Mohon tunggu...
Meldy Muzada Elfa
Meldy Muzada Elfa Mohon Tunggu... Dokter - Dokter dengan hobi menulis

Internist, lecture, traveller, banjarese, need more n more books to read... Penikmat daging kambing...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Ternyata Dokter PNS Dikira Kaya?

11 Februari 2016   09:14 Diperbarui: 11 Februari 2016   12:00 2533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi - dokter menulis resep (Shutterstock)

Mengernyitkan kening.... Mungkin itulah yang terjadi ketika beberapa sejawat atau masyarakat membaca judul tulisan di atas. Namun, ibarat sebuah majas ironi, judul di atas sedianya hanya menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud sebenarnya. Tulisan ini adalah sebuah tanggapan dari artikel di salah satu media cetak yang berjudul "Dokter PNS Siap-Siap ’Miskin’, Buntut Larangan dari KPK Terima Sponsor dari Pabrik Farmasi".

Ibarat memakai ilmu jurnalistik, judul tulisan di media cetak tersebut telah berhasil menarik masyarakat untuk membaca dan sedikit banyak membentuk opini sendiri pembaca bahwa selama ini dokter dan yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) memiliki beberapa kenyamanan dan salah satunya adalah selain mendapat gaji dan tunjangan juga mendapat fasilitas dari perusahaan farmasi untuk mengikuti berbagai seminar dengan disertai fasilitas. Apakah hal tersebut benar?

Memang benar yang terjadi sekarang seperti yang disebutkan di atas. Namun, pesan yang ditampilkan di judul artikel tersebut menyebabkan persepsi yang salah di masyarakat. Seperti diketahui bahwa judul berita sebaiknya sesuai dengan teras berita. Artinya, tidak ada pertentangan antara keduanya. Judul juga sebaiknya memakai kalimat positif serta diusahakan senetral mungkin. Prinsip cover both side (menampilkan dua sisi dalam pemberitaan) diimplementasikan – salah satunya – dalam penulisan judul berita.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini telah melakukan langkah maju dalam upaya untuk pencegahan dan penanganan kasus gratifikasi bagi dokter. Salah satu kemungkinan bisa terjadi gratifikasi adalah pemberian fasilitas ke dokter untuk mengikuti seminar/simposium/workshop baik di dalam maupun luar negeri. Untuk mencegah kemungkinan gratifikasi tersebut, ketika ada tawaran sponsor dari farmasi kepada dokter, khusus untuk dokter PNS harus melewati institusinya misalnya rumah sakit. Memang banyak terjadi pro-kontra terhadap langkah tersebut, tetapi menurut pribadi penulis sendiri ini adalah langkah maju dan harus diapresiasi. Selain mencegah ketidaknetralan dokter dalam memberikan resep obat, hal ini juga memberikan rasa aman kepada dokter tanpa takut ancaman gratifikasi yang bisa saja sewaktu-waktu menjerat dokter ke ranah pidana.

Ilustrasi Dokter dan Pasien (Koleksi Pribadi)

Melanjutkan tanggapan artikel tersebut, hal yang menarik adalah ketika judul menuliskan bahwa dengan adanya langkah KPK tersebut dokter PNS akan jatuh miskin. Apakah ramalan tersebut bisa menjadi kenyataan? Artikel tersebut menuliskan bahwa dokter berkewajiban meraih 250 satuan kredit profesi dalam lima tahun. Jika dokter tidak mampu meraih 250 poin, sanksinya status dokter tersebut bisa dicabut. Karena itu, dalam satu tahun, setiap dokter minimal harus mendapatkan 50 poin.

Untuk mendapatkan poin itu, salah satu caranya, dokter harus ikut pelatihan atau seminar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dalam satu kali seminar, poin yang didapat kisaran 3–5 poin. Tentu biaya seminar ini tidak murah. Untuk seminar di dalam negeri, biayanya bisa mencapai puluhan juta rupiah. Bahkan, hingga ratusan juta rupiah jika ikut seminar di luar negeri. Jika seminar ini tidak dibantu farmasi, dokter harus bayar sendiri dan siap-siap jatuh miskin.

Melihat logika hitungan itu bisa dikatakan benar. Tapi jelas sekali bahwa pembuat artikel tersebut tidak memahami sepenuhnya sistem satuan kredit profesi yang telah diatur untuk syarat memperpanjang Surat Tanda Registrasi (STR) dokter oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Bagi sejawat (dokter) yang telah memahami bagaimana sistem kredit tersebut, 250 poin yang disyarakatkan selama 5 tahun tersebut akan cukup mudah dicapai karena 250 poin tidak hanya dari seminar.

Andaikata dari seminar didapat nilai 250 poin, dalam kredit poin hal tersebut hanya dihargai 40-50%. Banyak ranah lain yang bisa didapatkan untuk memenuhi kredit profesi tersebut, pasien yang dilayani baik di RS, di tempat kerja atau di tempat pribadi juga mendapat kredit poin. Bakti sosial atau penyuluhan di tempat tugas (misal di puskesmas, sekolah, desa) juga dihitung kredit poin. Tulisan dan jurnal juga memiliki kredit poin. Dengan target 'hanya' 200 – 250 itu dalam 5 tahun, penulis yakin target tersebut pasti terpenuhi. Memang terdapat syarat-syaratnya tapi tidak ribet.

Sejatinya pemberian biaya sponsorship dari farmasi bagi para dokter diperbolehkan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). Praktik seperti ini juga jamak terjadi di negara maju seperti Amerika Serikat (AS). Namun, di Indonesia, kebanyakan pemberian sponsorship itu disertai pamrih. Misalnya, dokter harus menjual atau meresepkan obat dari farmasi yang bersangkutan dalam target tertentu. Tapi di situ juga tak selalu bisa dilakukan. Sebab, dokter memberikan resep sesuai kebutuhan medis pasien. Tidak bisa jika dipatok hanya dari merek tertentu.

Ilmu kedokteran tidak hanya berbicara masalah pengobatan, tetapi juga berbicara tentang pemberian pengetahuan kepada masyarakat, tindakan pencegahan terkena penyakit dan tindakan rehabilitasi medik. Pengobatan hanyalah salah satu dari sekian banyak program dalam ilmu kedokteran. Janganlah cita-cita luhur profesi kedokteran dicoreng hanya karena isu gratifikasi ataupun sponsor farmasi, tetapi tetaplah maju untuk meneruskan pengabdian agar selalu berguna di masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun