Mohon tunggu...
Meldy Muzada Elfa
Meldy Muzada Elfa Mohon Tunggu... Dokter - Dokter dengan hobi menulis

Internist, lecture, traveller, banjarese, need more n more books to read... Penikmat daging kambing...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Tidak Memberitahukan Penyakitnya kepada Pasien, Bolehkah?

23 Februari 2022   17:36 Diperbarui: 24 Februari 2022   04:06 1752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dok... kami minta penyakit ini tidak usah diceritakan kepada mama kami, takutnya beliau tambah drop".

Kalimat ini pasti sering didapatkan oleh dokter yang menangani pasien, khususnya lagi ketika diagnosa penyakit tersebut adalah diagnosa yang bersifat terminal. Misalnya kanker (keganasan), penyakit ginjal kronik, gagal jantung dan lain sebagainya. 

Di satu sisi keluarga menyakini bahwa dengan tidak memberitahukan penyakit sebenarnya kepada pasien (keluarganya), maka pasien tersebut akan menjadi lebih baik, hidupnya bersemangat dan diyakini akan membantu kesembuhan pasien.

Namun di sisi lain, tentu dokter memahami bahwa pasien berhak untuk mengetahui diagnosa yang sebenarnya.

Ternyata, dari kalimat tidak usah diceritakan kepada pasien tersebut, sangat berpengaruh terhadap bagaimana perjalanan pasien di kemudian hari.

Ketika keluarga meyakini bahwa dengan tidak menceritakan, keadaan akan baik-baik saja, justru dari sudut pandang pasien hal ini akan menyebabkan keterlambatan, alih-alih menyebabkan pasien menjadi tidak siap ketika suatu saat penyakit ini diketahui pasien dengan sendirinya.

Sebelum kita bahas tentang kasus di atas lebih lanjut, maka sebaiknya kita sedikit membahas tentang terapi paliatif.

Dari tulisan yang sebelumnya tentang terapi palitif, pengertian terapi paliatif adalah pendekatan yang meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah kesehatan yang mengancam jiwa, melalui pencegahan dan tindakan untuk mengurangi nyeri, masalah fisik, sosial, dan spiritual yang dihadapi pasien selama pengobatan. 

Terapi paliatif ini diberikan kepada pasien yang sudah diputuskan menderita penyakit terminal seperti kanker, penyakit ginjal kronik tahap end stage, gagal jantung, sirosis hepatis (hati) dan lainnya.

Jadi apa maksudnya? 

Maksudnya adalah ketika pasien dinyatakan sebagai terapi paliatif maka tujuan utama bergeser, dari yang awalnya adalah kuratif/penyembuhan menjadi tujuan meningkatkan kualitas hidup pasienn, berdamai dengan penyakit yang ada di dalam tubuhnya dan mempersiapkan sedini dan sematang mungkin untuk hal yang terjadi dikemudian hari, termasuk ketika pasien meninggal dunia.

Sebagai contoh, seorang pasien wanita usia 70 tahun terdiagnosa kanker paru-paru, maka dokter selanjutnya akan melakukan penilaian apakah pasien ini akan dilakukan pengobatan untuk menyembuhkan atau pengobatan untuk mengurangi penyebaran kankernya, mengurangi nyeri dan progresivitas penyakitnya. 

Ketika disepakati bahwa kanker pasien tersebut sudah tindak lanjut dan pengobatan tidak memungkinkan untuk menyembuhkan, hanya untuk perbaikan kondisi klinis saja (meningkatkan kualitas hidup), maka pada saat itulah diputuskan bahwa pasien ini masuk dalam terapi paliatif. Justru keputusan ini diambil pada saat pasien masih kondisi baik, sadar, berpikir normal dan bugar, bukan pada saat pasien sudah dalam keadaan koma atau sakit berat baru dikatakan terapi paliatif.

Apa tujuan dari semua ini?

Tujuannya adalah untuk kebaikan pasien dan mencegah terlantar. Ketika diputuskan terapi paliatif, pasienakan mempersiapkan diri sedini mungkin untukhal yang paling tidak diharapkan.

