Hal yang sering terjadi adalah jasa membantu pengurusan asuransi, sehingga orang sakit tidak perlu repot lagi kesana-kemari. Dia cukup duduk manis sementara makelar yang wara-wiri menguruskan (termasuk fotokopi, menguhubungi petugas-petugas yang terkait dan membawakan berkas). Satu sisi hal tersebut membantu si orang sakit, namun sisi lain terdapat harga mahal yang harus dibayar. Mengupas lebih dalam lagi, kadang makelar kesehatan sudah mempunyai link dengan beberapa petugas sehingga urusan menjadi lebih lancar. Ini mungkin menguntungkan bagi yang memberikan jasa, namun akan memperpanjang waktu tunggu bagi orang sakit yang tidak menggunakan jasa makelar.
Contoh lain, terdapat seorang pasien dengan tumor perut diharuskan melakukan serangkaian pemeriksaan untuk dilakukan operasi. Salah satunya pemeriksaan MSCT scan abdomen, sebuah pemeriksaan radiologi paket canggih dengan biaya di atas 1 juta rupiah. Pasien mungkin terkover asuransi sehingga biaya pemeriksaan dijamin asuransi. Namun karena mesin pemeriksaan, yang ingin periksa berjumlah puluhan bahkan ratusan orang, padahal 1 haru cuma bisa dilakukan pemeriksaan 5-6 orang saja, akhirnya antrian panjang yang terjadi. Dari situlah celah terdapat celah adanya makelar kesehatan, ketika datang penawaran orang yang mempunyai jalur khusus untuk menyisipkan 1 atau 2 orang untuk diperiksa lebih cepat, namun mengharuskan pembayaran jasa lebih yang mungkin saja biayanya hampir sama dengan biaya pemeriksaan tersebut.Â
Kasus lain yang bisa saja terjadi adalah kebutuhan darah untuk tranfusi pada pasien anemia yang membutuhkan tranfusi darah segera. Keperluan darah bisa didapatkan melalui Bank Darah di rumah sakit atau melalui Unit Pelayanan Tranfusi Darah PMI. Seyogyanya darah dari pendonor adalah gratis, yang harus dibayar adalah biaya pengolahanannya (skrining penyakit di darah, kantong darah dan operasional penyimpanan) yang berkisar antara Rp. 300 ribu - 600 ribu. Dan harga tersebut juga ternyata dibayar oleh asuransi kesehatan. Namun karena kebutuhan lebih tinggi daripada yang disediakan, akhirnya kelangkaan yang didapatkan. Di sinilah muncul makelar kesehatan memanfaatkan hal tersebut. Ketika seseorang memerlukan darah dan stok di Bank Darah ataupun UPTD PMI kosong, muncullah makelar kesehatan yang menawarkan jasa mencarikan darah dengan bayaran untuk membiayai orang yang mau mendonor dan upah pencarian. Akhirnya mungkin saja harga kantong darah dapat mencapai di atas 1 juta per kantongnya. Sangat mencekik bukan?
Perlukan dibahas?
Ini adalah masalah kronik, tentunya cara mengatasinyapun tidak bisa cepat. Harus pelan, terstruktur namun pasti. Berbicara cara mengendalikan, perlu konsep dan tulisan berlembar-lembar sehingga tidak cukup dituliskan dalam tulisan yang sederhana ini. Namun tulisan ini perlu dibahas, karena saya sebagai seorang pelaku kesehatan kadang miris melihat hal tersebut bahkan mendapatkan getahnya dari perbuatan yang dilakukan orang lain.
Semoga pelayanan kesehatan di Indonesia menjadi semakin lebih baik di masa yang akan datang.
Salam sehat,
dr. Meldy Muzada Elfa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H