Mohon tunggu...
Fadhel Muhammad Has
Fadhel Muhammad Has Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa S1 UIN ANTASARI BANJARMASIN

Mahasiswa S1 Uin Antasari Banjarmasin Fakultas Ushluddin dan Humaniora Prodi Aqidah dan Filsafat Islam -Pengurus Senat Mahasiswa Universitas Islam Negeri Antasari Fakultas Ushluddin dan Humaniora SEMA FUH 2023-2024 -Pengurus Pusat Forum Senat Mahasiswa Ushluddin Indonesia FORSEMADINA 2023-2025.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Realita Pahit di Balik Mitos "Banyak Anak, Banyak Rejeki" di Indonesia

11 April 2024   13:10 Diperbarui: 23 April 2024   21:03 1871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa tahun terakhir, wacana "banyak anak, banyak rejeki" sering kali menjadi pembicaraan di kalangan masyarakat Indonesia. Namun, di balik slogan yang terdengar menjanjikan tersebut, ada realitas pahit yang seringkali terabaikan. Sebagian masyarakat Indonesia masih memandang anak sebagai investasi, terutama di daerah pedesaan. Mereka percaya bahwa memiliki banyak anak akan membawa berkah dan keberuntungan bagi keluarga mereka. Namun, apa yang seringkali terjadi adalah nafkah yang diberikan kepada anak-anak tersebut jauh dari cukup, bahkan asal-asalan.Slogan "banyak anak, banyak rejeki" sebenarnya bukanlah gagasan asli dari budaya Indonesia. Slogan tersebut telah diwariskan dari era kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda menggunakan slogan ini untuk menciptakan surplus tenaga kerja gratis dan membantu melunasi hutang-hutang mereka. Ironisnya, hingga saat ini, slogan tersebut masih saja mengakar kuat di kalangan masyarakat Indonesia.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyaknya anak dalam sebuah keluarga seringkali membawa dampak negatif, terutama dalam hal ekonomi. Salah satu dampak yang paling nyata adalah tingginya kasus stunting di Indonesia. Stunting, atau gagal tumbuh, adalah masalah kesehatan serius yang disebabkan oleh kekurangan gizi pada masa pertumbuhan anak. Indonesia menempati peringkat ketiga dengan jumlah kasus stunting tertinggi di dunia, dengan lebih dari 30% anak di bawah usia lima tahun mengalami stunting.

Tidak hanya itu, banyaknya anak dalam sebuah keluarga juga seringkali menjadi hambatan bagi pendidikan anak-anak. Banyak anak yang terpaksa putus sekolah karena tidak mampu melanjutkan pendidikan mereka. Mereka terpaksa mencari pekerjaan untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga.

Selain itu, fenomena pekerja anak dan pekerja di bawah umur juga masih menjadi masalah serius di Indonesia. Banyak anak yang seharusnya bermain, belajar, dan berkembang, malah terpaksa bekerja demi mencukupi kebutuhan hidup keluarga mereka. Kondisi ekonomi yang tinggi dan masih rendahnya kesadaran akan pentingnya perencanaan keluarga menjadi faktor utama dalam mempertahankan mitos "banyak anak, banyak rejeki" ini.

Sudah saatnya masyarakat Indonesia menyadari bahwa memiliki banyak anak bukanlah jaminan untuk meraih keberuntungan. Sebaliknya, perlu adanya kesadaran akan tanggung jawab orang tua dalam memberikan nafkah yang cukup dan kualitas hidup yang layak bagi setiap anak mereka. Hanya dengan cara itu, Indonesia bisa melangkah maju menuju masa depan yang lebih baik dan lebih berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun