"Apa Abang tidak minder setelah melihat rumahmu, Fa?" tanyaku sambil memukul lenganku ke kasur empuknya.
"Aku kira tidak bahkan dia mengatakan untuk menikahiku dengan lugas," ucap Ifa.
"Keren ya. Kalau aku menjadi Abang, aku akan lari dulu. Status sosial kalian kan sangat jauh berbeda," jelasku.
"Tidak ada yang membedakan aku, kamu, atau Abang, kecuali keimanan," terangnya.
"Hah, temanku yang satu ini setelah berjilbab sudah semakin pintar!" seruku.
"Aku hanya mengimbangi jilbabku dengan pengetahuanku. Ya, itu karena ilmu yang kupunyai sangat sedikit. Buku hijrahnya Abang membuatku sedikit banyak belajar."
"Aku masih bingung, Fa. Mengapa kamu bisa secepat itu berubah, sedangkan aku belum melakukan perubahan."
"Berubahlah dulu, semoga nanti kamu akan mendapati hidayah yang kumaksud."
Aku tertegun dengan ucapannya. Berubah lalu mendapat hidayah. Ah, membingungkan sekali.
Aku memejamkan mataku, disusul Ifa yang tertidur di dekatku. Rencana pertamaku berhasil. Aku berhasil membuat Mama menyapa Ifa.
Kupandangi teman di sampingku. Aku merasa kasihan kepada melihat gadis ini. Sudah tinggal sendirian, tidak dipedulikan lagi. Malangnya Ifa. Mungkin untuk saat ini menikah baginya belumlah tepat untuk dilaksanakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H