“Dok, ibu saya kok malah dikasih obat kejang?” ucap keluarga pasien saat menghubungi dokter yang merawat pasien tersebut.
Pertanyaan di atas adalah hal yang wajar ditanyakan pasien atau keluarga pasien ketika dokter meresepkan obat tertentu, namun menurut mereka obat yang diresepkan tidak sesuai dengan kondisi pasien.
Sebagai contoh di atas, seorang dokter memberikan terapi Gabapentin 300 mg untuk pengobatan neuropati (radang serabut saraf) yang disebabkan penyakit kencing manis. Saat membeli obat tersebut ternyata di label indikasi dituliskan bahwa indikasi obat tersebut sebagai terapi antiepilepsi dan terapi serangan parsial kejang. Padahal pemberian obat tersebut oleh dokter adalah untuk pengobatan neuropati, namun tidak tertulis di label obat sehingga memicu pertanyaan bahkan kesalahpahaman dari pihak pasien. Tujuan terapi tapi tidak tertulis dalam table indikasi obat, itulah yang disebut dengan 'off label'.
Kesalahpahaman yang mungkin diakibatkan karena kurangnya komunikasi dokter atau kurangnya penjelasan dari pihak apotek inilah yang akan menimbulkan dampak persepsi dari pasien/keluarga pasien bahwa dokternya salah, dokternya bodoh atau bahkan tidak mau lagi berobat ke dokter yang bersangkutan.
Mengapa Obat Digunakan secara Off Label
Obat merupakan bahan kimia yang dimasukkan dalam tubuh dalam rangka terapi ataupun pemeliharaan kesehatan seseorang. Sebelum pemasaran obat harus melalui uji coba klinik mulai dari hewan uji sampai uji coba langsung kepada manusia.
Penggunaan obat tentunya harus melalui persetujuan oleh lembaga yang berwenang. Jika di Amerika lembaga yang berwenang tersebut adalah Food and Drug Administration (FDA), sedangkan di Indonesia adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Indikasi yang tertulis pada label obat tentunya adalah indikasi yang telah disetujui oleh lembaga tersebut. Namun seringkali obat bisa memiliki lebih dari satu macam indikasi atau tujuan penggunaan obat.
Ada beberapa alasan kenapa suatu obat dengan banyak indikasi, tetapi hanya indikasi tertentu saja yang dituliskan dilabel. Alasan tersebut antara lain:
- Salah satu indikasi pengobatan belum sepenuhnya selesai uji klinis, sehingga hanya indikasi yang selesai diujikan yang dituliskan di label,
- Jika salah satu indikasi dituliskan, penggunaan obat tersebut secara berlebihan akan memberikan efek yang buruk terhadap pasien,
- Sengaja tidak ditulis karena rentan untuk disalahgunakan apabila diketahui secara massal.
Kenapa Dokter Tetap Menerapi Off Label
Dokter bukanlah tukang obat. Dokter dalam memberikan terapi selalu berpijak kepada evidence based dan patofisiologi perjalanan penyakit, maka perlu diingat bahwa obat yang diberikan dokter tidak karena melihat indikasi pada kotak obat. Sehingga kadang kombinasi pemberian obat yang diberikan terasa tidak tepat menurut pasien/keluarga pasien jika melihat di label obat, tetapi sebenarnya pemberian tersebut sesuai dengan keilmuan seorang dokter yang telah ditempa sekian tahun di Fakultas Kedokteran.
Sebagai contoh, seorang dokter penyakit dalam memberikan terapi Eritromisin pada penderita kencing manis dengan komplikasi gastroparese diabetes (gangguan pengosongan lambung akibat penyakit diabetes), di label indikasi (on label) obat Eritromisin tertulis sebagai obat antibiotik, namun secara off label tujuan pemberian obat tersebut ternyata untuk meningkatkan waktu pengosongan lambung yang akan menurunkan keluhan perut kembung pada pasien tersebut.
Contoh lain terapi off label adalah pemberian suplemen vitamin D3 pada pasien lupus yang bertujuan sebagai imunomudolator sehingga menurunkan risiko aktivitas perburukan penyakit lupus. Terapi misoprostol yang secara on labeldikenal sebagai obat lambung (maag), namun di kalangan kebidanan digunakan sebagai induksi (perangsang) persalinan pasien.
Metformin sangat dikenal sebagai obat kencing manis secara on label, tapi ternyata dikalangan teman-teman kandungan terapi Metformin secara off label dapat digunakan sebagai terapi sindrom ovarium polikistik.
Contoh obat yang dituliskan di atas hanya sebagian kecil dari terapi off label dari obat-obatan yang dewasa ini banyak beredar di masyarakat.
Komunikasi yang baik dan efektif mutlak dimiliki oleh seorang dikter dalam menyampaikan rencana pengobatan kepada pasien maupun kepada keluarga pasien. Kesalahpahaman bahkan ketidakpahaman akan menyebabkan perbedaan persepsi yang mana bagi pihak pasien akan merasa dirugikan berbuntut tuntutan hukum, walaupun sebenarnya dokter tidak bersalah dan merasa aman-aman saja karena telah benar dalam memberikan terapi sesuai dengan keilmuan yang diberikan.
Bagi teman farmasis tentunya analisis dalam membaca resep yang diberikan dokter mutlak dilakukan.
“Sebagai farmasis pengetahuan tentang obat-obat off label sangatlah penting terutama untuk memahami pengobatan pasien. Apabila ditemukan suatu obat yang kelihatanya tidak sesuai indikasi, sebaiknya tidak langsung menyimpulkan bahwa pengobatan tidak rasional, karena bisa jadi ada bukti-bukti klinis baru mengenai penggunaan obat tersebut yang belum dimintakan persetujuan dan masih dalam tahap investigasi,” ucap Dwi Aulia Ramdini, S. Farm., Apt dalam suatu blognya.
Perlu diingat bahwa teknologi dan penemuan dalam hal terapi kedokteran semakin berkembang pesat. Ilmu terapi yang dipelajari saat ini sangat mungkin dapat berubah pada beberapa tahun kemudian. Sehingga penting sekali tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, farmasis) untuk selalu memperbaharui ilmunya.
Penutup
Terapi yang diberikan oleh seorang dokter ibaratnya adalah suatu hasil produk pembelajaran yang telah mereka lalui selama bertahun-tahun bahkan belasan tahun sehingga mendapatkan suatu legalitas dalam menuliskan resep. Tentunya tidak mungkin seorang dokter memberikan terapi yang sembarangan yang tidak sesuai dengan pemeriksaan dan keilmuan yang dimilikinya.
Jikalau terdapat keanehan atau pemberian terapi tidak sesuai dengan apa yang diketahui oleh pasien, sangat baik jika dikonfirmasi kembali kepada dokter yang memberikan obat, agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berujung kesalahan penafsiran dengan menyatakan bahwa dokter tersebut bodoh.
Jangan terkejut ketika mendapati kerabat Anda yang menderita sesak nafas ternyata diresepkan viagra (sildenafil) yang dikenal luas sebagai obat mempertahankan ereksi, ternyata digunakan untuk mengurangi sesak akibat tekanan arteri di paru. Semoga tulisan ini dapat memberikan wawasan kepada kita semua bagaimana seorang dokter bertindak dan memberikan terapi.
Salam sehat,
dr. Meldy Muzada Elfa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H