Mohon tunggu...
Meldy Muzada Elfa
Meldy Muzada Elfa Mohon Tunggu... Dokter - Dokter dengan hobi menulis

Internist, lecture, traveller, banjarese, need more n more books to read... Penikmat daging kambing...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Dokterku Sayang, Dokterku Malang; Dia Diharap, Dia Dituntut

24 Juli 2016   01:52 Diperbarui: 24 Juli 2016   14:24 4358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Obat tidur yang ditawarkan di media sosial (dok.pri)

Latar belakang tulisan ini adalah ketika baru saja terjadi diskusi hangat di forum media sosial teman-teman dokter tentang pemberian obat antinyeri yang diberikan secara berlebihan. Seperti diketahui bersama bahwa obat antinyeri atau dalam dunia medis dikenal dengan istilah analgetik berfungsi menaikkan ambang nyeri, namun di sisi lain mempunyai efek menurunkan fungsi defensif (pertahanan) dinding lambung yang akhirnya dapat menyebabkan gangguan lambung atau yang dikenal dengan istilah maag.

Singkat cerita di suatu daerah terdapat pasien yang menderita peradangan asam urat (gout artritis) yang berobat ke seseorang yang dianggap dokter oleh masyarakat sekitar (tapi kenyataannya bukan dokter/red). Pasien tersebut diberikan sejumlah obat dengan petunjuk pemberian 3x sehari. Berikut adalah jenis obat yang diberikan.

Obat-obatan yang diberikan kepada pasien (Sumber: Grup FB Dokter Indonesia Bersatu)
Obat-obatan yang diberikan kepada pasien (Sumber: Grup FB Dokter Indonesia Bersatu)
Jika memang benar diagnosis pasien tersebut adalah peradangan asam urat, terapi pertama pada pasien adalah pemberian obat antiradang dan antinyeri sesuai tingkatan nyeri pasien tersebut. Karena efek antiradang dan antinyeri adalah menurunkan faktor defensi (pertahanan) dinding lambung, sering disertakan dengan obat pelindung dinding lambung dan nasihat bahwa sebaiknya obat diminum sesudah makan.

Mari kita telaah obat-obat yang diberikan di atas. Obat tersebut yaitu Renadinac 50 (Natrium Diklofenak 50 mg), Grazeo 20 mg (Piroxicam 20) dan Opistan 500 (Asam Mefenamat 500 mg) dengan aturan pemakaian ketiganya adalah 3x sehari. Ketiga jenis obat tersebut termasuk dalam 1 kategori, yaitu Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), di mana masing-masing obat mempunyai efek merusak dinding lambung. Bahkan salah satu jenis obat, yaitu Piroxicam mempunyai durasi lama sehingga pemakaiannya cukup 1x sehari, namun pada kasus ini tetap diberikan 3x sehari.

Penulis meyakini bahwa dengan pemberian obat tersebut, nyeri akibat peradangan asam urat pasien tersebut akan berkurang secara signifikan atau bahkan menghilang. Tetapi bagaimana dengan efek sampingnya? Dipastikan dengan pemberian ketiga obat tersebut secara bersamaan secara signifikan juga akan menyebabkan kerusakan dinding lambung di mana suatu saat akan menimbulkan nyeri bahkan perdarahan. Ini adalah efek yang berbahaya karena abuse dari pengobatan.

Kombinasi obat antinyeri sering digunakan para dokter, namun kombinasi tersebut dengan melihat onset dan durasi obat serta cara kerjanya yang saling melengkapi. Sebagai contoh, seorang dokter sering memberikan antinyeri kombinasi parasetamol dan tramadol, di mana parasetamol mempunyai efek antinyeri yang ringan-sedang, onset (awitan) lambat namun durasinya lambat, sedangkan tramadol adalah antinyeri opioid untuk nyeri sedang-kuat dengan onset cepat namun durasinya cepat. Gabungan obat tersebut akan menghasilkan terapi antinyeri dengan efek awalnya cepat dan dapat bertahan lama mengurangi nyeri tersebut. Dan hebatnya lagi, gabungan kedua obat tersebut mempunyai efek yang minimal terhadap gangguan dinding lambung.