Pasien tentu akan membuat keputusan-keputusan terkait kalau sudah mendekati ajal, apakah perlu dibawa ke rumah sakit atau di rumah saja, andai di rumah sakit apakah perlu masuk ICU atau di bangsal saja, andai terjadi henti jantung apakah perlu dilakukan resusitasi jantung paru atau tidak usah. 

Bahkan lebih dari itu, pasien tentu akan saling berdiskusi dengan anggota keluarga, biaya pengobatan selanjutnya menggunakan uang siapa, pembagian warisan sudah disiapkan sedini mungkin, jika meninggal dikuburkan ke mana, dan selanjutnya pasien akan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dia akan meyakini bahwa kematian itu pasti terjadi kepada setiap orang dan tentunyapasien ingin meninggal dalam keadaan yang baik, dalam keadaan beriman sesuai dengan agamanya masing-masing.

Bayangkan, jika seperti kasus di awal pasien tidak diberitahu tentang penyakit yang diderita. Keluarga hanya memberitakan hal-hal bagus yang membuat pasien menjadi tidak sadar terdapat penyakit yang sebenarnya cukup berbahaya.

Yang terjadi adalah ketidaksiapan pasien, dan tiba-tiba saja pasien masuk ke rumah sakit dalam keadaan yang sudah jelek, penurunan kesadaran bahkan koma, tanpa pasien mempersiapkanterlebih dahulu kalau beliau akan meninggal apa saja yang harus dilakukan sesuai keinginan pasien. 

Tidak sedikit kasus terjadi perdebatan keluarga apakah pasien perlu masuk ICU atau tidak, entah karena masalah pemikiran atau masalah biaya. Ketika pasien meninggal pun sering terjadi perdebatanapakah langsung dimakamkan, dimakamkan di mana dan lain sebagainya.

Hal ini tentunya dapat diminimalisir andai terapi paliatif berjalan dengan baik dan pasien sudah memutuskan bagaimanadan apa yang dilakukan pada saat hal ini terjadi.

Yang menjadi perdebatan dan alasan keluarga mencegah pasien tahu penyakit sebenarnya adalah ketakutan bahwa pasien akan menjadi sedih bahkan depresi yang akhirnya justru berbahaya bagi dirinya.

Ketakutan ini kadang memang murni karena mencemaskan keadaan pasien tersebut, tapi dilain pihak ketakutan ini sendiri karena keluarga juga tidak mau susah ketika pasien menjadi sedih, akhirnya nanti keluarganya sendiri yang akan repot untuk kembali membawa pasien ke dokter, ke psikolog ataupun ke psikiater. 

Tapi memang sebenarnya, terapi paliatif ini tidak hanya melibatkan tenaga medis (dokter, perawat, farmasi, ahli gizi), tetapi juga melibatkan dukungan keluarga dan orang sekitar.

Pasien ketika diberitahukan penyakitnya, adalah hal yang wajar ketika dia menjadi sedih dan masuk ke dalam tahap kesedihan.

Berdasarkan teori oleh Dr. Elisabeth Kubler-Ross, dijelaskan bahwa tahap kesedihan terbagi menjadi 5 tahap yang harus dilewati yaitu denial (menyangkal), anger (marah), bargaining (menawar), depression (sedih), dan acceptance (menerima). 

Pada akhirnya pasien akan masuk ke tahap penerimaan, namun jangka waktu memasuki tahap tersebut masing-masing individu berbeda.

Maka, daripada itu, jika keluarga memang perhatian dan sayang dengan pasien, maka harus memotivasi pasien untuk bisa melewati tahap-tahap yang ada dan masuk ke tahap penerimaan.

Tahap penerimaan inilah nanti yang akan menjadi puncak kesadaran pasien sehingga pasien akan mempersiapkan diri sebaik mungkin bagaimana menghadapi hal yang akan terjadi dimasa depan.

Tahap denial atau menyangkal adalah tahap yang paling penting agar pasien ditemai oleh keluarga dekatnya, dibantu oleh dokter dan tenaga medis lainnya.

Tahap ini biasanya memakan waktu yang lebih lama dibandingkan tahap lain, karena pada saat ini pasien masih berusaha mengatakan bahwa dirinya sangat sehat dan baik-baik saja. Badannya kuat dan tidak mungkin penyakit ini bisa membahayakan dirinya. 

