Obat sering disebut sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi memiliki manfaat dalam status kesehatan manusia, namun sisi yang lain kita berhadapan dengan efek samping obat tersebut. Efek samping obat terbagi menjadi 2 tipe, yaitu A dan B. Tipe A adalah efek samping yang dapat diprediksi, sebagai contoh ketika memberikan captopril untuk pasien darah tinggi, maka kita bisa memprediksi efek sampingnya yaitu batuk. Sedangkan tipe B adalah efek samping yang tidak dapat diprediksi. Alergi obat adalah efek samping yang tidak dapat diprediksi. Hal ini muncul karena tubuh menganggap obat sebagai alergen (zat yang bagi orang lain mungkin tidak berbahaya tapi bagi yang lain membangkitkan respon hipersensitivitas atau yang dikenal dengan alergi).
Alergi obat adalah suatu reaksi yang tidak diinginkan akibat terjadinya reaksi hipersensitivitas obat dengan antibodi tubuh seseorang. Kejadian ini tidak dapat diprediksi dan merupakan kejadian yang selalu ingin dihindari oleh tenaga medis. Reaksi alergi tersebut tidak saja menimbulkan persoalan baru di samping penyakit dasar yang diderita pasien, tetapi kadang-kadang dapat membawa maut. Kata ‘maut’ inilah yang menyebabkan petugas medis selalu berhati-hati dalam pemberian obat yang sering menyebabkan alergi, salah satunya adalah antibiotik agar tidak menjadi masalah bahkan menjadi tuntutan dari pasien.
Namun yang namanya dinamika perjalanan suatu penyakit, banyak kasus yang mengharuskan seseorang untuk diberikan antibiotik tetapi dia memiliki riwayat alergi banyak (multi) obat. Sebagai contoh sederhana, pasien dengan alergi berbagai antibiotik datang ke rumah sakit dalam keadaan infeksi berat. Kondisi umum lemah, demam tinggi dengan kriteria laboratorium menunjukkan bahwa pasien dalam keadaan infeksi berat. Dalam hal ini, dokter mengalami pilihan dilematis dan tantangan tersendiri.Â
Satu sisi pasien harus diberikan tindakan cepat karena sifatnya life treathening (mengancam jiwa) dengan salah satu terapinya adalah antibiotik, namun di sisi lain pasien memiliki alergi berbagai antibiotik di mana jika terjadi reaksi juga akan menyebabkan masalah baru bahkan kematian bagi pasien. Suatu tantangan tersendiri bagi tim medis di rumah sakit bagaimana caranya untuk menyelamatkan pasien sekaligus juga tetap bertindak hati-hati untuk keselamatan diri juga.
Obat merupakan bahan atau zat kimia aktif yang telah diketahui efek, potensi dan cara kerjanya yang diberikan dengan tujuan merawat penyakit, membebaskan gejala, atau mengubah proses kimia dalam tubuh. Kadangkala pada tubuh manusia, zat atau bahan aktif tersebut dianggap sebagai benda asing yang berbahaya bagi tubuh, sehingga memicu reaksi reaksi imunologis yang berlebihan dengan melepaskan antibodi atau endotoksin terhadap obat yang masuk tersebut. Salah satu jenis obat yang sering sekali menyebabkan reaksi adalah golongan antibiotik.
Reaksi alergi obat yang paling umum terjadi pada seseorang adalah gatal. Jikalau saja reaksi alergi obat yang terjadi hanya gatal, tentu tidak membahayakan bagi tubuh manusia. Tapi yang terjadi, reaksi alergi obat tidak hanya ringan, namun juga sampai menjadi berat yang dapat mengancam jiwa seseorang.
Untuk memudahkan tenaga medis dalam mengidentifikasi jenis alergi obat tersebut, digunakan klasifikasi Gell dan Coombs yang terbagi menjadi tipe I, tipe II, tipe III dan tipe IV.
Tipe I (Tipe Cepat)
Tipe ini merupakan reaksi hipersensitivitas tipe cepat di mana kejadian klinis yang sering terjadi adalah sesak nafas (karena kejang saluran nafas/bronkus), urtikaria (gatal kemerahan kulit yang luas), angioedema (pembengkakan daerah tertentu biasanya wajah yang berlangsung tiba-tiba), sampai terjadi pingsan dan syok.
Kematian dapat terjadi karena syok yang disebut dengan renjatan anafilaktik yang terjadi dalam waktu 30 menit setelah pemberian obat. Penyebab tersering adalah penisilin, yaitu golongan antibiotik.
Tipe II dan III
Reaksi ini lebih lambat daripada tipe I karena pada tipe ini reaksi hipersensitivitas terjadi dari terbentuknya immunoglobulin (Ig) jenis M dan G oleh pajanan antigen dan juga oleh suatu reaksi kompleks imun yang mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu pelepasan komplemen.
Reaksi yang terjadi antara lain demam, gatal-gatal dan kemerahan pada kulit, nyeri sendi, mual/muntah, pandangan mata kabur, gangguan ginjal dan gangguan pembuluh darah, di mana reaksi ini dapat terjadi dari beberapa jam sampai beberapa hari setelah obat masuk ke dalam tubuh.
Tipe IV (Tipe Lambat)
Reaksi hipersensitivitas ini dikenal juga dengan Delayed Type Hypersensitivity (DTH), dalam hal ini tidak ada peranan antibodi karena reaksi ini terjadi akibat respon sel T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu.