Tabel superioritas kombinasi tramadol (tram) dan parasetamol (apap) (sumber: http://www.fda.gov/ohrms/dockets/ac/02/briefing/3882B1_13_McNeil-Acetaminophen.htm)
Tabel superioritas kombinasi tramadol (tram) dan parasetamol (apap) (sumber: http://www.fda.gov/ohrms/dockets/ac/02/briefing/3882B1_13_McNeil-Acetaminophen.htm)
Contoh di atas merupakan penegasan bahwa seorang dokter yang telah dibekali dengan keilmuan yang mumpuni tentunya akan memilih terapi yang terbaik dengan efek samping yang dirasa seminimal mungkin. 

Pemberian obat-obatan yang dilakukan bukan karena dasar keilmuan yang benar, namun hanya berbekal pengalaman bahkan hanya berbekal coba-coba maka itu adalah suatu tindakan yang berbahaya dan dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan. 

Bagi dokter, First Do No Harm

Dokter adalah profesi yang langsung berkenaan dengan kehidupan manusia. Karena berkaitan dengan kehidupan manusia, maka dasar etik yang dibangunkan haruslah berprioritas pada keselamatan pasien. Kaidah dasar (prinsip) etika/bioetik adalah aksioma yang mempermudah penalaran etik. Konsil Kedokteran Indonesia mengadopsi prinsip etika kedokteran barat yang menetapkan bahwa praktik kedokteran di Indonesia mengacu kepada 4 kaidah dasar moral, di mana dalam penerapan praktiknya secara skematis dalam gambar berikut:

4 kaidah dasar moral kedokteran (sumber: http://images.slideplayer.info/11/3275410/slides/slide_40.jpg)
4 kaidah dasar moral kedokteran (sumber: http://images.slideplayer.info/11/3275410/slides/slide_40.jpg)
Jika dijabarkan dari 4 kaidah dasar tersebut adalah: 1. Autonomy/respect for person: menghormati martabat manusia, 2. Beneficence: berbuat baik, 3. Justice: keadilan, dan 4. Non-Maleficence: tidak berbuat yang merugikan. Dari 4  kaidah dasar tersebut, penulis akan konsen pada salah satu kaidah yang berkaitan dengan kasus yang dibahas dinawal tulisan tadi, yaitu kaidah Non-maleficence yaitu tidak berbuat yang merugikan.

Praktik kedokteran haruslah memilih pengobatan yang paling kecil risikonya dan paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno yang selalu diingat oleh para dokter, yaitu Primum Non Nocere atau First, do no harm tetap berlaku dan selalu diikuti. Dalam hal ini, sisi komplementer beneficence yang harus dilakukan dokter dengan sudut pandang pasien adalah: 1. Tidak boleh berbuat jahat (evil) atau membuat derita (harm) pasien, dan 2. Meminimalisir akibat buruk.

Jika melihat kasus di atas, maka pemberian terapi dengan memberikan obat antinyeri tiga jenis secara bersamaan dengan dosis yang berlebihan sudah mencerminkan bahwa yang memberikan terapi bukanlah seorang dokter. Dokter yang telah disumpah dokter dan terikat dengan kedo etik kedokteran yang telah disepakati sangat tidak mungkin melakukan hal tersebut. Dan sudah menjadi hal yang lumrah bagi dokter, jika mendapati kasus yang sulit dan tidak dapat ditangani sendiri akan melakukan konsultasi atau merujuk kepada sejawat lain yang lebih kompeten menanganinya.

Erosi lambung yang salah satu penyebabnya karena obat antinyeri (sumber: http://www.slideshare.net/anche_meys/gastritis-pleno-33432874)
Erosi lambung yang salah satu penyebabnya karena obat antinyeri (sumber: http://www.slideshare.net/anche_meys/gastritis-pleno-33432874)
Teman-temanku. Ayolah... Banyak kasus yang justru lebih berbahaya bila terus didiamkan, daripada seperti pemburu yang siap menjadikan dokter sebagai tersangka jika terjadi kesalahan yang bahkan belum tentu hal tersebut adalah perbuatannya.

Mari kita daftar kasus yang harus lebih penting dilakukan pengetatan regulasi:

1. Pengobatan alternatif yang terlalu memberikan janji kesembuhan, tetapi justru memberikan terapi yang belum terbukti kebenarannya dengan harga yang jauh lebih mahal.