Pada tahap ini juga kadang pasien akan lebih banyak berobat baik ke tempat fasilitas kesehatan lainnya untuk meminta second opinion, bahkan ke tempat pengobatan alternatif demi mendapatkan kesembuhan.

Dalam keadaan seperti demikian, maka sebagai keluarga, diusahakan seminimal mungkin membantah apa yang dai ucapkan, dan mengikuti segala keinginan terutama untuk berobat ke tempat yang dia mau. 

Sambil tetap sedikiti demi sedikit memberikan nasihat bahwa penyakit itu memang ada dan ada baiknya justru lebih konsen untuk menghadapi dan mengobati penyakit ini daripada kesana kemari mencari diagnosa lain yang justru akan membuang-buang uang.

Tahap selanjutnya adalah anger atau marah. Tahap ini adalah efek dari penolakan. Ketika memang ternyata diagnosa tersebut betul adanya, maka muncullah perasaan marah.

"Kenapa mesti aku yang mengalami penyakit ini?" adalah kalimat yang kadang terucap pada fase ini. Kadang juga terjadi rasa menyalahkan bahwa penyakitnya ini akibat dari kesalahan orang lain, bisa kepada orang yang sudah meninggal, kepada anak, pasangan, teman sekerja dan lain sebagainya.

Namun saat kemarahan sudah mereda, maka pasien akan berpikir lebih rasional tentang apa yang terjadi. 

Tahap yang ketiga adalah tawar menawar atau bargaining. Tahap ini ditandai dengan kemarahan yang mereda dan muncul kata seandainya, andaikata, bagaimana jika, jika saja dan lain-lain. Ketika dokter menjelaskan bahwa dengan penyakitnya ini maka angka harapan hidup lebih dari 1 tahun adalah kecil, maka dia akan berucap bagaimana jika tuhan memberikan aku umur lebih panjang, aku ingin membangun temopat ibadah dari sisa hartaku, aku ingin membangun panti asuhan untuk menyantuni anak yatim dan lainnya. 

Pada tahap ini pasien tidak lagi mendebat penyakitnya. Dia sudah yakin 100% dengan penyakitnya tersebut dan rasa menyalahkanpun sudah tidak ada lagi. 

Karena memahami bahwa kalimat bagaimana jika, andaikata dan lain sebaginya tidak mungkin bisa terwujud, maka masuklah pasien ke dalam tahap depresi. 

Tahap ini sangat penting bagi keluarga untuk selalu menemani pasien. Pada tahap ini pasien akan mengalami perubahan mood, penurunan keinginan (hobi), gangguan tidur, perasaan bersalah, selalu lemas, gangguan konsentrasi, nafsu makan yang turun, menyendiri dan bahkan kecenderungan berfikir untuk mengakhiri hidup.

Hal-hal yang dialami tersebut tidak mesti semuanya terjadi, tapi minimal 2 atau 3 hal tersebut akan terjadi pada pasein. Dukungan keluarga sangat penting dan bantuan pengobatan dari dokter yang memberikan perawatan paliatif juga diperlukan untuk menghadapi tahap ini.

Tahap akhir adalah penerimaan atau acceptance. Pada tahap ini tanda-tanda depresi berangsur hilang, berganti dengan tahap ketenangan jiwa.

Pada tahap ini pasien akan berfikir dengan baik bahkan cenderung lebih bijak. Tingkat religipun semakin meningkat karena menyadari bahwa setiap orang yang bernyawa pasti akan mengalami kematian. Bahkan pasien cenderung akan lebih banyak bersyukur dengan nikmat hidup yang sudah banyak dilewati. 

Tahap inilah pasien akan mulai merencanakan strategi dan hal-hal yang dilakukan selanjutnya ketika penyakit akan menjadi semakin berat dan kematian sudah mendekat.

Pada tahap inilah bukti dukungan keluarga akan terlihat dan justru keluarga juga semakin tenang dengan kemungkinan yang terburuk yang terjadi kepada pasien.

Rasa sayang dan perhatian keluarga terhadap pasien justru dibuktikan dengan cara mendukung bersama agar pasien berhasil melawati tahap kesedihan dengan baik, bukan justru menyembunyikan sakit, menimbulkan harapan sembuh palsu kepada pasien yang ujung-ujungnya pasien menjadi tidak siap ketika kematian semakin dekat.

Salam sehat,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun