Suasana ramadan yang kutunggu akhirnya tiba juga. Malam ini, ramadan kedua di perantauan. Aku tersenyum sedih mengingat wajah kedua orang tuaku yang tersenyum dalam angan-angan. Ramadan kali ini aku dan keluarga belum bisa bertemu seperti ramadan sebelumnya.
Rindu. Itulah kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku itu. Ah, mataku yang berbinar tadi langsung berubah saat Nissa, anak semata wayangku  menyodorkan bungkusan kepadaku. Aku tersenyum dan buru-buru mengusap mataku yang mulai mengembun.
"Apa ini, Nisa?" tanyaku spontan dengan tersenyum.
"Ini buat Bapak dan Ibu, dari anak-anak TPA. Mereka patungan untuk membelikan hadiah buat Bapak dan Ibu," senyum gadis belia itu.
"Loh, hadiah apa ini, Nis? Ibu dan Bapak 'kan enggak berulang tahun."
Aku kebingungan dengan ucapan Nissa. Aku tahu bahwa kehidupan banyak anak TPA di sini cukup memprihatikan sehingga anak-anak itu bebas iuran per bulan. Â
"Nissa juga enggak tahu, Bu. Tadi Mini memberikannya kepada Nissa. Katanya ini untuk hadiah ramadan buat Bapak dan Ibu. Sudah terima saja, Bu," ucap gadis itu polos.
Bungkusan yang diberikan Nissa tadi kuletakkan di sampingku. Aku tidak mau membukanya. Memang memberi hadiah itu baik, tetapi adakah alasan khusus anak-anak TPA memberi ini. Yang kutahu sebuah hadits Bukhari tentang memberi hadiah.
"Salinglah memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai."
"Oke, kalau begitu nanti Ibu akan tanyakan sama teman-teman Nissa, ya," ucapku agar tidak memperpanjang cerita.
Sorenya, aku datang ke TPA. Anak-anak sudah siap dengan meja dan bukunya. Mereka selalu seperti itu. Siapa yang datang duluan, maka akan membereskan tempat untuk belajar. Meskipun anak-anak perempuan yang melakukannya.
Mataku melihat Fina, Tasya, Azka, Doni, dan yang lain secara bergantian. Rupanya Mini menunduk ketika kutatap wajahnya. Mungkin dia malu kepadaku. Aku mendekati gadis kecil itu.
"Terima kasih ya, Mini. Hadiahnya sudah dikasihkan kepada Ibu." Aku membuka pembicaraan. Kali ini Mini berusaha mendonggakkan kepalanya. Dia tersenyum malu.
"Mini dikasih Mama uang buat beli hadiah itu?" tanyaku sedikit mengintrogasi. Mini menggeleng.
"Lalu, dapat duit dari mana kok bisa membeli hadiah itu?"
Mini masih terdiam. Beberapa teman mendekati aku dan Mini. Mereka mencoba menyimak pertanyaanku kepada Mini.
"Hadiahnya itu dari kami juga, Bu, tapi Mini yang banyak menambahkan," ujar Fina.
"Tasya hanya bisa memberi 10 ribu, Bu," ucapnya sedih.
"Aku 5 ribu, Bu," lanjut Doni.
"Kalau ada uang 2 ribu. Itu dari aku, iya 'kan Min?" seru Azka penuh semangat.
Air mataku hendak menetes. Di antara anak-anak TPA, memang hanya Mini yang ekonominya lumayan berkecukupan. Aku yakin dia pasti menambah banyak.
"Wah, orang tua kalian tahu kalau kalian mau memberi hadiah kepada Ibu?"
"Tahu, Bu, tapi emak dan abah tidak bisa membantu. Itu uang simpananku bertahun-tahun, Bu," keluh Yoga.
Aku menepuk punggung tangan Yoga. Ternyata anak sejahil Yoga pun bisa diajak bersedekah. Salut aku mendengar ucapannya.
"Mini hanya menyampaikan uang dari teman-teman kepada Ibu Mini. Ternyata, Ibu membelikan mukena dan sarung sebagai hadiah untuk Ibu dan Bapak. Ibu bilang selama ini Ibu dan Bapak tidak dibayar, maka sebagai hadiahnya Ibu membelikan itu," jelas Mini secara lengkap.
Aku terharu. Ada rasa haru yang tertahan di dadaku sehingga membuat napasku tercekat. Ternyata, wali santri pun memikirkan kami."
Diam-diam aku membayangkan saat membuka kado itu dan memakai mukena pemberian anak-anak. Betul memberi hadiah akan membuat rasa cinta itu muncul.
Malamnya, kubuka pemberian santri-santri TPA itu bersama suami. Ada mukena putih dengan bordir sederhana berwarna cokelat dan sarung Al Hazmi, Sarung batik Khas Kudus Jawa Tengah dengan warna dominan hitam putih, bermotif kudusan klasik. Mataku berkaca melihat keindahan sarung itu.
"Ternyata anak-anak betul-betul membuat ayah terharu, Bu."
Aku mengangguk mendengarkan ucapan suamiku. Ternyata suamiku tidak bisa menahan keharuan yang dirasakannya. Segera saja dia mengambil sarung itu dari bungkusnya.
"Masya Allah, ayah suka sarung ini, Bu!" ucap suamiku sambil mengenakan sarung itu.
"Mereka patungan membelinya untuk kita, Ayah. Mari kita mendoakan mereka, Yah," ajakku.
Lalu, di dalam hati kami memanjatkan doa untuk para santri. Doa yang sama, yang selalu kupanjatkan untuk santri-santri itu. Kali ini, isinya kutambahkan lagi.
"Ya Allah, jagalah mereka dari keburukan dunia-akhirat. Jagalah hati mereka untuk terusmengingat-Mu. Tambahkan ilmu-Mu yang luas untuk mereka. Lapangkan rezeki mereka agar dengannya mereka bisa berbuat baik."
Sejenak kutolehkan kepalaku sedikit ke kiri. Kulihat mulut suamiku berkomat-kamit dan tangannya masih menengadah. Entah doa apa yang dia ucapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H