2. Maraknya klinik palsu yang mengklaim menghadirkan dokter-dokter spesialis berpengalaman, namun kenyataannya tidak benar.

3. Meregulasi iklan-iklan yang bombastis dengan menyatakan memiliki obat-obatan tertentu dengan janji 100% menyembuhkan penyakit-penyakit kronis, seperti kencing manis, penyakit ginjal kronik ataupun penyakit keganasan, di mana secara medis hal tersebut sangat kecil terjadi. 

Stok obat sering kosong dan obat terlarang beredar bebas, justru ini yang urgensi

Hangatnya kasus vaksin palsu yang akhirnya memaksa Menteri Kesehatan membuka rumah sakit dan klinik yang menerima pembelian vaksin palsu tersebut ternyata justru memberikan banyak mudharat. Terjadinya kekisruhan bahkan berbuntut tindak kekerasan pada dokter, penutupan rumah sakit secara sepihak dan tuntutan yang berlebihan justru merupakan kejadian yang tidak diharapkan. 

Bahkan kasus ini terus menjadi bola panas yang sepertinya makin ramai saat terus dimainkan. Alih-alih mencari solusi atas kasus tersebut, justru bola panas semakin bergulir liar ketika Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf mengatakan kebiasaan dokter selama ini menuliskan nama merek dagang obat di setiap resep seharusnya diganti dengan pencatuman kandungan obat yang dibutuhkan pasien. Pembahasan awal tentang vaksin palsu justru berkembang menjadi sindiran tentang peresapan dokter yang mementingkan merek obat. 

Mungkin kita bersama pemerintah mengakui bahwa beredarnya vaksin palsu merupakan kecolongan besar dan merupakan sebuah pelajaran yang sangat berharga agar tidak terulang di masa akan datang disertai mencarikan solusi bersama terhadap anak yang kemungkinan mendapat vaksinasi palsu tersebut. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah melakukan langkah yang bijak dengan mengeluarkan suatu pemberitahuan agar dapat dilakukan vaksinasi ulang terhadap anak-anak yang diduga menerima vaksinasi palsu, disertai dengan penjelasan bahwa kandungan obat yang terdapat pada vaksinasi palsu tidak berbahaya terhadap tubuh anak.

Berita vaksinasi yang sangat luar biasa dan menjadikan nilai jual bagi media cetak maupun media massa justru berbanding terbalik dengan kejadian kosongnya stok obat di rumah sakit saat dua bulan yang lalu. Obat tersebut adalah Furosemid yang mempunyai efek diuretik (mengeluarkan kencing) yang sering dipakai pada kasus gagal jantung dan penyakit ginjal. 

Obat Forusemid yang kosong (dok.pri)
Obat Forusemid yang kosong (dok.pri)
Furosmide dapat dikatakan obat yang cukup luas digunakan oleh para dokter, khususnya pada kasus jantung dan penyakit ginjal di mana pasien akan cenderung selalu kelebihan cairan sehingga diperlukan obat ini untuk membuang kelebihan cairan tersebut.

Penulis sendiri yang langsung di lapangan merasakan betapa kerepotannya ketika obat ini menghilang dan berusaha memutar otak untuk mencari obat alternatif untuk menggantikan peran obat ini. Kasus-kasus pasien masuk unit gawat darurat (UGD) yang berkaitan karena tidak minum obat ini karena kosong menjadi meningkat. Pasien dengan sesak napas, darah menjadi asam, paru-paru menjadi banjir bahkan kematian pernah terjadi karena kekosongan stok Furosemide. Namun yang anehnya, pemberitaan ini sangat sepi di media, bahkan wakil rakyat sepertinya tidak tertarik untuk membahas hal ini, pemerintah pun terkesan lambat untuk menangani kosongnya stok Furosemide yang bahkan dikatakan kosong sampai di tingkat Pedagang Besar Farmasi (PBF).

Kemudian kasus 1 bulan terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah beredarnya penawaran obat-obat yang seharusnya hanya boleh berada di tangan medis namun justru diperjualbelikan di masyarakat via media sosial (BBM, Whatsapp atau Instagram) atau melalui situs jual-beli online. Obat tersebut adalah obat suntikan bius total (general anestesi) yang disebut Propofol dan obat tidur golongan benzodiazepin.

