Berita vaksinasi yang sangat luar biasa dan menjadikan nilai jual bagi media cetak maupun media massa justru berbanding terbalik dengan kejadian kosongnya stok obat di rumah sakit saat dua bulan yang lalu. Obat tersebut adalah Furosemid yang mempunyai efek diuretik (mengeluarkan kencing) yang sering dipakai pada kasus gagal jantung dan penyakit ginjal.Â
Penulis sendiri yang langsung di lapangan merasakan betapa kerepotannya ketika obat ini menghilang dan berusaha memutar otak untuk mencari obat alternatif untuk menggantikan peran obat ini. Kasus-kasus pasien masuk unit gawat darurat (UGD) yang berkaitan karena tidak minum obat ini karena kosong menjadi meningkat. Pasien dengan sesak napas, darah menjadi asam, paru-paru menjadi banjir bahkan kematian pernah terjadi karena kekosongan stok Furosemide. Namun yang anehnya, pemberitaan ini sangat sepi di media, bahkan wakil rakyat sepertinya tidak tertarik untuk membahas hal ini, pemerintah pun terkesan lambat untuk menangani kosongnya stok Furosemide yang bahkan dikatakan kosong sampai di tingkat Pedagang Besar Farmasi (PBF).
Kemudian kasus 1 bulan terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah beredarnya penawaran obat-obat yang seharusnya hanya boleh berada di tangan medis namun justru diperjualbelikan di masyarakat via media sosial (BBM, Whatsapp atau Instagram) atau melalui situs jual-beli online. Obat tersebut adalah obat suntikan bius total (general anestesi) yang disebut Propofol dan obat tidur golongan benzodiazepin.
Apakah karena kasus ini tidak menjual? Atau karena tidak akan membantu dalam membentuk pencitraan politik? Atau kasus ini bukan salah satu skenario tertentu terhadap penguasaan vaksin di Indonesia? Saya tidak bisa menjawab.
Apoteker dan Dokter Bukan Tom dan Jerry
Subjudul di atas merupakan sebuah tulisan Muvita Rina Wati, M.Sc, Apt, seorang apoteker RS Akademik UGM di mana tulisan tersebut dilatarbelakangi kehebohan di dunia maya tentang apoteker yang bekerja layaknya dokter.
Walaupun jika kita dalami secara lebih jernih, tidak ada yang salah dalam kasus tersebut, dan apotek yang menggunakan jas layaknya dokter memang telah menjalankan sesuai operasionalnya sebagai seorang apoteker. Masalah kontroversial pengakuan jas putih adalah miliknya dokter, hal tersebut memang sebaiknya diselesaikan secara profesional, duduk bersama dan kalau perlu membuat suatu legalitas dengan peraturan yang disepakati bersama antarprofesi.Â
Muvita Rina Wati memulai tulisan tersebut dengan mengatakan bahwa sejauh ini sangat menghormati profesi kesehatan lainnya, baik dokter, bidan, dietitian, maupun perawat. Semua memiliki tekad untuk menyelamatkan, melindungi, dan menyehatkan masyarakat. Bertolak dari satu titik yang sama, seharusnya kita bekerja dengan saling dukung, berpartner secara positif, bukan saling sikut. Tulisan lengkapnya dapat dibaca di link berikut ini.