Keadaan klinik yang dapat terjadi pada tipe ini adalah seperti gangguan paru (sesak nafas, demam, batuk), terbentuknya cairan paru, kerusakan mukosa misalnya pada mulut bagian dalam, gangguan hati dan ginjal.
Contoh alergi obat yang paling sering terjadi pada kasus ini adalah Sindrom Steven Jhonson di mana kematian yang terjadi bukan karena reaksi hipersensitivitasnya seperti tipe I, tetapi kematian terjadi karena infeksi yang menyerang saat terjadi kerusakan mukosa akibat reaksi tipe IV ini.
Seperti yang disebutkan di awal tulisan tadi bahwa alergi obat adalah sesuatu yang tidak diinginkan tetapi kita tidak dapat menebak hal ini dapat terjadi pada siapa, di mana dan kapan waktunya. Saat terjadinya reaksi pada seseorang, maka penting sekali untuk cepat dalam penangangan awal terjadinya reaksi alergi.Â
Namun, yang tidak kalah penting adalah bahwa pasien harus senantiasa mengingat selama hidupnya bahwa dirinya mempunyai alergi obat bahkan harus mengetahui jenis obat yang dicurigai menyebabkan alergi tersebut. Karena hal tersebut sangat membantu dokter dalam menentukan langkah terapi selanjutnya dalam mengobati pasien.
Bagi dokter sendiri, wawancara (anamnesis) mengenai riwayat penyakit, mengetahui obat-obatan yang pernah dikonsumsi dan memerhatikan riwayat gejala alergi pada pasien merupakan salah satu cara yang penting untuk mendiagnosis kemungkinan alergi obat pada pasien.
Dokter akan senang sekali begitu mengetahui bahwa pasien mempunyai catatan tentang kemungkinan alergi obat, karena hal tersebut sangat membantu meminimalisasi kejadian tidak diinginkan yang tentunya berguna bagi kedua belah pihak.
Insidensi (angka kejadian) efek samping obat belum diketahui dengan pasti. Penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa efek samping obat yang terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit berkisar antara 6-15%. Insidensi di luar rumah sakit biasanya kecil, karena kasus tersebut jika ringan tidak dilaporkan. Reaksi alergi obat merupakan 6-10% dari efek samping obat.
Mari Uji Kulit yang Sederhana
Jika kita menghadapi pasien dengan alergi obat atau curiga alergi obat khususnya golongan antibiotik, maka diperlukan pemilihan obat antibiotik yang jarang menyebabkan alergi. Jika pasien mengalami infeksi berat seluruh tubuh (sistemik), tentunya pemberian antibiotik mutlak harus diberikan. Namun obat yang jarang terjadi alergi obat bukan berarti tidak dapat menyebabkan alergi. Sehingga setelah kita menentukan jenis antibiotik yang akan digunakan, maka diperlukan uji kulit untuk memastikan bahwa pasien yang akan diberikan antibiotik aman terhadap pemberian obat tersebut.
Salah satu tes yang sederhana, cepat dan mudah dilakukan adalah tes cungkit (Skin Prick Test). Berikut adalah cara sederhana tes cukit yang dilakukan oleh dr. Deshinta Putri Mulya, Sp. PD-KAI, Spesialis Penyakit Dalam konsultan Alergi Imunologi yang bertugas di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, pada kasus pasien seorang wanita dengan luka kaki diabetes dengan infeksi berat yang harus diberikan antibiotik namun pasien memiliki riwayat alergi antibiotik.
Kemudian dicukitkan dengan sudut kemiringan 45o menggunakan jarum ukuran 26 ½ G atau 27 G atau blood lancet menembus lapisan epidermis dengan ujung jarum menghadap ke atas tanpa menimbulkan perdarahan. Tindakan ini mengakibatkan sejumlah cairan yang diteteskan tadi memasuki kulit. Tes dibaca setelah 15-20 menit dengan menilai bentol yang timbul.
Untuk mengantisipasi terjadinya reaksi tipe II dan tipe IV, setelah tes cukit sebaiknya dilanjutkan dengan tes intradermal. Dengan kandungan komposisi cairan ciprofloxacin yang sama dengan tes cungkit tadi, dilakukan suntikan intradermal di volar lengan bawah. Syarat penyuntikan harus benar-benar intradermal, dibuktikan dengan tidak adanya darah setelah penyuntikan.
Penutup
Sebenarnya tulisan ini dibuat diharapkan dapat memberikan gambaran kepada tenaga medis ataupun paramedis di lapangan yang sering mengalami kasus ini. Namun mengingat perkembangan informasi dan tuntutan kemajuan di mana masyarakat pun berhak mendapatkan informasi, maka tulisan ini di-publish dan menggunakan bahasa yang telah disederhanakan.
Sebenarnya banyak pilihan tes yang bisa dilakukan, tetapi jika memerlukan tes yang sederhana, cepat dan mudah dilakukan pada kondisi yang terbatas, maka penulis merekomendasikan teman-teman sejawat untuk melakukan tes ini pada pasien yang risiko tinggi terjadinya alergi. Semoga tulisan ini dapat membantu kita semua dan meminimalisir kemungkinan hal-hal yang tidak diinginkan.
Â
Salam sehat,
dr. Meldy Muzada Elfa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H