Obat tidur yang ditawarkan di media sosial (dok.pri)
Obat tidur yang ditawarkan di media sosial (dok.pri)
Obat bius yang ditawarkan di situs jual beli online (dok.pri)
Obat bius yang ditawarkan di situs jual beli online (dok.pri)
Dua kasus di atas sebenarnya merupakan kasus yang benar-benar penting karena sangat mempengaruhi kehidupan seseorang, namun kenapa tidak menjadi kasus penting dan seheboh kasus vaksin palsu?

Apakah karena kasus ini tidak menjual? Atau karena tidak akan membantu dalam membentuk pencitraan politik? Atau kasus ini bukan salah satu skenario tertentu terhadap penguasaan vaksin di Indonesia? Saya tidak bisa menjawab.

Apoteker dan Dokter Bukan Tom dan Jerry

Subjudul di atas merupakan sebuah tulisan Muvita Rina Wati, M.Sc, Apt, seorang apoteker RS Akademik UGM di mana tulisan tersebut dilatarbelakangi kehebohan di dunia maya tentang apoteker yang bekerja layaknya dokter.

Walaupun jika kita dalami secara lebih jernih, tidak ada yang salah dalam kasus tersebut, dan apotek yang menggunakan jas layaknya dokter memang telah menjalankan sesuai operasionalnya sebagai seorang apoteker. Masalah kontroversial pengakuan jas putih adalah miliknya dokter, hal tersebut memang sebaiknya diselesaikan secara profesional, duduk bersama dan kalau perlu membuat suatu legalitas dengan peraturan yang disepakati bersama antarprofesi. 

Muvita Rina Wati memulai tulisan tersebut dengan mengatakan bahwa sejauh ini sangat menghormati profesi kesehatan lainnya, baik dokter, bidan, dietitian, maupun perawat. Semua memiliki tekad untuk menyelamatkan, melindungi, dan menyehatkan masyarakat. Bertolak dari satu titik yang sama, seharusnya kita bekerja dengan saling dukung, berpartner secara positif, bukan saling sikut. Tulisan lengkapnya dapat dibaca di link berikut ini.

Ilustrasi: Indahnya kebersamaan profesi kesehatan (sumber: health.detik.com)
Ilustrasi: Indahnya kebersamaan profesi kesehatan (sumber: health.detik.com)
Sebenarnya jika berbicara filosofi, semua teman di bidang kesehatan mengakui hal tersebut. Semuanya bekerja untuk kemajuan dan kesehatan pasien. Tidak ada yang ingin pasiennya menjadi lebih parah. Tentunya semua akan bahagia ketika melihat pasien tersenyum dengan kesembuhannya. Ketidakcocokan dan ketidakharmonisan ini terjadi dikarenakan mempertahankan ego masing-masing dengan rasa keakuan dan merasa memiliki ranah kompetensi masing-masing. 

Namun, jika didiskusikan dengan kepala dingin, tentu batasan-batasan antar masing-masing profesi akan didapatkan, tanpa campur tangan pihak ketiga ataupun politikus yang mungkin hanya memancing di air yang keruh untuk keuntungan sendiri. 

Terakhir menutup tulisan ini, penulis berharap bahwa terjadinya kasus-kasus khsususnya bidang kesehatan akhir-akhir ini adalah karena belum sempurnanya sistem kesehatan di Indonesia. Selain itu, juga masih belum mampunya membedakan skala prioritas tentang permasalahan kesehatan dan masih adanya ego masing-masing profesi merupakan pekerjaan rumah besar bagi kita, organisasi profesi dan pemerintah supaya dapat dicari solusinya ke depan yang lebih baik.

Ketika dokter diharap untuk kesembuhan pasien, janganlah dokter dituntut karena tetap sakitnya pasien. Hubungan dokter-pasien bukanlah hubungan perjanjian, tapi hubungan kepercayaan dengan niat baik dari dokter. 

Semoga sedikit tulisan ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran untuk kesehatan Indonesia lebih baik.

 

Salam sehat,

 

dr. Meldy Muzada Elfa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun