"Dok... kami minta penyakit ini tidak usah diceritakan kepada mama kami, takutnya beliau tambah drop".
Kalimat ini pasti sering didapatkan oleh dokter yang menangani pasien, khususnya lagi ketika diagnosa penyakit tersebut adalah diagnosa yang bersifat terminal. Misalnya kanker (keganasan), penyakit ginjal kronik, gagal jantung dan lain sebagainya.Â
Di satu sisi keluarga menyakini bahwa dengan tidak memberitahukan penyakit sebenarnya kepada pasien (keluarganya), maka pasien tersebut akan menjadi lebih baik, hidupnya bersemangat dan diyakini akan membantu kesembuhan pasien.
Namun di sisi lain, tentu dokter memahami bahwa pasien berhak untuk mengetahui diagnosa yang sebenarnya.
Ternyata, dari kalimat tidak usah diceritakan kepada pasien tersebut, sangat berpengaruh terhadap bagaimana perjalanan pasien di kemudian hari.
Ketika keluarga meyakini bahwa dengan tidak menceritakan, keadaan akan baik-baik saja, justru dari sudut pandang pasien hal ini akan menyebabkan keterlambatan, alih-alih menyebabkan pasien menjadi tidak siap ketika suatu saat penyakit ini diketahui pasien dengan sendirinya.
Sebelum kita bahas tentang kasus di atas lebih lanjut, maka sebaiknya kita sedikit membahas tentang terapi paliatif.
Dari tulisan yang sebelumnya tentang terapi palitif, pengertian terapi paliatif adalah pendekatan yang meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah kesehatan yang mengancam jiwa, melalui pencegahan dan tindakan untuk mengurangi nyeri, masalah fisik, sosial, dan spiritual yang dihadapi pasien selama pengobatan.Â
Terapi paliatif ini diberikan kepada pasien yang sudah diputuskan menderita penyakit terminal seperti kanker, penyakit ginjal kronik tahap end stage, gagal jantung, sirosis hepatis (hati) dan lainnya.
Jadi apa maksudnya?Â