemampuan para wanita.
Terkadang ada wanita yang bekerja hanya untuk berbagi keilmuan yang dia miliki. Ini bisa saja dilakukan. Hanya saja, wanita yang sekaligus telah menjadi istri dan ibu itu harus mengurus keluarganya sebelum ke luar rumah.
Para ibu boleh saja memajukan dirinya dalam rangka berlomba-lomba pada kebaikan dan ketakwaan. Itu sangat dianjurkan sekali. Kemajuan seorang ibu dianggap berhasil bila mampu mencetak putra-putri yang didambakan syurga.
Islam tidak pernah melarang para wanita untuk tampil maju. Hanya saja, ada rambu-rambu yang harus ditaati para wanita bila ingin bergerak di luar rumah. Mereka pun harus bisa menyelesaikan urusan di rumahnya dan tidak meninggalkan fitrah dari seorang wanita.Â
Bagi Islam, seorang wanita yang ingin memajukan diri diberikan kesetaraan dengan laki-laki. Jadi, yang perlu diingat adalah tetap berpegang pada pedoman alquran dan sunnah nabi Muhammad SAW.
Sumber:
Al asy'ari, Abu Bakar. 1981. Tugas Wanita dalam Islam. Media Dakwah.
Shalih, Syaikh Fuad. 2005. Untukmu yang akan Menikah dan Telah Menikah. Pusaka Al Kautsar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H