ramadan saya semasa kecil dulu. Cerita yang menjadi kenangan ada dalam ramadan. Mulai dari puasa di siang hari, sahur di waktu fajar, sampai tilawah dan tarawih di malamnya.Jika saya melihat anak-anak yang tidak ikut tarawih pada waktunya, maka saya pun nyaris melakukan hal yang sama.Â
Masa kecil adalah masa yang penuh cerita dan ceria. Begitu pun denganRakaat tarawih sering saya kurangi dari rakaat yang dikerjakan jamaah. Ih, berasa nakal banget pada saat itu. Namun, salat isya tetap saya kerjakan dengan tuntas.
Jika para anak-anak sekarang masih asyik makan di barisan belakang, maka saya pun melakukan hal yang sama. Hal itu saya lakukan agar tetap terjaga sampai ceramah selesai. Jadi, saya dan teman-teman belum pulang sebelum dapat tanda tangan penceramah.
Satu ceramah yang saya ingat adalah tentang lailatul qadar. Kata bapak penceramah, lailatul qadar itu adalah malam seribu bulan yang ada di 10 malam terakhir ramadan. Pada malam itu Allah swt. memberikan keutamaan.
"Barang siapa yang pada malam lailatul qadar mengerjakan ibadah dan berdoa dengan penuh keimanan yang dipersembahkan semata-mata untuk Allah, akan diampuni dari segala dosanya yang terdahulu dan yang akan datang."
(HR Ahmad dan Thabrani).
Beliau juga memberikan ciri-ciri malam lailatul qadar seperti suasana yang tenang tanpa bintang. Oleh karena keutamaan malam lailatul qadar itu, saya akhirnya berusaha mencari lailatul qadar dengan cara saya sendiri. Ya, cara anak-anak yang sangat kanak-kanak itu saya lakukan saat itu. Demi mendapatkan lailatul qadar, saya rela tidur larut malam.
Emak yang mengetahui kebiasaan saya itu akhirnya menjelaskan bahwa lailatul qadar itu didapatkan dengan cara beribadah ikhlas kepada Allah swt. Orang yang mendapatkan lailatul qadar akan diampuni dosanya di masa lampau sampai dosanya yang akan datang.
Seperti yang ada pada Qs. Al Qadar: 3-4
"Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar."
'Yah, jadi selama beberapa malam itu, semua usahaku untuk mendapatkan lailatul qadar itu sia-sia?" pikir saya saat itu.
Hal-hal yang gaib seperti malam lailatul qadar itu harus menjadi bagian dari keyakinan kita sebagai umat Islam. Seperti halnya angin yang tak terlihat, lailatul qadar pun. Hal seperti itu bisa dirasakan oleh pribadi masing-masing dan berimbas pada kenyataan yang ada.
Seperti halnya 'mabrur' yang tersemat pada jamaah gaji atau umroh, orang yang mendapatkan keberkahan malam lailatul qadar pun akan tampak pada perilaku sehari-hari. Yang melakukan amal kebaikan bukan hanya di 10 malam terakhir ramadan saja.Â
Mereka pun melakukan amalan baik sebelumnya bahkan berlanjut sesudah ramadan. Orang seperti itu tidak banyak. Namun, setiap  orang memiliki peluang untuk mendapatkannya.
Kita masih bisa mengejar ketertinggalan tilawah dengan membaca beberapa halamannya. Kita bisa memperbanyak salat malam semampu kita. Kita bisa membantu keluarga dengan tenaga yang kita miliki. Ya, kita masih bisa melakukan banyak hal. Kita masih bisa beramal baik untuk sesama.
"Sayang banget bila kesempatan untuk mendapatkan lailatul qadar di 10 malam terakhir ini disia-siakan. Malam itu hanya ada pada 1 bulan dalam setahun. Entah tahun depan apakah diri ini masih bertemu dengan ramadan."
Kalimat itu sebagai pematik agar terus berbuat baik selama ramadan. Tidak ada yang tahu siapa yang akan mendapatkan lailatul qadar. Yang terpenting untuk dilakukan sekarang adalah berlomba-lomba. Siapa tahu kita adalah salah satu di antara pemenangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H