Mohon tunggu...
Meldy Muzada Elfa
Meldy Muzada Elfa Mohon Tunggu... Dokter - Dokter dengan hobi menulis

Internist, lecture, traveller, banjarese, need more n more books to read... Penikmat daging kambing...

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Membaca Tes Tifoid (Tipus) yang Tepat, Cegah Over/Under Diagnosa (Bagian 1)

5 Februari 2016   14:55 Diperbarui: 5 Februari 2016   15:10 24222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi penderita demam tifoid (gambar: koleksi pribadi)"][/caption]Januari dan Februari pada tahun 2016 menurut BMKG adalah puncaknya musim hujan. Seiring dengan perubahan cuaca yang ekstrim tersebut, tentu disertai beberapa efek salah satunya dalam bidang kesehatan. Dari berita di media massa, sudah terdapat beberapa daerah dengan status Kejadian Luar Biasa (KLB) Demam Berdarah Dengue (DBD).

Kita ketahui bahwa gejala utama DBD adalah demam, dalam ilmu penegakkan diagnosa dari satu gejala kita harus memikirkan berbagai diagnosa banding yang mungkin bisa ditegakkan. Demam merupakan suatu peringatan bahwa di tubuh terjadi sesuatu yang tidak beres, apakah itu karena infeksi (virus, bakteri, parasit atau jamur), penurunan daya tahan tubuh ataupun penyakit keganasan. Apakah pasien ini memang DBD? Atau sebenarnya pasien ini tifoid (baca: tipus) tapi tidak terdiagnosa? Atau seharusnya bukan tifoid tapi didiagnosa tifoid?

Demam tifoid merupakan merupakan penyakit endemic di Indonesia, disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi (S. Typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia makanan dan minuman yang terkontaminasi. Terjadinya gejala sistemik (demam) karena bakteri ini cukup unik, karena proses bakteriemi terjadi 2 kali. Bagaimana prosesnya, mari kita baca perjalanan singkatnya.

Saat bakteri ini berhasil melewati lambung, mereka akan menuju usus kecil dan berkembang biak di sana. Sebenarnya jika respon imunitas humoral (IgA) manusia bagus, bakteri ini bisa dimusnahkan. Tapi kadangkala penurunan daya tahan tubuh menyebabkan bakteri tetap bertahan, walaupun telah difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag, bakteri masih bisa hidup dan berkembang biak yang selanjurnya terbawa ke plak peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening (KGB) mesenterika. Dari sini akhirnya masuk ke dalam sirkulasi darah dan terjadilah bakteriemi I, namun perlu diingat peristiwa ini asimptomatik atau tanpa gejala. Saat terjadi bakteriemi I bakteri menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Makanya saat pemeriksaan fisik kadang ditemukan hepatomegali atau splenomegali, dengan hasil laboratorium didapatkan peningkatan SGOT/SGPT atau anemia ringan.

Berhenti sampai di sini? Tidak. Di organ retikuloendotelial tadi bakteri meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel dan masuk ke sirkulasi darah, ini yang disebut dengan bakteriemi II dengan disertai gejala dan tanda penyakit infeksi sistemik, yang paling umum terjadinya demam. Jadi ketika seseorang yang menderita tifoid dengan demam, sebenarnya dia telah masuk ke tahap bakteriemi II.

[caption caption="Perjalanan Klinis Tifoid (Suber Gambar: Centers for Disease Control and Prevention (CDC))"]

[/caption]

Penegakkan diagnosa sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Masa inkubasi berlangsung 10-14 hari dilanjutnya gejala klinis yang bervariasi dari ringan sampai berat bahkan disertai komplikasi hingga kematian.

Salah satu alur untuk menegakkan diagnosa adalah pemeriksaan penunjang. Dengan kemajuan teknologi kedokteran sekarang, ada beberapa pilihan dalam melakukan pemeriksaan tipoid sehingga perlu untuk mengulas lebih lanjut pemeriksaan tersebut. Kita tidak membicarakan gejala, tanda ataupun pemeriksaan fisik untuk mendiagnosa tifoid, karena sudah banyak artikel yang membahas itu.

1.  Tes Widal

Widal adalah prosedur uji serologi untuk mendeteksi bakteri Salmonella dengan memperlihatkan reaksi antibodi salmonella terhadap antigen O (somatik) dan H (flagel) di dalam darah. Prinsipnya adalah reaksi aglutinasi, dengan jalan mengencerkan serum. Pengenceran tertinggi masih menimbulkan reaksi aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Harus diingat bahwa tes ini memeriksa antibodi bukan antigen, artinya bisa saja sebenarnya bakterinya sudah hilang tetapi antibody dalam darah masih tinggi, terutama di daerah endemik.

Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada 5-7 hari pertama demam, kemudian meningkat dengan cepat sampai minggu ke-4 dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan pasien.

Tes Widal untuk diagnosa demam tifoid masih kontroversial. Namun hampir semua ahli sepakat bahwa kenaikan titer aglutinin ≥4 kali terutama aglutinin O dan H bernilai diagnostik yang penting untuk demam tifoid. Kenaikan titer aglutinin yang tinggi dengan sekali periksa, tidak dapat membedakan apakah infeksi tersebut merupakan infeksi baru atau lama.

Mari kita simpulkan tes widal dari penjelasan di atas:

  1. Pembentukan aglutinin terjadi 5-7 hari pertama demam, jika pemeriksaan widal sebelum hari ke-5 demam memperlihatkan peningkatan titer, antibodi yang terbentuk tersebut berasal dari infeksi sebelumnya.
  2. Hasil positif jika terjadi peningkatan aglutinin O dan H ≥ 4x dari titer sebelumnya. Pemeriksaan sekali saja dengan titer tinggi tidak bisa membedakan infeksi baru atau lama.
  3. Peningkatan aglutinin H saja tidak mempunyai tidak mempunyai arti diagnostik yang penting untuk demam tifoid, apalagi jika dia tinggal di daerah endemik.
  4. Masih memungkinkan mendiagnosa infeksi baru tifoid dengan peningkatan titer O dan H dengan catatan dia tidak tinggal di daerah endemik atau pada anak umur kurang dari 10 tahun di daerah endemik.
  5. Tes Widal bukan untuk menentukan kesembuhan pasien pada infeksi baru.

 

Bersambung artikel selanjutnya dengan……

2. Uji Typhidot dan Typhidot-M, 3. Uji IgM Dipstick

 

 

Salam sehat,

dr. Meldy Muzada Elfa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun