Semakin mendekati hari pencoblosan, semakin naik pula tensi persaingan yang muncul di antara pasangan calon. Tidak terkecuali Kota Surabaya yang saat ini mengikuti Pilkada Serentak tahun 2020. Surabaya yang menjadi salah satu pusat perhatian di kontestasi elektoral ini selalu memperlihatkan sengitnya persaingan di antara mereka.
Baru-baru ini, Eri Cahyadi - Armudji banyak menjadi perbincangan publik warga Surabaya. Bagaimana tidak, pasangan calon yang diusung partai PDIP dan PSI dinilai oleh banyak kalangan minim program kerja. Mereka hanya mengandalkan kepopuleran dan program kerja Risma.
Dalam masa kampanye ini, jargon "Meneruskan Kebaikan" sangat santer terdengar di telinga masyarakat. Setiap Eri Cahyadi ataupun Armudji datang berkampanye, jargon itu tidak luput untuk disampaikan, disamping juga menyampaikan program kerja yang akan dilakukan kelak mereka terpilih menjadi Walikota dan Wakil Walikota Surabaya.
Menurut para pengamat, jargon yang dimiliki oleh Eri Cahyadi dan Armudji dinilai kurang menarik dan terkesan memanfaatkan panggung kebesaran Tri Rismaharini. Eri Cahyadi dan Armudji dinilai tidak mempunyai cukup program yang inovatif serta masih mengandalkan program kerja yang sudah di jalankan oleh pendahulunya.
Kalau di telisik lebih jauh, program kerja yang di buat oleh Tri Rismaharini belum sepenuhnya diimplementasikan di Surabaya. Masih banyak di temui di berbagai wilayah masih terdapat lingkungan kumuh dan kesejahteraan masyarakat yang sangat timpang. Banyak pengamat berpendapat bahwa tidak cocok rasanya Paslon ErJi mempopulerkan jargon tersebut, di saat masalah pembangunan dan ketimpangan sosial masih terasa.
Sejak awal di calonkan Eri Cahyadi dan Armudji terkesan selalu memanfaatkan dan berlindung di balik kesuksesan program Risma. Sejauh ini diantara mereka jarang sekali menyampaikan program kerja baru yang inovatif dan solutif. Dari sini muncul stigma "calon boneka PDIP" yang sengaja di suarakan oleh sebagian kalangan masyarakat.
Banyak warga Surabaya berpendapat bahwa kemunculan Eri Cahyadi dan Armudji menjadi pemimpin Surabaya dengan membawa misi melanjutkan program Risma dinilai kurang efektif. Dikarenakan banyak sekali program pemerintah yang belum bisa dijalankan secara maksimal dan perlu untuk di revisi. Masyarakat membutuhkan program baru yang bisa memperbaiki kehidupan mereka.
Di berbagai wilayah, banyak warga yang justru kurang menaruh simpati dengan pencalonan Eri Cahyadi - Armudji. Bagi masyarakat, terutama yang bermukim di wilayah yang minim disasar program pemerintah, memilih pasangan ErJi sama halnya dengan melanggengkan ketimpangan yang ada saat ini. Mereka menganggap selama ErJi tidak membuat program baru yang inovatif dan solutif, mustahil suara pemilih Surabaya akan mengalir ke mereka.
Dalam debat perdana yang dilangsungkan pada awal bulan November lalu, paslon nomor urut 01 kurang lihai dalam memaparkan program kerja yang inovatif. Dalam sesi debat yang berlangsung, statement yang dikeluarkan oleh Eri Cahyadi dan Armudji selalu kaku dan selalu berpegang kepada keberhasilan Risma. Hal inilah yang banyak di keluhkan masyarakat, termasuk pendukung fanatiknya.
Sejatinya, dalam kompetisi elektoral adu gagasan dan adu program sudah menjadi keharusan bagi setiap pasangan calon. Di perlukan program baru yang inovatif dan solutif demi kemajuan daerah. Program kerja yang lama patut untuk di contoh selama bisa membawa manfaat bagi masyarakat, namun bisa juga di koreksi dan dimunculkan gagasan yang baru. Karena sebenarnya kebijakan publik itu tidak ada yang sempurna, butuh pembaharuan dan kritikan dari semua lapisan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H